Memang Dia
Happy reading :)
Maafkan typo .-.
*****
Terdengar suara handle pintu dibuka. Seketika itu, Lea meletakkan buku yang dipegangnya ke tempat semula dan berbaring di atas brankar. Ia pejamkan kelopak matanya, hingga posisinya kembali seperti tadi.
"Itu Kak Lea, kan?"
"Iya. Jangan keras-keras, nanti orangnya kebangun."
Lea mendengar suara itu menerobos gendang telinganya. Rupanya itu bukan Gea. Niat awalnya ingin membuka matanya pun kembali urung, karena mendengar percakapan selanjutnya dari dua siswi tersebut.
"Kasian, ya, kena tikung sahabat sendiri."
"Ya gitulah. Sahabat nggak menjamin bakal baik terus. Ada masanya persahabatan tuh, harus ada yang dipertaruhkan. Salah satunya ya, percintaan."
Benar. Lea membatin kata itu untuk menanggapi ucapan dua siswi tadi. Entah apa yang dilakukan keduanya, sampai sekarang masih belum keluar ruang yang digunakan untuk menangani murid sakit itu.
"Tapi ... lo curiga sama Kak Gea nggak, sih?"
"Curiga kenapa?"
"Nggak tahu, sih, gue cuma punya firasat nggak baik."
"Mentang-mentang bisa lihat karakter orang, jangan bikin deg-degan gitu dong, lo."
"Iya-iya. Yaudah, yuk keluar!"
Setelah percakapan singkat tadi, Lea mendengar suara langkah kaki menjauh. Mulanya, dirinya ingin membuka mata untuk kembali membaca buku diary Gea. Sayangnya, derap langkah memasuki ruang UKS pun kembali membuatnya mengurungkan niat itu.
"Untung nggak dibaca sama Lea."
Suara gumaman itu jelas sangat Lea kenali pemiliknya. Gea, tentu saja sahabatnya. Kecurigaannya tadi malah semakin besar, karena ucapan sahabatnya itu.
"Sorry, Le. Gue harus ngelakuin ini. Semuanya juga karena lo. Rencana gue harus lancar, buat bikin persahabatan lo sama Claretha hancur."
Suara gumaman itu sukses menohok hati Lea. Bahkan tanpa sadar air matanya mengalir melalui sela kelopak matanya yang tertutup. Ternyata benar kecurigaannya tadi, Gea pelakunya.
Merasa Gea sudah tidak ada di ruangan yang sama dengannya, Lea segera membuka matanya. Dan benar saja, sahabatnya sudah tidak ada di sana. Matanya menangkap sebuah botol yang biasa ia temukan membungkus surat terror yang diterimanya.
"Ternyata sudah hancur. Amazing! Bahkan lebih cepat dari dugaan. So, Kathlea Lanika, mari lihat yang akan terjadi selanjutnya!" bacanya lirih. Seusai membaca surat itu, mendadak Lea ketar-ketir sendiri. Ia segera bangkit dan berjalan tergesa meninggalkan ruang UKS.
Tujuannya hanya satu, menemui Claretha.
***
Lea mengatur napasnya. Setelah mencari Claretha di seluruh penjuru sekolah dan tidak menemukan gadis itu, Lea merasa frustasi sendiri. Padahal, sudah semua tempat ia datangi, namun tidak juga menemukan Claretha.
"Kak Aqsal!" teriak Lea dengan sisa tenaga yang ia punya, memanggil seorang pria yang berjalan di ujung koridor dekat gudang.
Lea mencoba berlari agar tidak ditinggal oleh Aqsal. Masa bodoh jika pria ini pernah menyakitinya berkali-kali. Yang ada di pikirannya kali ini, hanya harus menemukan Claretha secepatnya. Dan ia yakin pria yang kini sudah ada di depannya itu tahu.
"Claretha di mana?" tanyanya langsung pada pokok permasalahan.
Aqsal tidak menunjukkan reaksi yang berarti. Hanya menatap datar gadis yang sempat menjadi pemilik hatinya itu. Sebenarnya sekarang juga masih seperti itu, hanya waktu yang belum mengizinkan keduanya bersatu.
"Please, kasih tahu aku. Aku pengen minta maaf sama Claretha," mohonnya.
"Baru beberapa jam yang lalu lo nampar dia. Dan sekarang mau minta maaf? Bullshit!" sinis Aqsal.
Sesak. Kenapa rasanya menjadi seperti ini? Kenapa Lea selalu dianggap sebagai tokoh jahat di sini? Bahkan orang yang ia cintai menganggapnya sebagai tokoh paling jahat dalam cerita ini, lantas apa yang bisa dilakukannya?
"Aku mohon, kasih tahu aku. Terserah nanti mau mikir apa. Sekarang aku pengen nemuin dia," pinta Lea dengan wajah melas. Tidak tahu apa yang membuat cairan bening lolos mengalir di pipinya, mungkin rasa sakit yang tidak bisa didefiniskan.
"Rooftop."
Satu tempat yang disebutkan Aqsal itu, membuat Lea kembali berlari agar sampai ke sana. Seharusnya tadi ia mempercayai Claretha, bukan malah mencerca sahabatnya ditambah menampar. Sekarang, ia benar-benar disergap rasa bersalah. Rasa itu bukannya semakin berkurang, malah semakin bertambah, ketika ia sampai di rooftop dan menemukan Claretha duduk di sebuah kursi dengan tatapan kosong.
Lea berjalan pelan ke arah gadis yang menjadi sahabatnya sejak kali pertama ia di sekolah ini. "Cla," lirih Lea, begitu ia sampai di samping Claretha.
Claretha sontak menoleh ke sumber suara yang memanggil namanya. Bola matanya hampir saja keluar dari tempatnya, saat mendapati Lea berdiri dengan tatapan sesal terpancar di wajah gadis itu dan juga air mata yang mengalir dari ujung mata Lea.
"Maafin gue." Lea segera menubruk tubuh Claretha. Untung saja, Claretha bisa menguasai diri, hingga keduanya tidak sampai harus jatuh.
"Lo kenapa, Le?" tanya Claretha denga suara seraknya. Ya, mau bagaimanapun, ia tidak bisa membohongi diri bahwa dia tadi menangis. Jelas saja, sahabat mana yang tidak sakit hati kalau dianggap sebagai seorang penghianat oleh sahabatnya sendiri? Tidak ada.
"Harusnya tadi gue percaya sama lo. Gue nggak seharusnya maki dan nampar lo. Sekarang gue tahu kalau yang lo bilang itu bener seratus persen, nggak bohong. Maafin gue," isak Lea. Tangisnya bukan semakin mereda, justru kian kencang.
Mulanya Lea jelas tidak percaya dengan tuduhan yang dikatakan Claretha. Namun, dari buku diary Gea, ia tahu bahwa semua yang dikatakan Claretha itu benar. Menyesal ia sudah mencurigai banyak orang, padahal pelaku sebenarnya adalah orang yang paling dekat dengannya. Ternyata benar, orang yang paling dipercaya biasanya adalah orang yang berkemungkinan besar membuat kecewa. Inilah buktinya.
"Lo udah tahu?" Claretha melerai pelukan keduanya.
Lea menanggapi dengan anggukan. "Gue tahu. Dan dia ngancem lagi, Cla.
Gue nggak tahu apa yang bakal dia perbuat," terang Lea. Ia merogoh saku bajunya untuk mengambil surat kaleng tadi. Hanya kertasnya, karena botolnya sudah ia buang.
"Tenang, Le. Ada banyak orang yang lindungin lo. Gue, Hans, Angga, dan Kak Aqsal," ucap Claretha sembari mengelus lengan sahabatnya. Saat ini, ia bisa bernapas lega, sebab masalah kesalahpahamannya dengan Lea telah teeselesaikan.
"Aqsal?" beo Lea.
"Iya. Ceritanya panjang, nanti gue ceritain lagi di kamar."
Lea mengangguk, lalu mengajak Claretha untuk kembali ke asrama karena keduanya butuh istirahat.
Semilir angin sore, ditambah panorama jingga yang sempat mereka saksikan dari rooftop sebelum turun itu menjadi saksi bahwa hubungan persahabatan yang sebelumnya mengalami keretakan, telah dipersatukan.
Seharusnya memang begitu, persahabatan bukan hanya untuk pencitraan atau memanfaatkan, tetapi untuk melengkapi setiap kekurangan.
***
Purnama sempurna menemani dua insan yang tengah duduk di bangku taman asrama. Ini malam minggu, cukup banyak siswa yang berada di sana. Entah untuk bermain gitar atau duduk-dudu saja seperti Lea dan Claretha.
Bintang pun tak membiarkan purnama bersinar sendirian. Ia melengkapi potret keindahan malam kali ini.
Lea dan Claretha duduk di bangku pojok taman. Bukan untuk apa, keduanya takut kalau pembicaraan mereka didengar oleh beberapa siswa lain, bisa menimbulkan bencana.
Lea merasakan getaran dari ponselnya. Ia mengambil benda pipih yang diletakkan pada saku celana jeans selutut yang dipakainya. Sempat membelalakkan mata, ketika melihat siapa pengirim pesan itu, ia pun memberitahu Claretha, "Cla, Aqsal dimana?"
*****
Hai!😊
Gimana kali ini? Udah terbuka, ya siapa pelakunyaa~
Ditunggu komennya~
Jangan lupa pencet bintang di pojok kiri, ya❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro