Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

33 - Ruin of Madness

Siapa yang habis pikir bahwa tepat di bawah jurang ini terdapat poin teleportasi. Seperti gerbang yang rusak, namun terdapat kata-kata aneh muncul begitu aku menyentuhnya. Dan ketika aku berkedip, sebuah gerbang raksasa yang rapuh terbentang di depan mataku.

Menurut Elen, hanya pribumi yang bisa mengaktifkannya. Karena itulah, saat ini hatiku sedikit bimbang. Pasalnya kata pribumi itu sangat mengangguku. Bukan berasal dari sini melainkan dari dunia luar.

Terlihat mirip dengan kepribadian berbeda. Aku dan Type 00. Kami berdua memiliki perawakan yang sama namun sifat kami belumlah tentu sama.

Maka dari itu ketika mendengar bahwa gerbang ini hanya bisa di akses oleh pribumi, aku sedikit kaget. pengetahuanku tentang dunia ini belumlah sempurna, begitu juga dengan misteri yang masih dapat kupastikan keasliannya.

Bisa saja informasi Elen mengenai Daun Slyph yang tumbuh di tempat itu juga salah. Maka dari itu aku harus memastikannya, karena tempat itu jugalah yang menjadi tujuanku. Selain Daun Slyph, khususnya aku sekarang sedang mengikuti sebuah Event.

Dalam rangka menemukan manusia artifak itu, aku bekerja sama—walau sebenarnya ini akibat paksaan juga. Mengingat Eril, aku tidak bisa membiarkan Elen sendirian mencari daun itu.

"Ayo masuk, ayo masuk, ayo masuk~"

"Enteng sekali, apakah menurutmu kutukan itu benar-benar ada?"

"Siapa yang tahu? Aku juga hanya mendengar desas-desusnya."

Rrrrr ... ingin sekali kusentil dahinya, Batinku.

"Lalu maksudmu aku kebal?"

"Hmmm ... Type 00, sebenarnya kau itu adalah seorang peniliti! Dari apa yang kudengar darimu sendiri, ketika sedang memasuki sebuah bangunan. Kau tidak sengaja menjatuhkan sebuah artifak dan kau tahu sendiri, kan? Kelanjutannya"

"Sejauh ini aku mengerti apa yang kau maksud. Tetapi ... peneliti? Apa kau yakin?"

"Aku masih ingat kok. Kau tidak percaya?"

"Hmmm ... bukan tidak percaya, tetapi meragukannya."

Sejenak Elen menghela napas.

"Ada yang aneh?"

"Aku tidak tahu, hanya saja dari tadi seperti ada yang memperhatikan kita."

Aku tidak begitu yakin dengan perkataan Elen, tetapi bagian akhir dari perkataannya seperti merujuk pada kami berdua—tidak. Ada sedikit penekanan, yang artinya salah satu di antara kami berdua sedang di perhatikan.

Semenjak kami berhasil memasuki reruntuhan ini. Hanya lorong gelap yang semu, dengan penerangan berupa kristal cahaya pudar. Penglihatanku tidak begitu baik, walau aku tahu ras kami memiliki penglihatan yang sangat tajam ketika berada di dalam kegelapan.

Tetapi penglihatanku seperti di hadang oleh sesuatu yang entah apa itu. Karena saat ini apa yang kulihat hanya sebatas jalan berkabut.

"Elen?"

"Hmm?"

"Sekarang apa yang kau lihat?"

"Lihat? Jalan biasa, tidak ada yang aneh kok"

"Seperti itu kah?"

"Ummu mmm."

Tubuhnya sedikit begoyang. Aku tak tahu apa yang ia lakukan, namun kali ini kedua tangannya mulai menyentuh kepalaku.

"Type 00... "

"Kenapa? Apa kau takut?"

"Bukan, tetapi apakah kita melewati jalan ini sekali lagi?"

"Lagi?"

Perasaanku tidak enak dengan hal ini, mungkin kah aku berjalan ke arah yang sama dua kali? batinku.

Dengan penglihatanku yang menampakan kabut tepat di hadapanku. Aku sama sekali tak tahu arah jalan, hanya Elen yang bisa melihatnya. Tetapi mengapa ia tidak memberitahuku jika aku berjalan ke arah yang sama?

"Elen, apakah kau bisa menunjukkan jalannya?"

"Eh?"

"Mataku sedikit sakit."

Alih-alih memberi sedikit kebohongan kepadanya, kuhela napasku hingga aku yakin ini tidak akan menyakiti hati kecilnya.

"Baiklah ...."

Setelah itu aku di pandu oleh Elen, berjalan melewati jalan berkabut ini. Entah akan sampai mana kabut ini terus menghalangi penglihatanku. Tetapi untuk sekarang ... kupercayakan semuanya kepada Elen.

Kakiku terus melangkah selagi Elen menunjukkan jalannya. Jarinya terarah menuju jalan yang akan kami lewati selanjutnya. Perasaanku tidak enak, tetapi setelah melewati pilar ke tiga dari kanan. Pilar yang berbeda, mengeluarkan cahaya merah pudar berpendar.

Aku merasakan ada sesuatu yang selalu memanggilku—mungkin Elen juga merasakannya? Tidak?

Selain itu kulitku merasa seperti di sentuh. Seperti ada yang memegangi leherku, layaknya mencengkram. Tetapi anehnya aku tak melihat wujudnya.

Tiba-tiba saja aku bisa merasakan bahwa Elen sedang meremas rambutku. Aku pun terhenti karenanya.

"Ada apa?"

"Sepertinya kita sudah sampai"

"Sampai?"

Hanya bisa memiringkan kepalaku, tepat di depanku hanya ada jalan berkabut. Tidak ada yang lain, walau Elen memberitahuku bahwa kami telah sampai. Tapi aku tidak yakin dengan hal itu, pasalnya apa yang kulihat sama sekali berbeda dengan penglihatan Elen.

Mungkin kali ini adalah gilirannya, tetapi siapa yang tahu ...

Tetapi lengannya terulurkan, dimana telunjuknya menekan sesuatu yang berada di dalam kabut itu. Suara gemuruh terdengar, begitu juga dengan lantai yang gemetar, pilar-pilar di kedua sisi kami pun lapuk satu persatu.

Sebuah cahaya membuat penglihatanku menggelap sesaat, ketika kulihat kembali. Sebuah tangga tak bertumpu, mengambang terbentang di hadapanku. Menanjak ke atas, di mana satu-satunya penerangan kali ini adalah bebatuan kecil yang menempel tepat di tengahnya.

Aku pun meneguk ludahku, berikir kemudian sambil memegangi daguku.

"Apa yang kau pikirkan saat ini, Elen?"

"Terus maju!"

"Simpelnya ...."

Memang begitulah dia, tidak perlu basa-basa lagi. Ucapan itu langsung keluar seperti tidak ada makna lain yang terkandung di dalamnya.

"Memang seperti itulah dirimu ...."

Sambil menghela napas, aku pun menjejakan kakiku di anak tangga pertama. Terbuat dari batu yang entah apa, aku hanya terus menaikinya satu persatu. Kemudian tepat dia tas sana, aku dapat melihat ujungnya.

Begitu aku sampai di atas, layaknya sebuah arena pertandingan. Ini hampir mirip seperti arena koloseum, melingkar. Di mana beberapa pilar berbentuk mahluk aneh mengelilingnya. Terdapat enam pilar dengan bentuk yang berbeda.

Dan di setiap pilar itu memiliki kristam hitam dengan keragaman dasar warna. Contohnya tepat di depanku, hitam keabuan. Lalu di sisi kananku—tidak jauh dari tempatku berdiri hitam gelap.

"Tempat apa ini? Bukan kah seharusnya ini reruntuhan?"

"Wahhh, aku baru pertama kali melihat tempat seperti ini."

Selepas dari arena dan juga pilar-pilar aneh itu. Langit-langitnya pun seperti jeruji besi, cahaya samar berhasil menembusnya. Memperlihatkan beberapa jasad lama yang menggantung, terlilir oleh rantai.

Sejenak aku memikirkan beberapa kemungkinan, tetapi sayangnya pemikiran itu di tepis oleh bayang-bayang yang baru saja melewati. Keunguan dan memiliki aura yang membuatku sedikit tegang.

Namun, beberapa batu kecil berderik jatuh. Kumpulan pilar itu pun hancur dan meninggalkan enam sosok mahluk serupa namun tak sama mengelilingiku.

Ketika kulihat masing-masing indikatornya ....

『Lot, The Envy Butcher』

『Grimyr, The Lazy Bookworm』

『Alzea, The Greed Maiden』

『Mimic, The Lust Robber』

『Pramph, The Gluttony Skeleton』

『Scheno, The Pride Ruler』

Mereka semua memiliki satu sifat yang masing-masing menunjukkan wujud aslinya. Tetapi ini terdengar seperti tujuh dosa besar, namun ada satu yang kurang. Itu adalah amarah, aku tidak melihatnya sama sekali.

Namun aku tak yakin bisa menang melawan mereka. Di tambah dengan tidak adanya indikator level yang bisa kulihat. Tidak seperti tanda tanya ataupun lever besar. Mereka sama sekali tidak memiliki level sama sekali.

Kini sosok mereka berada di sekitarku, besar, dan juga kokoh. Tidak menampakan kehidupan hingga mata mereka mengeluarkan cahaya yang berbeda.

[Choose The Follower Opponet]

"Pilihan?"

Kukira akan melawan mereka semua, tetapi tampaknya aku salah besar jika mengira seperti itu. jika aku harus memilih, setidaknya mahluk itu harus bisa kukalahkan. Maka aku memilih ....

"Scheno, The Pride Ruler!"

Sontak seluruh ruangan bergema, menyuarakan Scheno. Tempat ini pun berubah menjadi sebuah koloseum sungguhan. Di mana bendera-bendera dengan lambang aneh berkibar di sekelilingku. Menggantung di dinding batu.

Lalu Scheno, lawan yang kupilih tengah berdiri menatapku. Memandangku dengan senyum meremehkan.

"Jadi kau yang berani menantangku?"

"K-kau bisa berbicara? Tunggu sebentar, dimana Elen?!"

"Tenang saja, ia sedang terkena sihir penidur. Hanya ada kau dan aku di sini, tidak ada yang mengganggu"

"Sepertinya aku bisa bernapas lega—"

"Bernapas lega? Berani juga kau meremehkan seorang raja!"

"Raja?!"

Mendengarnya membuatku ragu untuk beberapa alasan. Seorang raja? Itu tidak mungkinkan, lagi pula apa yang seharusnya kulawan adalan mahluk batu.

"Apa kau tahu tempat apa itu?"

"Tempat itu? maksudmu reruntuhan?"

"Kau salah jika menganggap reruntuhan itu adalah tempat biasa"

"Tidak usah memperingatiku, aku mengerti setelah melihat sosokmu."

Ya, sosoknya yang mungkin menyerupai seorang raha. Baju tempur perak yang cukup mengkilat, di mana ada ukiran perisai berwajah singa di dada kirinya. Sebuah jubah merah berbulu melingkari lehernya dan berkibar ketika tertiup angin di belakangnya.

Rambut pendek meranya tampak membara di siang hari ini—siang?

"Aku ingin bertanya satu hal"

"Apakah itu permintaan terakhirmu sebelum kau mati?"

"Terserah, tempat apa ini?"

"Huh! Apa kau panik hanya karena tempat kita berada menjadi seperti ini?"

"Itu tidak menjawab pertanyaanku"

"Rupanya kau orang yang seperti itu. Baiklah, jika melihat sekeliling, aku yakin tempat ini adalah bekas koloseum kerajaanku"

"Kerajaan?!"

Kulihat wajahnya yang sedang tersenyum tipis penuh dengan maksud. Namun aku tahu, julukannya itu bukanlah hanya sekedar pajangan.

"Akan kuberai peringatan"

"Hmmm?"

"Kau salah memilih lawanmu ...."

Suaranya itu layaknya sebuah bisikan. Bernada rendah dengan penekanan yang pas. Sosoknya langsung saja menerjangku. Dimana pedang di tangan kanannya telah ia huyungkan terlebih dahulu.

Menciptakan angin ribut yang meluluh lantahkah apa yang ia lalui. Lantai di arena ini hancur kemudian beterbangan. Menjadi serpihan kecil kemudian bubuk ketika di terpa oleh angin lewat.

Aku pun segera menghindarinya, melompat ke kiri. Tetapi aku telah di hadang olehnya, akhirnya kedua pedang kami saling berbenturan satu sama lain. Suara bising saling adu dan menggesek begitu juga dengan raut wajah kami yang sepertinya tampak mengeras.

"Hebat juga kau bisa menghindari itu, tetapi apakah kau bisa menghindari yang ini?"

Ketika gerak matanya menjorok ke atas. Tiba-tiba saja langit terbelah, memunculkan sesosok mahluk yang terjun sambil membawa kampak raksasa. Terlebih arah mendaratnya tepat ke arahku.

Sial, batinku.

Aku pun melompat mundur secepat mungkin, dengan menggunakan tekanan kaki kananku. Kini bobot tubuhku menjadi berada di bagian tumit. Dengan menghentaknya, aku pun melompat cukup jauh, dan untungnya berhasil lolos dari terjangan mahluk itu.

"Apa?!—"

"Biar kuperkenalkan, ini adalah salah satu lawan yang kau tolak!"

『Lot, The Envy Butcher』

"Huh?!"

"Namaku bukanlah sekedar pajangan!"

Lalu aku mengingatnya, Ruler. Artinya dia adalah sang pengatur.

"Maksudmu kau bisa mengatur mereka?!"

"Benar sekali, maka dari itu ... kau salah memilih lawanmu!"

Dengan senyum tipisnya itu, apa yang kulihat adalah sebuah ejekan halus. Entah mengapa aku benar-benar kesal saat ini. Jika seharusnya aku hanya bisa memilih satu lawan, tetapi berkatnya aku sepertinya bisa melawan mereka semua.

Aku tak tahu seperti apa kemampuannya tetapi aku yakin, salah satunya adalah pemanggilan. Tetapi ....

"Hmph. Kita lihat saja siapa yang terakhir tertawa"

"Sombong sekali kau!"

"Kenapa kau tidak memilihku! Kenapa?! kenapa?! kenapa?! padahal aku kesepian dan ingin bermain!"

Sosok yang tadi menerjangku dari atas kini menampakan dirinya. Layaknya manusia, namun kepalanya benar-benar tak dapat kudefinisikan secara umum. Memiliki mulut sobek bergigi tajam. Dengan telinga runcing yang di anting.

Matanya berwarna hijau menyala. Sedangkan untuk matanya, ia sepenuhnya buta karena sebuah luka sayatan melentang dari sisi kiri matanya hingga mata kanannya. ia juga menggengam sebuah kampak atau mungkin terlihat mirip seperti sabit eksekutor.

Tubuh bagian atasnya telanjang, dipenuhi oleh jaitan yang banyak sekali. Berotot dengan warna kulit putih pucat. Untungnya ia masih menggunakan celana, walau pendek namun penuh dengan sobekan.

Kakinya yang bengkak nampak terlihat normal dan menurutku dapat bergerak dengan enteng. Karena aku tidak yakin apakah itu memang bengkak atau hanya kakinya saja yang memang seperti itu.

Sesekali Scheno tertawa, sambil melihatku, ia pun menunjukkan wajah yang sangat puas. Hanya melihat wajah itu rasanya ingin sekali kuhajar. Mungkin kau dapat tertawa sekarang, tetapi lihat saja. Aku akan menertawakannya tepat di depan wajah banggannya itu.

"Kau kira aku takut dengan hal semacam ini?"

Sambil mendecakan mulutnya, Scheno mulai menyipitkan matanya.

"Ingat ... nama bukanlah sekedar pajangan. Jika keahlianku memanggil rekanku, apa kau tahu apa kemampuan milik Lot?"

"Huh?"

Sebuah dengusan dapat kurasakan begitu kuat. Berasal dari Lot yang kini menjatuhkan air liurnya. Dengan sekejap mata, tubuhku terangkat tiba-tiba. Remasan yang sangat kuat membuatku mengerang kesakitan,

Aku tidak tahu apa yang terjadi, tetapi mengapa aku bisa terangkat?

"Hahahahaha! Sombong sekali kau mengatakan hal itu kepadaku, tetapi lihat sekarang. Tak berdaya, lemah! Rendahan! Berani sekali kau menantang salah satu di antara kami!"

Scheno mulai berjalan, mendekatiku perlahan-lahan. Namun aku sama sekali tidak bisa bergerak di atas sini. Tubuhku ... tubuhku benar-benar tidak bisa kugerakan sama sekali.

"Dan kau mengerti sekarang—"

Ia pun melayang dan kini telah berada di hadapanku. Meremas kedua pipiku lalu mendekatkan wajahnnya.

"—Ini adalah hak absolut yang tak bisa kau lawan, bocah!"

Dan akhirnya aku mendapatkan sebuah tendangan kencang yang berhasil menyentak perutku. Membuatku terlempar jauh hingga menghancurkan salah satu bangku penonton.

Tetapi sebelum itu, aku merasa seperti menghancurkan sesuatu. Seperti dinding tak kasata mata. Apakah itu kekuatan Lot?

"Dengan begini kita sudah tahu mana yang akan bertahan hidup dan mana yang akan mati."

Perkataannya benar-benar dingin dan penuh kebencian. Aku dapat merasakannya, walau kondisiku sangat tidak di untungkan. Kemudian ia pun menyeringai.

"Saatnya makan ...."

=====================================================

Sebelumnya maaf untuk chapter sebelumnya, ada sedikit kesalahan teknis. Dan mungkin belum ane cantumkan, tapi ya sudahlah ... yang penting cerita berjalan mulus. Nanti lagi buat ngedit sekarang mau lanjut dulu :3

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro