47 - Fera's Decision
Kulihat ia masih kebingungan dengan kondisinya sendiri. Jika membayangkannya mungkin aku juga akan seperti itu. Setelah ingatanku di manipulasi, orang itu memanfaatkanku, dan ketika ia telah bebas rasa kebebasan itu hanya sebatas kesadaran yang bimbang.
Sementara keinginan untuk kembali pulih masih belum terlihat. Aku pun membantunnya agar bisa tenang kembali, karena saat ini kondisinya tidak bisa kukatakan stabil.
"A-apa?! K-kenapa?!"
"Tenanglah semua akan baik-baik saja. Apa yang harus kau lakukan saat ini adalah tenang, sementara itu aku akan menjelaskannya dengan pelan-pelan."
Walau ragu ia pun mengangguk. Tetapi aku masih tidak yakin dengannya sehingga bantuan Elen dibutuhkan. Kini ia berada di samping Fera. Duduk dengan anggun sambil menyimpuhkan tangannya, ia juga berusaha untuk menenangkan Fera.
"Dengar pertama aku ingin tahu apa yang kau lakukan saat pertama kali bertemu dengan lelaki sialan itu?"
"L-lelaki sialan?" tanyanya ragu.
Aku pun menunjuk Dias yang kini sedang berdiri dengan kedua lututnya. Tempat kami berada sekarang di sebut Mirror. Seperti lautan luas bening yang memantulkan gambaran langit dan kejernihan suasana.
"Bagaimana? Apa kau sanggup menjelaskannya?"
"B-baiklah saya akan menjelaskannya."
Saya?! Apakah perempuan ini memang sesopan itu sejak awal? Batinku.
Setelah itu Fera mulai memberanikan dirinya. Cerita pun di mulai ketika ia bertemu dengan Dias saat bertarung dengan seekor monster bersisik raksasa bernama Basiliks dalam sebuah tim gabungan.
Pada awalnya ia tidak merasa ada yang aneh dengan lelaki itu. Tapi seiring mereka bertemu ada sesuatu yang membuatnya curiga.
"Kau mulai mencurigainya sejak kapan?"
"Ketika pria itu membawaku ke dalam sebuah kedai untuk membicarakan misi penyerangan dungeon."
Lagi-lagi? Kenapa ia menggunakan bahasa formal? Batinku.
"Hmm, sepertinya aku mengerti sekarang. Sejauh ini aku bisa mengambil kesimpulan sederhana dari ceritamu tadi, terima kasih."
Aku bisa menyimpulkannya setelah mendengar cerita Fera dan mengetahui efek dari kristal yang dimiliki oleh Dias. Nama kristal itu adalah Cresenta, kristal yang dapat memanipulasi sesuatu, dan membuat keinginan sang pengguna menjadi kenyataan.
Bayaran yang harus di terima sang pengguna adalah akalnya sendiri. Itu artinya setelah ia menggunakan kekuatan kristal itu pada tingkat tertentu maka akal pikirannya akan rusak secara permanen.
Bahkan hanya membayangkannya membuatku prihatin. Jika tubuh yang terluka mungkin masih bisa disembuhkan. Tapi jika itu menyangkut bagian batin, aku tak yakin bisa memperbaiki mentalnya secara penuh.
Selain itu efek yang di timbulkan karena kerusakan yang terjadi pada tubuh pengguna akan menggandakannya dua kali lipat. Dan karena itulah aku tak bisa memastikan apakah kondisi Dias sendiri masih memiliki akal selayaknya manusia atau mungkin sesuatu yang entah apa itu.
Untuk saat ini menyembuhkan rasa ketakutan Fera adalah yang pertama. Memang sebelumnya ia adalah perempuan menjengkelkan, tapi setelah mengetahui bagaimana sifat aslinya. Aku sama sekali tak menaruh perasaan tak suka kepadanya.
"Apa kau ingin melupakannya?"
"Jika bisa ... saya mohon, pengalaman itu adalah yang terburuk. Tubuh ini sudah tak seperti dulu lagi ... "
"Baiklah, tapi aku memiliki satu syarat untuk itu"
"S-syarat?"
Aku pun mengangguk pelan.
"Sebelumnya apakah kau pernah menggenggam sebuah pisau sungguhan?"
"P-pisau? Tentu saja saya pernah, mengapa Anda menanyakan hal itu?"
Bahasa formal benar-benar musuh alamiku, batinku.
"Pernah memotong sesuatu dengan itu?"
Kini ialah yang mengangguk. Walau wajahnya seperti terlihat meragukanku, sayangnya untuk kali ini aku tak bisa membiarkannya begitu saja.
"Kalau begitu inilah syaratnya ... aku ingin kau membereskan kenangan burukmu itu dengan pedang ini," ucapku cukup dalam sambil memperlihatkan Pedang Azure.
"M-maksud Anda membunuhnya?"
Saat ini aku sendiri tak tahu wajah apa yang sedang kuperlihatkan padanya. Apakah itu iba, penyesalan, simpati, atau kebencian. Setidaknya aku bisa menghapus kenangan pahit itu darinya.
Walau dengan cara yang sangat tidak masuk akal dan di luar batas kewajaran. Lagi pula saat ini aku memiliki pemikiran seperti seorang pembunuh. Dengan menggunakan dalih bahwa monster dan semua makhluk yang berada di dunia ini memiliki kesamaan dengan manusia.
Aku melindungi mereka dan membunuh sesamaku. Jika aku masih bisa di kategorikan sebagai manusia yang masih memiliki hati nurani, mungkin aku akan sangat bersyukur.
"Apa yang akan kau pilih?"
Wajahnya menunduk dengan lengan yang terlihat lesu. Tapi setelah itu ia melihatku dengan dua buah mata yang penuh dengan tekad.
"Saya akan melakukannya ...."
Nada bicara yang terkesan ringan dan tanpa beban itu membuatku sedikit termenung. Ketika itu tanpa sadar mulutku tersenyum sendiri.
"Kalau begitu aku akan menunggumu di sini," ucapku kemudian menyerahkan pedang itu ke tangannya.
"Baiklah ...."
Lalu Fera pun pergi menuju Dias. Dengan kondisi yang tidak sadarkan itu, ia tidak akan bisa melawan balik. Setelah berada tepat di depannya, aku tak tahu mengapa ia terdiam. Tapi setidaknya aku mengetahui jika bibirnya bergerak.
"Aku sangat membencimu!!"
Tidak lama kemudian Dias pun hancur berkeping-keping. Tampaknya aku berhasil mempengaruhi satu orang dan bahkan ia pernah dekat dengannya. Atau bisa saja rasa kemanusiaanku telah hilang sepenuhnya.
Selamat tinggal Dias ... lelaki mesum yang menyebalkan. Perkataan kasarmu akan sangat cepat kulupakan, begitu juga dengan wajah menjengkelkannya.
Langkah ringan dapat kudengar dan saat mataku berkedip, Fera telah berada di hadapanku. Dengan wajah yang tampak lega dan senyumannya, ia juga mengembalikan pedang itu kepadaku.
"Bagaimana perasaanmu?" ucapku tenang.
"Sedikit aneh"
"Begitu? Hahaha ... ini mungkin pengalaman pertamamu membunuh seseorang. Tapi sebaiknya kau segera melupakannya"
"Terima kasih," ucapnya sambil membungkuk.
"Tidak perlu berterima kasih kepadaku."
Setelah itu mirror kembali menjadi sebuah taman kosong. Bunga-bunga layu, beberapa batu nisan, pilar-pilar hancur, dan juga tentunya karnaval itu telah tiada kali ini.
"Sebaiknya kau segera pergi dari tempat ini. Karena sekarang kau tidak memiliki partner"
"Ya, bagaimana dengan Anda?"
"Jangan memanggilku terlalu formal. Biasakan lah panggil aku dengan sapaan akrab, setidaknya mungkin kita seumuran"
"Archie ... sekarang kita mau ke mana?" tanya Elen.
Elen yang telah mendapatkan kembali ingatan masa lalunya, berubah menjadi sesosok perempuan cantik. Dan tentunya saat ini dia adalah orang yang akan selalu kujaga.
Mungkin tujuanku selanjutnya adalah mencari Belati Ox di Lembah Naga Aschalon.
"Hmmm, mungkin tujuanku sekarang adalah pergi menuju Lembah Naga Aschalon di Benua Asgardia"
"Jadi kita akan pergi ke lembah itu, ya?"
"Tetapi jika kau tidak ingin pergi, mungkin aku bisa mempertimbangkannya lagi"
"Umm, tidak apa-apa. Aku baik-baik saja, lagi pula selama bersama denganmu aku akan senang."
Namun suasana itu tiba-tiba saja terhenti berkat suara batuk Fera yang mungkin di sengaja.
"Sepertinya Anda—tidak, Elen, 'kan?"
Elen pun mengangguk pelan dengan senyumannya yang manis.
"Apakah kau memiliki perasaan terhadap Archie?"
"Ya, aku sangat mencintainya."
Ketika mendengar itu langsung dari Elen, entah mengapa wajahku memanas. Sepertinya saat ini aku ingin memalingkan wajahku karena malu.
"Enak, ya. Kau memiliki seseorang sepertinya, tidak sepertiku"
"Tampaknya nona pemurung ini kini sudah sedikit biasa dengan sebutan, huh?"
"Hahaha, jangan menggodaku. Aku hanya terharu karena memiliki seseorang yang bisa ku-ajak bicara."
Setelah itu kami pun berbincang-bincang hingga tak sadar telah meninggalkan taman sebelumnya dan kini berada di sebuah tebing curam. Tepat di samping kanan sana sebuah jembatan gantung raksasa terlihat.
"Kalau begitu mungkin ini adalah perpisahan, ya?" tanya Elen.
Sejenak kakiku terhenti, kemudian melihat langit untuk ke sekian kalinya. Langit dan pemandangan yang sama, tak kubayangkan apa yang akan terjadi jika aku menyelesaikan game ini.
Mungkin aku akan terbangun tanpa ada Adi di sana. Ini terdengar suram, tetapi setidaknya rasa kesepianku bisa terobati berkat Elen.
"Bagaimana jika aku ikut dengan kalian, sepertinya aku mulai tertarik dengan Archie"
"Fera, Archie adalah lelakiku"
"Tetapi belum tentu akan menikah, 'kan?"
"M-menikah?!" tanyaku kaget.
Ini tidak akan berakhir dengan baik dan tenang. Sebaiknya aku segera pergi meninggalkan mereka.
"Tidak, aku lah yang kan melahirkan anaknya!"
"Hmmm, kita lihat saja nanti."
Semakin aku mendengar perbincangan mereka, semakin bulu kudukku merinding. Mungkin pilihanku menolong Fera bukan lah ide yang bagus, dengan begini masalahku bertambah satu lagi.
"Mau sampai kapan kalian akan terus seperti itu?—"
"Diam!"
"Diam!"
"Ughh, kenapa jadi aku yang kena marah."
Mungkin pilihanku untuk meninggalkan mereka dengan cepat adalah ide yang bagus. Hmm, benar ... itu ide yang bagus, jadi ..., batinku.
Setelah pertengkaran yang cukup hebat itu aku pun melarikan diri dari predator yang sangat berbahaya. Melebihi boss dan juga mob yang tidak teridentifikasi levelnya.
Aku pun menghela napas, setelah itu berjalan senyap tanpa mereka sadari. Kini aku telah berada di tengah-tengah jembatan gantung raksasa dan terus berjalan tanpa perlu memberitahu mereka bahwa aku pergi tanpa bilang-bilang.
Tanpa kusadari aku mulai tersenyum ketika memikirkannya. Ya, pilihan ini memang tidak buruk. Dengan adanya mereka kehidupanku bisa saja berubah. Melupakan masa lalu dan terus maju melangkah untuk meraih masa depan.
Tujuanku sampai saat ini memang belum tercapai. Informasi mengenai pembunuh keluargaku juga sama sekali tidak terdengar. Tapi satu hal yang bisa kupastikan kebenarannya.
Itu adalah Pedang Azure yang bahkan Lagiaz pun menaruh perhatian kepadanya. Bisa saja ada sebuah rahasia mengapa pedang ini bisa seperti ini. Bagian-bagian intinya terpencar dan saat ini aku baru menemukan dua dari tiga di antaranya.
Baiklah, tujuanku saat ini adalah mengalahkan Titan di Lembah Naga Aschalion. Setidaknya aku mulai tersadar ketika mendengar namaku di teriakan oleh dua suara yang berbeda.
"Archie!! Mengapa kau meninggalkanku, lagi?!"
"Tunggu aku Archie!!"
Bukan kah itu salah mereka sendiri karena memperdebatkan sesuatu yang konyol. Tentunya aku tidak akan berpikir sejauh itu, kan?
Ketika aku memikirkannya kembali, hatiku tidak bisa tenang. Menikah ... huh? Itu terdengar seperti mitos bagiku.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro