49 - Conecting
Akhirnya kami sampai di penginapan dan kabar buruknya adalah kedua perempuan pendampingku ini memaksa resepsionisnya untuk memesankan satu kamar dengan satu ranjang.
Ini semakin mengerikan. Ini benar-benar mengerikan dan aku tidak ingin mengalami sesuatu yang menakutkan seperti kehilangan nafsu makanku karena ingus Adi.
Namun aku tak bisa melawan dan duduk dengan kedua lututku di tekuk. Baiklah sepertinya aku tidak berkutik di saat seperti ini.
Dengan rasa pasrah yang melandaku saat ini. Tubuh ini mulai di dorong dari belakang setelah aku membuka pintu kamar. Bersamaan dengan sentakan yang kudapat dari dua buah tubuh ramping nan indah.
Mereka menabrakku sekaligus menjatuhkanku ke arah ranjang. Sehingga wajahku menghantam bantal hangat sedangkan punggungku kesakitan akibat serangan tiba-tiba itu.
"Ughh. Punggungku ...."
Dan hanya dengan dua buah serangan itu, kesadaranku menghilang. Terbawa dalam mimpi yang sama, aku kembali mengeluarkan keringat dingin walau berada di dalamnya.
Itu ketika Adi mencoba membunuhku dengan tangannya sendiri, sementara wajahnya begitu tersiksa melihatku. Kedua matanya yang membesar dan kecut bibir yang tak terhindarkan seperti membuatku ingin menyelamatkannya.
Namun seiring cekikannya menguat, suaraku tak keluar, dan begitu juga wajahnya. Ekspresinya seakan berkata tidak, tapi tubuhnya memiliki kehendak lain.
Aku ingin menghentikannya. Aku ingin memberitahunya agar tidak memaksakan diri. Dan tentunya memukul kepala kecil itu seperti biasanya. Layaknya guyonan Kakak dan Adik.
"Adi!!"
Begitu aku tersadar, dua buah wajah yang tampak risau melihatku dengan panik. Dengan tanganku yang kini terangkat seperti ingin meraih sesuatu. Elen menggenggamnya cukup erat sementara Fera menyentuh pipiku dengan lembut.
"Archie, apakah kau mengalami mimpi buruk?" tanya Fera.
"Tenanglah Archie, aku ada di sini!"
"E-Elen ... F-Fera ...."
Untuk kesekian kalinya aku mengalami mimpi itu. Begitu juga dengan mataku yang terasa perih karena air mata. Mengapa semua itu harus terjadi padaku? Mengapa mereka merampas kebahagiaanku?
Apa salahku dan kenapa kerja kerasku berbuah kekecewaan yang mendalam. Jika aku bertemu dengan pembunuh keluargaku, akan kupastikan wajahnya tidak akan bisa dikenali lagi.
Hingga pelampiasan ini redam. Aku tidak akan berhenti untuk menghajarnya. Berkat mimpi itu aku menunjukkan sesuatu yang seharusnya tidak kuperlihatkan kepada mereka berdua.
"Tenang lah Archie. Aku akan berada di sisimu," ucap Elen.
"Aku tidak tahu apa yang terjadi. Tapi, jangan bersedih, itu membuat hatiku sakit," lanjut Fera sambil menunjukkan ekspresi khawatir.
Akhirnya aku pun berusaha menangkap apa yang terjadi. Pemandangan yang sebelumnya kulihat dan rasakan hanya sebuah mimpi. Sedangkan saat ini kedua perempuan yang menatapku dalam-dalam.
"M-maaf. Sepertinya aku membuat kalian khawatir, ya?"
Lalu wajah mereka pun berubah menjadi lega.
"Jangan membuatku takut Archie," Elen pun mulai menaruh telapak tanganku di pipinya. "Kau bisa menceritakan masalahmu kepadaku kapan pun kau mau"
"Itu benar. Aku memang baru bersama kalian, tetapi jika Archie bisa terbuka denganku. Mungkin kau tidak akan mengalami hal buruk lagi."
Senyum mereka berdua pun membuat beban masa laluku menjadi ringan. Selagi hatiku masih berdegup cepat membayangkan Adikku sendiri. Mencoba untuk membunuh kakaknya adalah sesuatu yang tak biasa.
Aku tahu segala perjuangannya melindungi sejak kecil. Walau umurnya tak pernah bertambah, maupun fisiknya yang tak bertumbuh. Tetapi sosoknya sudah cukup menjadi alasan aku bisa bertahan sampai saat ini.
"Sekarang aku baik-baik saja, terima kasih karena telah menemaniku."
Berusaha untuk tersenyum, sebisa mungkin aku tidak ingin membuat mereka mengkhawatirkan aku lagi. Terlihat dari luar berupa sebuah permainan, tapi pada kenyataannya permainan ini memiliki ikatan dengan kehidupan sesungguhnya milik kami—para pemain.
Mati dalam genggaman monster dunia ini sama saja dengan mati di dunia nyata. Memang sebuah permainan kematian. Walau mereka yang berada di sini memiliki keinginan tersendiri.
Sayangnya keinginan itu berujung pada jurang mematikan yang dinamakan sebagai Azure Online.
Aku pun berusaha untuk bangun dan kini tengah duduk di atas ranjang berisikan dua orang perempuan. Entah perasaan tiba-tiba apa ini yang membuatku kembali seperti semula, terutama perasaanku sendiri.
Sebelumnya aku di landa oleh kesedihan dan kepedihan. Tapi tidak lama setelah itu aku kembali di ingatkan dengan kejadian sebelum aku terlelap dan masuk ke dalam alam mimpi. Serangan naga, monster raksasa, dan NPC kuat tidak membuatku K.O.
Namun hanya dengan sebuah hantaman dari dua orang perempuan saja aku tumbang begitu mudahnya. Ada apa ini? ini membuatku geli.
"Hahhh ... terima kasih karena kalian, sekarang aku sudah menjadi lebih baik," ucapku dengan lembut.
Perasaanku kini cukup tenang untuk mengucapkan kata-kata ringan. Tidak seperti sebelumnya, aku masih terjerumus ke dalam masa lalu yang suram.
"Ya, sama-sama, Archie"
"Syukurlah sekarang kau sudah menjadi lebih baik."
Setelah itu aku pun meminta Elen melepaskan topengku.
"Akhirnya lepas juga ... "
"Bicara tentang benda itu, apakah kau tidak bisa melepaskannya sendiri?"
Fera yang penasaran akhirnya menanyakan tentang topeng ini. Mungkin kurang cocok jika aku menyebutnya sebagai topeng, karena benda ini tidak menutupi semua fitur wajahku. Lebih cocok jika aku menyebutnya sebagai masker ... mungkin?
"Pertanyaan yang bagus. Sebenarnya aku sendiri tidak tahu bagaimana melepaskan masker ini, sejauh yang kuketahui. Benda ini hanya bisa di lepaskan oleh orang-orang yang aku percaya"
"Dengan kata lain kau sama sekali tidak bisa membukanya sendiri?"
"Begitulah. Karena itu juga kenapa aku memintamu untuk menyentuhnya, 'kan?"
"Ya dan aku bisa melepaskannya"
"Itu karena aku sudah bisa mempercayaimu sekarang. Tidak seperti sebelumnya saat kau bersama Dias. Eh?"
Tiba-tiba saja Fera menutup wajahnya sendiri.
"Archie, kan nakal. Kenapa kau membuat seorang perempuan menangis?!"
"E-ehh?! Aku sama sekali tidak melakukan apapun. Demi martabak green tea, aku tidak tahu apa-apa!"
"Hahaha. Archie wajahmu memerah, ternyata menggoda orang yang kucintai lumayan juga"
"K-kau ini!" geramku lalu menoleh untuk memeriksa keadaan Fera.
Sejauh ini tidak ada luka atau hal lain yang menjadi faktor mengapa ia bisa menangis.
"Apa jangan-jangan mimpiku bisa menular, ya?"
Namun tanpa bisa kuhindari, ia tiba-tiba saja melompat untuk memelukku. Menguburkan wajahnya di dadaku, sekali lagi aku tumbang. Terbaring dengan sesuatu yang menabrakku bukan lah sesuatu yang harus kusyukuri karena itu adalah seorang perempuan.
"F-Fera?"
"Terima kasih, terima kasih, terima kasih, terima kasih!"
Eh? Apa jangan-jangan memang benar ya, kalau mimpi bisa menular? Batinku.
"Sudah lama sekali tidak ada yang mengatakan hal itu padaku ... "
"Fera, itu curang. Mengapa kau menggunakan kesempatan itu untuk memeluk Archie untuk dirimu sendiri?"
"Elen! Kenapa kau jadi membahas itu?"
Tak lama setelah itu ia pun menangis cukup lama dan aku sama sekali tidak bisa bergerak dari posisi ini. Perempuan dengan avatar berpakaian seksi ini benar-benar melampiaskan tangisannya dengan maksimal.
Untuk waktu yang lama tubuhku merasa pegal karena tidak bisa bergerak, sementara tangan dan kakiku terkunci olehnya. Ahh, apapun itu bisa kah menolongku? Hanya untuk saat ini? lagi pula aku tak terbiasa dengan perempuan lain selain Elen.
Dan ini adalah pengalaman pertamaku seseorang selain Elen atau Adi menangis seperti ini di atas tubuhku. Jika biasanya Adi menangis karena tidak ku izinkan untuk membeli roti bakar jumbo spesial. Sedangkan Elen akan menangis jika aku tidak membacakan dongeng pengantar tidur saat kecil.
Lalu kali ini aku sama sekali tidak mengerti apa yang menyebabkan Fera menangis. Sebelum ia berterima kasih padaku, aku sama sekali tidak bisa menebak untuk apa ia mengucapkan kata itu kepadaku.
Berkatnya pula aku mendapatkan teka-teki terbesar untuk kesekian kalinya.
"Apa kau sudah bisa tenang sekarang? Tolong ... lebih lama dari ini tubuhku tak bisa bertahan."
Akhirnya penantianku terkabul dan ia pun melepaskan pelukan eratnya cukup lambat.
"Ini bukan saat yang tepat, tetapi aku berhak mendapatkan penjelasan, 'kan?"
Elen pun ikut mengangguk dengan ucapanku.
"Ya, aku juga. Jangan mencuri lelakiku, Fera!"
"Elen!"
"Uuuu ...."
Kini Fera pun terlihat cukup tenang sambil menghapus air matanya. Menatapku dengan tatapan lega, bibirnya pun bergerak.
"Sudah kuputuskan ... aku ingin menjadi wanitamu, Archie"
"Maaf? Aku tidak salah dengar, 'kan?"
"Tidak. Sebelumnya aku hanya menggodamu dan tidak ada niat untuk mempererat hubungan kita. Tapi setelah mengetahuimu lebih dalam, aku tak bisa berbohong lagi"
"Hahh, jangan lagi. Tolong ... aku tak ingin hal seperti itu bertambah lagi. Lagi pula ini hanyalah avatar dan belum tentu orang asli di balik topeng permainan ini sama dengan apa yang kau bayangkan"
"Tidak, walau seperti itu aku akan menerimamu apa adanya."
Sial, masalahku bertambah satu lagi. Setidaknya aku sudah mengenal Elen sejak kecil, tetapi jika Fera aku sama sekali tidak tahu apa-apa tentangnya, batinku.
"Sebelumnya aku akan menceritakan semu hal tentangku. Tetapi setelah itu ... bisakah kau menerimaku?"
"Eh? Eumm ... ini pilihan yang berat."
Lalu ketika aku menoleh untuk melihat Elen. Ia sepertinya tidak keberatan dan terlihat gembira dengannya. Ahh, ayolah ... kenapa kau terlihat senang dengan itu?
Setidaknya buatlah ekspresi lega itu menjadi berat. Atau tidak sanggahlah ucapannya.
"Aku tidak bisa menjaminnya. Karena hanya dengan itu tidak berarti aku bisa menyukai seseorang begitu mudahnya"
"Tidak apa-apa, akan kupastikan jika kau akan menerimaku dengan sepenuh hati"
"Baiklah ...," ucapku cukup berat.
Akhirnya kami bertiga duduk dengan posisi melingkar di atas ranjang. Setelah itu Fera menceritakan tentang dirinya sendiri.
"Nama asliku adalah Sofia Agriffina, aku berasal dari Rusia. Apakah ini mengejutkanmu?"
"Tidak, karena pemain game ini tidak selalu berasal dari satu negara. Dengan fitur penerjemah ke dalam bahasa netral, bentuk komunikasi apapun tidak akan menjadi sulit"
"Seperti yang di harapkan dari Archie," sahut Elen dengan wajah manis.
"Seperti itu kah? Aku jadi penasaran di mana tempat tinggalmu saat ini. kuharap setelah tragedi ini selesai aku bisa menemuimu secepat mungkin"
"Aku juga ingin bertemu dengannya secepat yang kubisa."
Mendengar pernyataan mereka, hatiku tiba-tiba saja menjadi hangat. Aku memang tinggal berdua dengan Adikku, tapi tidak lagi setelah hari itu merenggut kebahagiaan kami berdua.
Ya setidaknya perasaan ini bisa ku-alami kembali. Untuk waktu yang entah kapan akan terjadi. Mungkin aku juga ingin bertemu dengan mereka berdua di sana. Dalam dunia yang nyata.
"Apakah kalian bersedia mendengarkan kisahku selanjutnya?"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro