Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

28 - Resting

Aku ingat ketika pertama kali membeli pakaian bersama Adi di sebuah tempat perbelanjaan yang besar sekali. Di sana kami bersenang-senang dan bergembira bersama. Tak mengenal waktu dan tempat.

Berbincang-bincang mengenai berbagai hal. Dari mulai bagaimana aku menebak apakah adikku itu memiliki seorang pacar atau tidak. Bahkan pada hal yang paling memalukan dan menyangkut privasi kami masing-masing.

Tertawa terbahak-bahak sambil minum teh yang kami pesan. Namun pada saat itu Adi tersedak dan menyemburkan tehnya ke wajahku. Bukannya meminta maaf tetapi ia malah tertawa. Mau bagaimana lagi?

Ia memang seperti itu. Setelah semua yang kami lakukan di tempat itu, kami pun beranjak dan pergi menuju game center bermain sepuas mungkin. Bahkan skor yang kami dapat berimbang ketika bermain tembak-menembak pada salah satu permainannya.

Ada juga ketika kami sedang bermain tari-menari seperti menginjak panah dan di depan kami terdapat layar untuk mengsinkronkan gerakan kami dengan gambar di layar itu. Adi sempat terjatuh dengan pantat yang membentur lantai.

Dan saat itu adalah giliranku yang tertawa terbahak-bahak. Tetapi setelah itu aku mengulurkan tanganku untuk membantunya bangun. Melihat bagaimana reaksinya itu, membuatku tak bisa menahan tawa.

Karena pada saat itu kami di lihat oleh para pengunjung. Bahkan jika aku tidak salah dengar beberapa anak perempuan menertawakan kelakuan Adi. Wajahnya memerah dan kepalanya tertunduk.

Tetapi aku menyemangatinya dan akhirnya ia tidak kembali malu. Tersenyum ke arahku sambil berlari meninggalkanku. Memang adik yang merepotkan. Tetapi ... bagiku hanya dialah satu-satunya keluargaku.

Aku tak mengingat bagaimana wajah terakhir ketika orang tua kami meninggalkan kami berdua. Untuk selamanya dan tidak akan pernah kembali. Tidak ada yang kuketahui, semua ingatanku rasanya rusak.

Bahkan aku tidak mengingat bagaimana diriku bisa tumbuh hingga seperti ini dan menjadi anti-sosial. Bukan berarti anti-sosial tidak bermain atau tidak pernah berbicara dengan siapapun. Hanya saja aku menaruh pelindung tak terlihat di sekitarku dan perasaan was-was yang memberitahuku untuk tidak percaya terhadap orang lain selain adikku sendiri.

Mungkin itu ... tetapi kenapa aku mengingat hal ini?

Bukan kah sekarang aku berada di ....

Seketika itu juga pemandangan yang kulihat mulai hancur seperti potongan puzzle yang berjatuhan. Satu persatu menghilang dan tempat di mana aku bisa melihat senyum Adi luntur. Kini hanya kami berdua di sebuah tempat putih yang begitu luas.

Ia menghadap ke arahku sambil menitihkan air mata dari kedua matanya. Begitu aku ingin meraihnya ... mulutnya bergerak mengucap sesuatu yang aku sangat ingat sekali bagaimana ia mengucapkannya dan di mana serta sedang apa ia saat itu.

『Kak ... hiduplah demi diriku dan juga orang tua kita』

Kata-kata itu benar-benar langsung mengena di hatiku dan aku menolak kenyataan itu. Satu-satunya harapan yang di tinggalkan oleh mereka adalah diriku sendiri dan juga begitu harapanku untuk dapat menggapai serta meraih apa yang mereka selalu harapkan ketika kami—aku, Adi, Ibuku serta Ayahku masih bersama.

Namun saat itu juga semuanya menghilang. Sosok Adi pun menjauh dariku, walau berapa kali pun aku berteriak dan berusaha mengatakan,"Tunggu aku!", teriakanku sama sekali tidak menjangkaunya.

Semua kini menggelap, layaknya jurang yang tak terlihat tubuhku serasa di tarik ke bawah dan sebuah cahaya mulai dapat kurasakan menyelimuti diriku. Sebuah tangan dapat kulihat ingin menggapaiku ... ketika aku mencoba untuk meraihnya ... aku termenung.

Hahhh ... jadi ini yang namanya kehangatan dan pada saat itulah aku membuka kedua mataku. Tepatnya ... kini aku bisa merasakan sensasi kehatangan dari tanganku dan begitu juga sebuah cahaya yang sama mulai menerangi penglihatanku.

"A-a-ahh ... apa yang terjadi?"

Akhirnya aku membuka kedua mataku lebar-lebar. Sesosok wajah mulai dapat kulihat dan dapat kukenali. Wajahnya yang mungil dengan rambut serta matanya yang sehijau daun segar di pagi hari itu tampak mengkhawatirkan diriku.

Di belakangnya sebuah wajah yang terangkai oleh bebatuan menatapku dari atas sana. Ia begitu jauh dan juga begitu besar. Hingga aku tak dapat melihat langit-langit karena sosoknya yang menghalangi pemandanganku.

"E ... Eril? L-L-Lagiaz?"

Sebuah senyum mengembang di wajah mereka.

"Paman, untungnya Archie masih mengenali kita~"

"Sepertinya tidak ada yang perlu kukhawatirkan."

Suaranya yang riang kini membuatku benar-benar tersadar. Dan begitu aku dapat mengenali sekelilingku. Aku tahu di mana tempat aku sedang terbaring ini. Ini adalah Makam Besar Fartera.

"A-apa yang terjadi setelah aku tidak sadarkan diri?"

"Ahh ... ceritanya panjang sekali~"

Lagiaz yang berada di belakang Eril pun menegakan tubuhnya dan mulai mengangkat kedua tangan besarnya itu seolah-olah sedang mengeluarkan sihir. Sementara yang kulihat Eril sedang menyembuhkanku dengan kemampuan uniknya.

Lingkaran besar yang bercahaya muncul di langit-langit. Kemudian bersinar cerah hingga membuat penglihatanku silau. Suara gemuruh terdengar dan begitu kucoba untuk membuka mataku kembali. Tempat ini mulai memperbaiki dirinya sendiri.

Di situ aku mulai paham bahwa Lagiaz sedang memperbaiki tempat ini kembali. Sementara itu Eril mulai bercerita. Bagaimana aku bisa berada di sini dan bagaimana dengan Loan yang kulawan hingga akhirnya hancur.

Awalnya Lageroz merasakan hawa kehadiranku melemah dan meminta Eril untuk melihat kondisiku. Lalu ia menemukanku sedang terbaring tak sadarkan diri di sebuah tanah hitam yang kembali seperti semula.

Ia pun membawaku dengan bantuan kekuatannya yang berupa sulur-sulur tanaman. Bukan hanya diriku tetapi Leon dan Vira pun sama. Mereka di bawa kembali ke tempat ini. Namun begitu telah sampai di sini, sebuah suara yang memiliki intensitas gelombang kejut besar terdengar hebat dan berhasil mengguncang tempat ini.

Lagiaz mencoba menahan gelombang kejut itu dengan sekuat tenaganya. Ia berhasil namun berkat itu, aura serta kekuatan sihirnya tersedot cukup banyak hingga membuatnya tak sadarkan diri beberapa saat.

Tidak ada yang tahu pasti gelombang apa itu dan dari mana datangnya. Hanya saja menurut Eril, gelombang itu berasal dari mahluk yang kukalahkan. Begitulah yang ia kira, tetapi kejelasan dari mana sumbernya datang, ia sendiri tidak mengetahuinya.

Tetapi sempat sebelum itu terjadi, Lagiaz mendengar suara teman-teman Eril yang menghilang. Mereka memberitahu Lagiaz untuk selalu menjaga Eril dan tempat mereka kembali—yaitu Makam Besar Fartera.

Ketika Lagiaz memberitahuku tentang itu, wajah Eril menjadi gelap dan ia menundukkan kepalanya seraya berusaha untuk tidak memperlihatkan wajah sedihnya. Di antara teman-temannya yang menghilang hanya dia lah yang berhasil selamat.

Dan ia baru mengetahui fakta di balik itu setelah aku berhasil mengalahkan Loan dan di bawa kemari. Ternyata itu adalah ulah teman-temannya sendiri yang tidak ingin Eril berubah menjadi monster seperti mereka.

Serentak mereka menggunakan sihir penenang kepada Eril dan juga menghapus beberapa ingatannya. Selain itu juga mengirimnya keluar Makam Besar Fartera. Tetapi semua itu memerlukan pengorbanan yang besar sekali.

Dan timbal balik yang di rasakan oleh teman-teman Eril adalah ....

" ... Kehadiran mereka dihapus dari dunia ini dan begitu juga sosok mereka yang rela di ubah menjadi mahluk hitam itu."

Lagiaz dengan tenangnya menyampaikan pesan itu sementara ia masih memperbaiki tempat ini dengan sihirnya. Aku pun bangkit kemudian duduk menyila menghadap Eril. Untungnya penyembuhan yang dilakukan oleh Eril berhasil dan aku merasa tubuhku kembali seperti semula.

Aku pun meletakkan tangan kananku di bahu Eril kemudian menatapnya penuh makna. Bahwa apa yang mereka lakukan itu tidaklah salah atau benar, karena semua yang mereka lakukan hanya untuk menyimpan benih harapan yang kemudian akan tumbuh besar demi menyelamatkan makam besar Fartera.

Dan aku paham betul bagaimana rasanya kehilangan seseorang, lalu aku pun dengan tenang mengucapkan sesuatu yang seharusnya menjadi alasan mengapa aku harus hidup.

"Eril ... hiduplah demi teman-teman yang menitipkan harapan mereka kepadamu."

Tiba-tiba saja tubuhnya gemetar dan aku tahu ini akan terjadi.

"Uhm ...."

Ia pun mengangguk dengan wajahnya yang kusut karena tak kuasa menahan tumpahan air mata yang selama ini ia bendung. Dan kini bendungan itu hancur, Eril pun langsung menangis sambil meremas rerumputan kecil di bawahnya.

Melihatnya mengingatkanku pada Adi saat dulu. Aku tahu dan aku juga mengetahui apa yang ia rasakan. Pada dasarnya kami memiliki kejadian yang serupa—bagaimana orang-orang yang kami sayangi dan sangat kami jaga mengorbankan kehidupan mereka demi kami.

"Sudahlah ... jangan menangis, kuatkan dirimu ... Eril."

Aku pun mengelus kepala kecilnya yang kini mendunduk menitihkan air mata terus menerus. Ketika sebuah kehidupan di korbankan, maka benih harapan baru akan muncul dan akan memberikan warna baru pada kehidupan yang akan mereka hadapi.

Begitu juga kematian yang selalu membayang-bayangi dan mengintai kita di saat kita lengah.

Setelah Lagiaz selesai dengan sihir perbaikannya, Eril pun di saat yang bersamaan kembali kepada dirinya yang ceria. Aku tersenyum kecil ketika melihatnya.

"Anak muda ...."

Tiba-tiba saja Lagiaz mengangkat tubuhku dan mendekatkan diriku dengan wajahnya. Kini aku berdiri di telapak tangan besarnya, sementara Eril memanjat tubuhnya dan tengah duduk di bahu kanannya.

Menggoyangkan kepalanya, ia seperti sedang bersenandung dengan wajah yang memerah karena habis menangis.

Kini mataku dan mata Lagiaz saling menatap.

"Suatu saat kau akan melihat bagaimana sifat manusia yang sesungguhnya dan bagaimana gelapnya hati mereka akan terungkap"

" ... Sepertinya aku tidak asing dengan perkataan itu, apakah sebelumnya kau juga memberitahuku seperti itu?"

"Hahahaha ... mungkin saja kenangan Type 00 masih tersisa di dalam dirimu. Sehingga kau merasa tidak asing dengan perkataanku, karena perkataan ini juga telah kusampaikan kepadanya"

"Hmmm ... seperti itu?"

"Tentu saja."

Lagiaz tersenyum, begitu sudut garis mulutnya bergerak. Remah-remah kecil jatuh turun dan memantul sekali lalu akhirnya hancur dan menyatu dengan tanah.

"Maksudmu ada udang di balik batu? Begitu kah?"

"Hmmm ... penafsiran yang menarik, bukan itu ... tetapi lebih tepatnya semut hitam berada di atas batu hitam pada saat malam hari"

"Ughh ... aku tak mengira kau mengetahui pribahasa itu."

Aku cukup terkejut dengan pengetahuan yang di miliki oleh Lagiaz. Pantas saja ia di sebut sebagai perpustakaan yang hidup.

"Jangan salah anak muda, walau begini pengetahuanku luas ... hohoho"

"Tentu saja aku tahu itu, lagi pula kau membagi pengetahuan dunia ini dengan diriku ...."

Aku pun memiringkan kepalaku, seraya memikirkan perkataan Lagiaz sebelumnya.

"Kegelapan hati manusia ... akan terlihat? Apa maksudmu?"

"Aku pun masih belum mengetahuinya secara pasti. Tetapi mahluk yang bernama Pipo itulah akan memberitahumu nanti"

"Pipo?!"

"Ya ... dan dia juga yang akan mengungkap kegelapan hati manusia yang paling terdalam"

"Sepertinya pribahasamu tepat sasaran ... "

"Memang begitu bukan ... hohohoho"

"Hahh ... baiklah. Aku mengerti, jadi apa yang harus aku lakukan?"

Setelah menghela napas, kini aku pun melangkahkan kaki satu kali agar mendekati wajah Lagiaz.

"Kau harus menumpas "akar"-nya, namun kau akan kembali dihadapakan dengan pilihan yang berat"

"Membunuh ... itu yang kau maksud? Jika seperti itu ... maka—"

"Tidak ... lebih parah lagi."

Mata Lagiaz kini tampak lebih serius dan menatapku penuh dengan resolusi. Aku tak tahu pilihan apa itu, tetapi sepertinya Lagiaz sendiri lah yang akan memberitahuku.

"Merelakan atau Membiarkan ... "

"Huhh ...?"

Begitu aku mendengarnya, itulah yang mungkin menjadi sifatku. Karena kedua dari pilihan itu bukanlah pilihan melainkan kebiasaanku dulu. Dimana ketika orang-orang yang mengetahui apa latar belakang serta bagaimana kondisi mentalku menampakan taringnya.

Aku tidak tahu mana yang harus kupilih karena kedua itu memanglah sifat yang mendasar pada diriku. Membiarkan ... orang-orang berpikir negatif terhadap diriku, tidak mempedulikan sekitarku namun pengecualian untuk keluargaku, sisanya hanyalah sosok bayangan buram yang tidak kupedulikan.

Merelakan ... kejadian masa lalu menimpa pada diriku kembali dan itu menimpa adik berhargaku, Adi. Demi menyelamakatkanku, ia rela mati demi diriku yang menganggap bahwa diriku sendiri adalah seorang pengecut.

Tidak berani melakukan apapun. Hanya berdiam diri di kamar dan menunggu kepulangannya ke rumah, selebihnya aku tidak bisa melakukan apapun yang ia bisa lakukan. Jika seandainya pilihan itu muncul, tentu saja aku tidak memilihnya ... mungkin aku akan menghiraukannya.

Karena itu aku mengatakan sesuatu yang seharusnya menjadi resolusiku sendiri.

"Maka aku akan memilih ... pilihan ketiga!"

"Ketiga ...?"

Lagiaz menggaruk tengkuk belakang lehernya, sementara Eril tidak mempedulikannya dan terus bersenandung ria.

"Aku ... akan melakukan sesuatu yang sudah seharusnya kulakukan, alias ...."

Aku pun tersenyum karena memikirkan kata ini. Mengingat kata ini adalah kata-kata yang selalu kubenci karena kemalasanku.

" ... Mengusahakannya," tuturku lembut.

"Mengusahakannya?"

Lalu beberapa saat kemudian Lagiaz tertawa terbahak-bahak hingga mengguncangkan tubuhnya sendiri. Di mana Eril pun bersusah payah merangkul dan mencari tempat agar ia tidak terjatuh dari tubuhnya.

"Menarik, menarik sekali ... anak muda, kau bisa menciptakan sesuatu yang tak kusangka-sangka. Baiklah kalau begitu ... jika sebelumnya aku memberikanmu setengah dari pengetahuan dunia ini, maka sekarang ... khususnya diriku sendiri dan bukan sebagai 【Lagiaz, The Guardian of The Great Tomb Fartera】 ... tetapi hanya Lagiaz dan bukan yang lain."

Setelah itu, jari telunjuk batunya menyentuh lembut dadaku. Seketika itu beberapa benang sinar berwarna biru metalik keluar dari dalam sentuhan itu. Membungkus diriku kemudian hancur dan kepingannya menyatu dengan hatiku.

"Ini adalah teknik yang hanya orang terpilihlah yang bisa menggunakannya ... ingat orang-orang terpilih dan bukan sembarang orang. Jadi ... jika kau menemukan orang yang memiliki kemampuan yang sama dengan ini, berarti mereka juga orang-orang terpilih"

"Aku mengerti tentang itu tetapi apa yang kau maksud—oh?"

Belum aku ingin menyelesaikan perkataanku, sebuah notifikasi dengan layar keabuan muncul di depanku dan memunculkan sebuah kalimat.

【Aqcuired The Lost Formless Skill】—『Zero Acumulation』,『Matheria』, and『Quick Draw』.

"Eh? Skill apa ini?"

"Itu adalah Skill yang tak berbentuk dan hanya kau sendirilah yang mengerti akan Skill itu. Karena Skill itu di bentuk dari sifatmu sendiri"

"Ughh ... "Pendiam" kah?"

Aku pun menghela napas dan entah kenapa merasa geli sendiri mendengarnya dari Lagiaz.

"Dan tentunya Skill itu tidak diaktifkan melainkan mengaktifkannya sendiri"

"Pasif kah? Sepertinya ini akan menarik—"

Setelah itu ... aku tersadar bahwa Leon dan Vira telah mendapatkan kesadarannya kembali. Tersenyum kecil dan sepertinya aku memiliki ide yang "unik" untuk kali ini.

Dan seringai kecil pun mengembang di wajahku yang sepertinya tertarik untuk mencoba hal ini.

"Seperti burung dalam sangkar, aku datang untuk membebaskan mereka yang terkurung ...."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro