Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bohong

Happy reading .-.
Hati-hati typo:')

Sudah seminggu Lea mendapat terror dan selama itu hubungannya terasa sangat hambar bahkan Aqsal sangat jarang sekali mengirim pesan padanya walau sekedar memberi kabar. Hubungan yang sedang berada dalam titik terjenuh tak menutup kemungkinan adanya orang ketiga yang memanfaatkan kesempatan. Langit mendung seolah menggambarkan suasana hati yang tengah dirundung resah. Koridor sekolah masih terasa sepi pagi ini, hanya ada beberapa murid yang sudah berangkat, karena saat ini pun baru pukul enam pagi. Lea tidak berangkat dengan Claretha, tidak juga dengan Aqsal. Entahlah, dia ingin sendiri.

"Awas nabrak, Neng!" Suara itu mengagetkan Lea, setelah dicari, ternyata pelakunya ialah Alan--kakak tirinya.

"Apaan, sih, Bang?" Lea merengut sebal, suasana hatinya sedang buruk pagi ini, sedang tidak ingin melucu.

"Kenapa sih lo? Muka ditekuk kayak emak-emak kelilit utang." Alan bingung, beberapa minggu lalu adiknya itu terlihat begitu semangat saat pindah dan sekarang keadaannya berubah drastis. Ia khawatir terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, jika begitu ia akan menyesal karena tanggung jawab adiknya ini berada di pundaknya.

"Ck, apaan, sih, Bang? Berisik lo!"

"Lo kalo ada apa-apa cerita, gue abang lo biar kasih solusi." Nada bicara Alan memberi ketenangan Lea.

Lea terlihat menimang-nimang apakah ia akan menceritakan hal yang menimpanya beberapa saat ini pada kakaknya itu ataukah tidak, "Kapan-kapan aja gue cerita. Gue ke kelas dulu, Bang." Lea segera berlalu, tak ingin berlama-lama di sana.

Langkah Lea terhenti di koridor dekat lapangan, ia menyipitkan penglihatannya saat melihat sosok yang beberapa hari ini seakan menjauh darinya. Ia melihat kekasihnya--- Aqsal, sedang berjalan memasuki gerbang masuk sekolah bukan dari arah asrama putra. Bukan hanya itu, di sana terlihat bahwa Aqsal tak sendiri, pria itu berangkat dengan Kinar -- mantannya. Ribuan jarum menusuk hati Lea, suasana hatinya bertambah buruk saat itu juga. Air matanya menggenang di pelupuk matanya, sekali saja ia mengedipkan mata, dipastikan cairan bening itu luruh juga. Dadanya sesak. Saat hati berusaha  menunggu, ternyata yang ditunggu sudah memiliki tempat berpulang yang lain. Sungguh, hati Lea seakan teriris menerima hal itu.

Melihat kedua orang itu akan berjalan ke arahnya, Lea segera bersembunyi di balik tembok yang ada di sebelahnya.

"Sal, lo harus kasih tau pacar lo tentang ini." Lea mengernyit mendengar itu, apa yang harus diberitahu padanya? Selama ini Aqsal menyembunyikan apa darinya? Mengapa Kinar lebih tau dari pada dirinya? Berbagai pertanyaan itu terus berputar di pikiran Lea.

Melihat Aqsal yang tampak tak merespon, Kinar menghela nafas, "Jangan sampe buat Lea sakit hati karena keputusan lo, sal." Kinar berjalan mendahului Aqsal, kemudian pria itu terlihat berpikir sejenak lalu melanjutkan langkahnya menuju kelas. Sementara Lea yang menahan sesak sejak tadi segera berlari menuju kelasnya, ia ingin melupakan semua yang terjadi namun tak bisa. Hatinya begitu sesak, pasokan oksigen seakan menipis. Berkali-kali ia menarik napas kemudian membuangnya untuk menenangkan hatinya. Sesampainya di kelas, ia menuju tempat duduknya lalu melepas tasnya dan akhirnya ia membenamkan wajahnya di atas meja bertumpukan kedua tangannya.

*

"Bu!" Suara Claretha menarik perhatian teman sekelasnya yang tengah berpikir menyelesaikan tugas kelompok mereka. Tak hanya itu, Bu Anik selaku guru yang mengajar pun ikut menoleh padanya.

"Ada apa, Claretha?" Tanya wanita yang kini berusia tiga puluh tahun itu.

"Hans nggak mau nyatet bu," ucap Claretha mengadu, sementara Hans yang namanya disebut seketika melotot tak percaya, Claretha benar-benar mengadukannya. Memang dari tadi ia tak mencatat, hanya sibuk mendengarkan tiga teman sekelompoknya berdebat tentang materi yang akan dipresentasikan. Lain halnya dengan Claretha, Angga dan Lea yang kini tengah cekikikan melihat Bu Anik mendekat ke meja mereka, Hans justru sibuk mengumpat akan tindakan Caretha tadi.

"Hans, kenapa kamu tidak mencatat?" Bu Anik bertanya dengan nada tegas, namun Hans berusaha setenang mungkin menghadapi ujian ini.

"Karena saya kasihan sama ibu saya Bu." Ucapan Hans sukses membuat seluruh penghuni kelas mengernyit kebingungan, termasuk Bu Anik.

"Maksud kamu?"

"Iya, Buk, jadi gini, saya tuh kasian sama ibuk saya yang udah beliin buku mahal-mahal masa saya coret-coretin, kan, jadi kotor buk, makanya saya nggak nyatet." Seluruh murid dibuat melongo karena jawaban pria berparas bule itu, detik berikutnya tawa mulai pecah mendengar ucapan itu.

Bu Anik pun geram dengan tingkah muridnya yang satu ini, sukanya bikin onar, dan saat ditanya, ada-ada saja alasannya. "Hans, ibu kamu beliin kamu buku itu memang untuk mencatat materi yang penting, bukan dicoret-coret. Pokoknya ibu mau kamu mencatat materi yang didiskusikan kelompok kamu." Damn! Hans harus mencari akal lagi.

"Tapi bu, saya kasihan sama Claretha." Kembali lagi ucapan Hans membuat bingung semua orang.

"Kenapa memangnya?"

"Saya kasian bu, kan, saya nyatet pake pulpennya Claretha. Nah, kalo pulpennya abis, kan, kasian dia bu," ujar Hans cengar-cengir tanpa dosa.

"Heh, jadi selama ini lo yang ngambil pulpen gue? Pantesan ya pulpen gue selalu nggak ada abis gua nyatet." Claretha kesal saat ini, enak saja Hans mengambil pulpennya tanpa memberi tahu dirinya, karena ulah Hans itu, dia harus bolak-balik membeli pulpen ke koperasi siswa.

"Ya salah sendiri lo kalo dipinjemin pelit, ya, gue ambil aja. Lagian gue ngomong, kok, kalo mau ngambil, cuma pas lo nggak ada jadi lo nggak denger."

"Dasar upil onta, itu namanya nggak izin bego!"

"Claretha, jaga ucapan kamu. Sudah kamu duduk saja," ucap Bu Anik menengahi perdebatan antara dua orang itu. "Hans, ibu tidak mau mendengar alasan lagi, pokoknya ibu mau kamu mencatat materi mulai hari ini," lanjut Bu Anik tak terbantahkan.

Lea yang sedari tadi melihat tingkah Hans itu membuatnya tertawa pelan, temannya itu memang ada-ada saja. Setidaknya bisa membuatnya melupakan sedikit masalah yang tengah dihadapinya.

"Lo tuh gimana, sih, Hans? Dari tadi kita tuh udah sampe pembahasan eter kenapa lo masih bahas aldehida  mulu?" tanya Claretha dengan nada kesal, Hans ini, teman-temannya sudah sampai Jepang, dia masih di Bandung, dasar lamban.

"Kok lo nyalahin gue, sih? Lo aja yang bahasnya kecepetan jadi gue ketinggalan, makanya setia kawan dong, temennya ditungguin," ucap Hans mencari pembelaan.

"Lo tuh---"

"Hans, Cla, udah, deh, mending ini buruan dilanjut nanti keburu abis jamnya." Lea menengahi perdebatan antara dua temannya itu.

"Tahu, nih, debat kalian tuh unpaedah tau nggak?" Angga akhirnya angkat bicara setelah mendengar pertengkatan tom and jerry versi orang Bandung itu.

Claretha dan Hans pun akhirnya menurut walau sesekali masih bertengkar dan saling mengumpat, namun tugas tetap mereka kerjakan. Lea bersyukur mempunyai teman seperti mereka, tapi saat ini ia belum siap menceritakan masalahnya pada teman-temannya itu. Kepercayaan bukan hal yang mudah dibangun, sekalinya terbangun, akan ada banyak hal yang berusaha meruntuhkan kepercayaan itu. Maka dari itu Lea tak mau dengan mudah percaya kepada temannya sekalipun temannya begitu baik, setidaknya biarkan dia menentukan apakah teman-temannya itu pantas mengetahui hal pribadinya atau tidak.

*

Bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak lima menit yang lalu, dan Lea masih berada di kantin bersama Claretha. Keduanya memutuskan mengisi perut mereka sebelum kembali ke asrama.

"Eh, Cla, dulu tuh kak Aqsal sama kak Kinar putus karena apa?" Mulut Lea sudah gatal ingin menanyakan hal ini, jika tak bisa bertanya kepada Aqsal, maka ia bertanya pada Claretha dan berharap temannya itu tau tentang hal ini mengingat Aqsal adalah most wanted maka pasti mudah mendapat informasi tentangnya.

"Nggak tau, sih, gue, kalo seinget gua gara-gara udah nggak cocok aja gitu." Claretha tampak mengingat-ingat hal tersebut.

Lea mendesah pelan, ia tahu bukan hanya hal itu yang menyebabkan mereka putus, karena jika dilogika, untuk apa pacaran kalau akhirnya putus hanya karena tidak cocok? Itu alasan terklise yang pernah ada.

"Gue balik duluan, ya." Ucapan Claretha menyadarkan Lea dari pikirannya.

"Loh, kok, lo ninggalin gue?"

"Itu." Claretha menunjuk ke arah belakang Lea membuat gadis itu menolehkan kepalanya. "Yaudah ya, gue duluan, lo, kan, bareng kak Aqsal." Tambah Claretha kemudian berlari meninggalkan sepasang kekasih itu.

"Belum mau pulang?" Aqsal membuka percakapan, ia rindu gadis ini. Seminggu tak bertemu rasanya rindunya kian tumbuh. Entahlah, rindu itu seakan mengurung dirinya dalam kenyamanan lalu tak membiarkannya menemukan jalan keluar dari rindu itu sendiri.

"Ini mau pulang." Lea dapat menangkap sorot kerinduan di mata Aqsal, itu juga yang dirasakannya. Namun entah mengapa sorot mata itu terasa begitu menyakitkan.

"Yaudah yuk, aku anter." Lea mengangguk menjawab tawaran pria yang masih berstatus kekasihnya itu.

Langit yang pagi tadi mendung, saat ini telah cerah kembali. Berubah-ubah, ya, seperti Aqsal, pria itu seakan menjauh selama seminggu ini dan sekarang, datang kembali menorehkan sakit hati.

"Kamu kenapa?" Tak betah dilanda keheningan, Aqsal pun buka suara.

Lea tersenyum tipis, "nggak papa kok."

"Are you okay?" Aqsal merasa pacarnya itu sedang dalam keadaan yang tidak baik-baik saja. Salahnya juga karena seminggu ini ia seolah menjauh, walau ia memang ada hal yang tidak bisa ditinggal, dan tidak bisa diceritakan pada gadisnya itu.

"I'm fine." Tangis Lea seakan mau pecah saat Aqsal mengusap pucuk kepalanya, pria itu berusaha memberi kekuatan pada Lea namun usapan itu justru menambah sakit di hati Lea, entah apa alasannya.

"Kalau ada apa-apa cerita aja," ucap Aqsal begitu lembut.

"Nggak, kok, nggak ada apa-apa."

"Maaf, ya, seminggu ini aku jarang ngasih kamu kabar, aku ada urusan yang nggak bisa aku tinggalin, dan maaf juga aku tadi pagi nggak jemput kamu buat berangkat bareng." Lea hanya menunduk mendengar itu, ia sakit, Aqsal tak menceritakan apapun tentang urusannya.

"Nggak papa, kamu berangkat sendiri tadi pagi?" Lea berusaha tenang menanyakan hal itu walau hatinya gelisah mendengar jawaban Aqsal.

"Iya." Tepat, Aqsal membohonginya. Saat kebohongan itu terlontar, kepercayaan yang sudah dibangun mulai mengikis, hanya memerlukan satu kebohongan lagi untuk membuatnya runtuh. 'Kamu bohong Sal,' ingin Lea mangatakan hal itu, namun tak bisa, bibirnya terkatup rapat, giginya saling bergemelatuk menahan sakitnya.

"Udah sampai," ujar Aqsal pada Lea membuyarkan pikiran Lea.

"Makasih," balas Lea sambil tersenyum tipis, senyum yang dipaksakan. 'Makasih juga atas kebohongan kamu.'  Aqsal mengangguk sambil mengusap kepala Lea lalu pergi meninggalkan gadis yang sudah meneteskan air matanya. Aku bukan lagi tempatmu berbagi, aku hanya bagian yang sempat mengisi harimu tanpa kamu berniat melabuhkan hatimu padaku. Terima kasih, kamu penghancur hatiku secara perlahan.

**

Ahay update lagi ya^.^
Sebenernya mau aku up abis ukk dan itu masih seminggu lagi, tapi nggak mau kelamaan akhirnya aku up sekarang(plinplanemg_-)
Ayo tebak-tebak itu yang ngirim terror siapa ya :v
Semoga kalian suka ya
Thanks.-.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro