14 - Sorrow/Reality
Kenapa aku baru menyadarinya sekarang?
"Arghhh ... kakiku pegal."
Aku pun bangkit dari ranjangku sambil menguap. Sementara suara-suara bising mulai terdengar dari lantai satu. Mungkin Adi telah siap ... karena hari ini adalah peringatan kematian kedua orang tua kami.
Sebelumnya, setelah aku kelelahan mengejar Adi kemarin. Ia memberitahuku tentang peringatan hari kematian orang tua kami. Sehingga hari ini kami akan berkunjung ke pemakaman mereka.
"Ahh ... hari ini kah?"
Setelah beranjak dari ranjang, aku pun pergi ke lantai satu untuk mandi. Kulihat Adi telah bersiap-siap dengan pakaian semi formalnya. Kemeja biru lengan pendek, dalam kaos polos dan juga celana panjang bahan katun.
Rambutnya sudah tampak di poles dengan jel perapi rambut. Sementara diriku lihat ... baru bangun dengan rambut acak-acakan, aku pun mulai pergi ke kamar mandi.
"Apa kau bersemangat?"
Ia menggeleng ketika kutanya, matanya yang selalu ceria tampak layu saat kupandang. Dengan raut wajahnya yang tenang ia pun menghela napas lalu menarik dan menghembuskannya kembali.
"Cepatlah, Kak. Setidaknya hari ini cerah ... "
"Baiklah baiklah, tunggu sebentar."
Aku pun segera pergi ke dalam kamar mandi sekaligus mengambil handuk. Tidak lama kemudian, aku pun keluar dengan rambut basah. Segera berlari menuju lantai dua sementara jejak-jejak kaki basahku dapat kudengar menghentak lantai.
Tak perlu ambil pusing lagi, pakaian yang setidaknya cocok dengan pakaian yang di pakai Adi telah berada di rak paling atas. Sedangakn untuk celana selalu kugantung di lemari baju.
Perlu 15 menit untukku memakai baju dan merapikan tubuhku sendiri. Parfum natural dan juga sedikit penyegar wajah. Setelah itu aku pun kembali ke lantai satu untuk menemui Adi yang telah siap untuk pergi.
"Sebaiknya kita membawa payung, mungin hujan akan tiba-tiba turun?"
"Baiklah"
"Kalau begitu ...."
Kami saling bertukar pandang kemudian membuka pintu depan bersama-sama. Ketika kami keluar, tebakanku ternyata benar. Cuaca sedikit mendung, untungnya kami membawa payung.
Kota ini mulai di padati oleh turis asing, bahkan di suatu kesempatan ketika aku sedang pergi ke toko serba guna sendirian. Aku bertemu dengan salah satunya, ia menanyakan lokasi tempat, namun aku menjawabnya dengan gugup, dan hampir tak bisa berkata apa-apa.
Karena turis itu tampaknya mengerti situasiku, ia pun meminta maaf dan mencari orang lain. Tidak kusangka bahwa turis-turis asing itu cukup mengerti tentang situasiku walaupun kami hanya bertemu satu kali.
Tetapi setidaknya aku bisa lolos saat itu ....
"Kak?"
"Huh?"
"Apa Kakak masih mengingat wajah kedua orang tua kita?"
"Tentu ...."
Aku pun tersenyum kecil ke arahnya, tingginya yang hanya sebahuku memudahkanku untuk mengelus kepalanya. Ia tampak tidak menyukainya, tetapi aku senang masih bisa melihatnya ....
[ ... A-adikmu ... b-b-bukanlah ... m-m-manusia ... ]
Napasku tersengal-sengal, tanpa kusadari wajahku memucat dan jantungku terasa sakit. Aku pun menahannya dan terus melangkah maju. Aku tak tahu apakah Adi melihatku atau tidak.
Tetapi aku tidak mempedulikannya, suara itu ... suara milik Type A1. Mengapa suara itu dapat kudengar?
Tidak lama kemudian kami sampai di pemakaman orang tua kami. Adi yang pada saat itu berjongkok dan mengelus batu nisan orang tua kami menunjukan raut wajah yang tidak terbendung. Aku mengerti bagaimana perasaannya saat ini.
Karena ... aku pun merasakan apa yang di rasakan olehnya. Walaupun aku tak menyangka Adi tidak menangis, ia menahannya dengan baik. Tepat di depannya itu dua buah batu nisan berdiri dengan tegak.
Sebelah kiri, Iwan Chairil Aryawiguna. Sedangkan sebelah kanan, Eva Putri Indrawati. Kedua orang tua yang sangat kusayangi dan juga kuhormati itu kini telah tertidur untuk selamanya. Yang bisa kulakukan hanyalah meratapi sisa-sisa pesan dan juga peninggalan mereka.
Ayah ... Ibu ... lihat, kami berdua telah menjadi kuat dan tetap tegar.
"Kak ... apakah Kakak tidak akan berpesan?"
"Ah ... ya, tunggu sebentar."
Walau umur kami terpaut beda tiga tahun. Tetapi Adi sudah seperti diriku sendiri, lebih muda tetapi dapat di andalkan. Kami pun berpesan dan berharap bahwa kabar kedua orang tua kami di sana baik-baik saja.
Setelah selesai kami pun beranjak dari sana dan kembali pulang menuju rumah. Tetapi aku heran, jalanan kota Bandung bisa sesepi hari ini?
Entah mengapa perasaanku tidak enak akan hal ini. Pemakaman orang tua kami memang tidak terlalu jauh dari rumah kami, walau dengan berjalan menguras tenaga kami. Tetapi setidaknya di perjalanan itu kami saling berbagai cerita.
Dan terkadang aku sedikit gugup karena harus keluar di temani olehnya. Jika seandainya aku sendirian pergi ke sana, mungkin aku akan memojok dan tidak ingin melangkah lebih jauh lagi.
Melihat tatapan orang asing itu membuatku risau. Ada perasaan yang tidak ingin kutanggapi, tetapi di saat tertentu perasaan tidak enak itu selalu muncul. Seolah-olah mereka melihatku bukanlah sebagai manusia.
Tetapi kini aku di temani oleh Adikku, sehingga perasaanku tidak terlalu terbebani oleh tatapan orang asing yang melihatku dari kejauhan. Merasa asing di kota kelahiran sendiri merupakan sesuatu yang sama sekali tidak terpikirkan oleh diriku sendiri.
"Kak?"
"Apa?"
"Apakah Kakak mengingat hari ketika mereka kedua orang tua kita—"
"Sudahlah jangan dipikirkan, nanti yang ada kita jadi semakin bersedih atas kepergian mereka. Sebaiknya kita syukuri kehidupan yang masih kita miliki"
"Kehidupan kah?"
"Apa ada yang salah?"
"Tidak ... hanya saja jarang sekali aku melihat Kakak sebjiak ini"
"Memangnnya Kakakmu ini seperti apa, huh?!"
"Egois ... pemurung ... anti-sosial ... penakut ... "
"Ughh ... sepertinya kau ingin membenamkan kebohonganmu ke dalam hati Kakakmu ini, ya?"
"Tidak, itu memang fakta kok!"
"Ughh—"
Setelah itu Adi tertawa kecil sementara aku tidak percaya apa yang di katakan olehnya adalah fakta yang masih kuragukan sama sekali. Walau sebagian aku setuju dengan perkataannya, tetapi tetap ... hatiku sakit mendengarnya.
"Sekarang kita akan ke mana, Kak?"
"Karena tadinya aku ingin langsung pegi ke rumah, mungkin kita akan pergi dulu ke kedai teh, bagaimana menurutmu?—"
Begitu kualihkan pandanganku ke Adi, ia sedang tersenyum jahil sambil memandangku dengan rasa penasaran.
"Tumben Kakak ingin pergi ke kedai ... hehehe, ada apa ini?~"
"Sudahlah Adikku yang bodoh, turuti saja kata Kakakmu ini!"
"Puuu puuu ... baiklah, hehehe~"
***
Kami pun kini tiba di depan sebuah kedai teh yang sepi akan pengunjung. Kulihat hanya ada seorang kakek-kakek yang membaca koran dan juga seorang anak laki-laki yang sedang bermain dengan laptopnya.
"Apa Kakak yakin?"
"Y-yakin apanya?"
"Hah ... tidak bisa diharapkan, karena ini adalah pertama kalinya. Jadi seharusnya Kakak yang lebih bersemangat, tetapi kenyataannya masih canggung, ya?"
"Ha-ha ... ha ... a-aku tidak canggung kok"
"Lihat berkata saja gagap kayak begitu!"
"Ughh—"
"Kalau begitu serahkan saja pada adikmu ini ... hmph."
Dengan bangganya ia membusungkan dada dan kulihat, aku tidak tahu apakah mataku yang bermasalah atau tidak. Hidung miliknya memanjang hingga dua sentimeter. Hahh ... mungkin hanya imajinasiku saja.
Lagi pula mana mungkin hidungnya bisa memanjang?
Ia bukan pinokio melainkan manusia. Lihat ... hidungnya kembali normal?
Hahh ... rupanya aku terlalu kelelahan hanya karena mengunjungi pemakaman orang tuaku. Fisik tubuhku juga tidak terlalu bagus mungkin hanya berlari 30 m aku akan kelelahan dan banyak mengeluarkan keringat.
Ketika kami masuk ke dalam kedai itu, seorang lelaki paruh baya tersenyum ke arah kami dari arah meja kasir sekaligus pemesanan. Lalu Adi menanyakanku tentang teh apa yang ingin aku pesan sekaligus juga dengan makanan pendampingnya.
Aku hanya memberitahunya bahwa aku ingin teh apel, sisanya biarkan dia yang memilihkannya untukku. Ia pun segera pergi ke meja kasir, aku lupa memberikan uangnya kepada Adi. Apakah ia membawanya ....
Eghh ... tampaknya tidak, ia pun segera berlari ke arahku dengan mata memelasnya. Yang bisa kulakukan adalah menarik selembar uang 100.000 rupiah walau terasa berat. Ia pun langsung menyambarnya dengan cepat lalu kembali pergi ke tempatnya memesan teh.
Sambil menunggu Adi selesai memesan, aku mencari tempat yang setidaknya cukup enak bagi kami berdua untuk becakap-cakap. Untungnya aku mendapatkan satu, tempat itu berada di pojok kanan sebelah jendela.
Ketika aku sampai di sana, aku tidak menyangka bahwa kursi yang akan kami duduki adalah sebuah sofa yang cukup empuk. Dan di saat aku mendudukinya, pantatku begitu lembut, dan terbawa hingga ke bawah.
"Ahhh ... sensasi yang pernah ada~"
Dengan leganya aku mengeluarkan hembusan napas. Tempat ini begitu nyaman untuk diriku yang anti-sosial ini. Desain interiornya di dominasi oleh sebagian kayu mahoni. Terlebih lagi di poles dan di cat ulang agar efek kesegaran kayunya terjaga.
Sensasi aroma yang di timbulkan oleh taman kecil di seberang sana dekat sebuah kolam juga cukup menenangkan. Karena bunga-bunga yang di tanam di sana begitu indah untuk di pandang. Sudah berapa lama aku tidak melihat hal seperti itu.
Bahkan suasana di ruangan ini pun begitu tenang dan tidak gaduh. Sebuah instrumen piano terdengar dari alat pemutar lagi tahun 80-an. Itu adalah benda yang dapat memainkan piringan lagu.
Adi pun tiba sebelum aku ingin memanggilnya. Ia pun duduk di depanku, terpisah oleh meja persegi panjang ynag cukup tinggi. Ia pun mulai merebahkan dirinya di sofa kecil yang ia duduki. Uang kembalian ia taruh di atas meja, aku pun mengambilnya tergesa-gesa.
Entah mengapa rasanya melihat recehan seperti itu membuatku resah.
"Sekali-kali pergi ke tempat seperti ini enak juga, ya"
"Kan gratis untukmu"
"Hahaha ... ayolah Kak, yang dewasa mentraktir yang muda"
"Tepatnya yang muda menghormati yang dewasa dan tidak menggasak isi dompetnya dengan tergesa-gesa."
Begitu aku mengucapkannya, Adi langsung terkekeh-kekeh sendiri dan kepalanya yang tak bisa diam membentur tembok yang berada di belakangnya. Kini giliranku untuk menertawakannya.
Hari-hari seperti ini sangatlah langka bagi kami berdua. Tetapi melihat kembali kedai ini ... tempat yang tidak tersentuh oleh canggihnya teknologi dan di bangun sesederhana mungkin demi menciptakan suasana yang di inginkan.
"Lalu apa ada yang ingin kau bicarakan denganku, Adi?"
"Tidak ... hanya saja jarang sekali melihat Kakak yang mau keluar dari rumah"
"Begitu ya? Mungkin faktor hari?"
"Iya juga sih, sekarang adalah hari yang perlu di kenang. Karena, hari-hari seperti ini tidak akan berlangsung lama"
"Kau mengatakannya seakan memang itulah yang akan terjadi"
"Jika menjadi kenyataan ... mau apa hayoo~"
"Tentunya akan kuusahakan tetap berjalan lama. Menyerah?"
"Menyerah? Jangan bercanda, Kak! Pemurung dan pengurung diri seperti Kakak memangnya bisa ya? Seperti itu?"
Aku pun mendecakan lidahku beberapa kali.
"Jangan meremehkan Kakakmu ini, dirimu masih muda dan kau tidak tahu tentang bagaimana kerasnya dunia orang dewasa—"
"Walau Kakak masih 17 tahun?"
"Tentunya!"
Sekali lagi kami tertawa kecil, lalu pesanan kami datang. Rupanya Adi memesankanku semangkuk kecil wafel vanila. Sedangkan dia wafel stroberi. Selagi masih hangat dan juga wafel yang baru tiba masih segar.
Kami pun menghabiskan waktu kami cukup lama di kedai itu hingga tiba waktunya kami selesai dan meninggalkan kedai ini.
Setelahnya kami tiba di rumah dengan selamat. Tetapi tiba-tiba saja Adi diam seribu kata. Ia bahkan tidak melihat ke arahku. Kilat cepat memercikan cahayanya di langit yang kelam, sementara guntur bersua layaknya burung yang kelaparan, lalu turun lah hujan yang membawa pertanda kesedihan.
Begitu kami sampai di ruang utama—tepatnya ruang tempat kami untuk menonton Tv. Adi tiba-tiba saja berbalik lalu menghadapku. Ekspresi wajahnya tidak bisa kutebak sama sekali karena poni rambutnya yang cukup panjang itu menutupi kedua matanya.
"Kenapa dari tadi kau diam saja?"
" ... "
"Ayo ah, lagi pula aku hanya bercanda tentang mencuri wafelmu di kedai tadi. Lain kali akan kubelikan satu box"
" ... "
"Kali ini kau membuatku merinding, Adi"
" ... "
"Jika kau tidak ingin mengatakan sesuatu, aku akan—"
"Kak ...."
Begitu aku memalingkan wajahku. Mataku melebar melihat bagaimana kedua matanya bersinar redup. Lagi pula kemilau mata seseorang memang bisa dilihat jika penerangan yang cukup untuk membuat matanya bersinar.
Namun ... ruangan kami berada sama sekali tidak memancarkan cahaya lampu. Tetapi kedua matanya bersinar, ia pun mulai berjalan ke arahku cukup lambat. Setiap langkah kakinya itu membuatku ragu apakah ia sanggup untuk berjalan atau tidak.
Karena ... kakinya gemetar dan tubuhnya pun sama. Ia tidak kebasahan atau pun tidak merasa sakit sedikit pun. Begitu aku ingin menggapai bahunya. Ia pun mendongakan wajahnya yang sedari tadi tidak bisa kugapai.
Mulutnya begerak lambat tetapi sama sekali tidak bersuara. Lalu ia pun menitihkan air mata ....
" ... A-aku menyayangimu, Kak. Dan selamat tinggal ...."
Ia segera berlari ke arahku dengan mata yang dingin. Lalu kedua tangannya mulai mencekikku serta membantingku ke tembok samping kanan kami. Aku tercekat dan begitu juga dengan tenggorokanku yang sakit.
Cekikannya mulai menguat, aku berusaha meronta dan menendang perut Adi. Tetapi ia tidak bergeming.
"Aghhkk ... Adi ... a-a-apa yang kau lakukan?!"
Terus dan terus aku meronta, semakin kuat juga cekikannya. Matanya tak bisa kuterka, seperti ada sesuatu yang menghalanginya. Gelap. Dalam dan tak bisa di raih. Aku tak tahu ekspresi apa yang Adi buat sekarang.
Karena aku tidak bisa melihatnya selagi leherku ia cekik dan tubuhku semakin di bawa ke atas. Punggungku rasanya berat serta pikiranku yang mulai membuyar. Aku tak tahu Adi akan melakukan hal seperti ini ....
"S-sadarlah bodoh! ... arggghh!!!"
Sekali lagi aku menendangnya, kakiku meluncur ke arah dagunya. Ketika satu hentakan itu berhasil membuatnya tergerak. Wajahnya sedikit terangkat dan dapat kulihat kedua matanya berkaca-kaca.
Ia pun mulai menjatuhkanku seraya menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Lalu rintihan kecil terdengar, Adi melangkah mundur dan mundur secara perlahan.
Suara kecil dapat kudengar meminta maaf selagi aku terbatuk-batuk dan memegangi leherku pelan-pelan.
"AaaaaaAaahhhhh!!!!!"
Kini teriakanlah yang keluar dari mulut Adi. Beberapa saat ia terdiam tanpa tanda-tanda akan kembali mencekikku. Tetapi ....
"A-apa yang sudah kulakukan? ...."
Suaranya yang pelan itu berhasil mengembalikan kesadarannya dan di saat yang bersamaan. Ketika aku ingin menerjang dan memberikannya sebuah takel keras ....
Adi pun langsung terjatuh, sebuah cairan merah keluar dari mulutnya. Begitu kilat menyeru dan cahaya pantulannya masuk ke dalam rumahku. Aku bisa dengan jelas melihat warna cairan itu.
Merah ... merah ... lagi-lagi aku melihatnya. Dengan sigap aku pun segera memeluknya dan membenamkannya di dadaku. Menampar pipinya berkali-kali agar ia tersadar.
"ADI! ADI! Jangan main-main dengan Kakakmu ini, cepat jawablah!"
Detak jantungku mulai berpacu dan napasku pun terganggu akibatnya. Tubuhku bereaksi dengan sewajarnya dan batinku bergetar melihat Adikku tidak sadarkan diri. Kupegang dahi dan juga pembuluh nadinya secara bersamaan.
" ... Dingin?! Itu tidak mungkin!"
Seharusnya ketika manusia tidak sadarkan diri, panas tubuh yang berada di dalamnya akan meningkat untuk mempertahankan kehangatan tubuhnya. Tetapi suhu tubuh milik Adi sebaliknya, sangat dingin untuk dapat di katakan sebagai manusia?
Manusia ... ?
[ ... A-adikmu ... b-b-bukan lah ... m-m-manusia ... ]
[Apa kau yakin?]
[Dia bukanlah berasal dari ingatanmu ... seharusnya kau menyadari itu]
[Kau yakin dia Adikmu?]
Suara-suara terdistorsi itu ber-echo di dalam telingaku. Seolah-olah mereka memberitahuku bahwa Adi bukanlah Adikku ....
"Itu bohong! Jangan mengganguku lagi!"
[Huh? Kau becanda ... aku adalah kesadaranmu!]
"Kau hanya hantu masa laluku!"
[Lalu ... apakah kau mengingatnya?]
" ...."
Mulutku terkunci dalam serangan hening itu. Masa laluku ... ?
Apa yang terjadi ... ?
Lalu gambaran-gambaran pecah itu muncul dalam jeda yang tak menentu. Berkumpul lalu memisah kembali di dalam ingatanku. Aku tak tahu apa yang terjadi? Orang tuaku?
Kerabat? Saudara? Teman? Apakah aku memiliki teman saat itu?
Tidak ... tidak ... jangan pergi, jangan pergi. Aku membutuhkan kalian ....
[Lihat ... kau bahkan tidak memiliki ingatan akan masa lalumu]
[Lalu apa yang akan kau lakukan?]
[Menangisinya? Merenunginya? Atau menyesalinya]
"Menyesal? Apa ... apa maksudmu?!"
[Kau akan segera mengetahuinya sebentar lagi ... lagi pula Adikmu bukanlah apa yang hingga saat ini kau pikirkan ... hahahahaha]
"Adi?! Adi ... ADIIIIIIII!!!!!!!!!!"
Aku berteriak sekuat mungkin untuk menyadarkannya. Tak bisa kubayangkan dirinya kini berada di dalam pelukanku tak sadarkan diri. Darah pun keluar dari mulutnya, lalu sebuah suara keluar ... dan aku tidak menyangka bahwa suara itu lah yang akan membuatku terjebak dalam mimpi buruk yang selama ini tidak ingin kuakui ....
Bahwa ... sesungguhnya Adikku memang bukan seorang manusia ...
[Recorded: Type 00—Capacity Memory, Acces Granted By Data B, State Conditional Positive ... Begin The Record ....]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro