VML8: Saudara Tiri
MEMBUKA pintu kulkas yang berada di dapur, Devin mengambil beberapa snack kesukaannya. Dia membawanya sambil menaiki tanggak menuju kamar. Setelah membuka pintu kamarnya, Devin berjalan ke ranjang lalu menaruh makanan itu di sana—bukan menaruh lebih tepatnya melempar.
"Yailah, Dev santai aja naroh makanannya. Kita kan mintanya baik-baik." Perkataan Farel dengan wajah sok polosnya membuat Devin berdecak kesal.
Sehabis mengantarkan Velin. Devin berniat untuk bersantai di rumahnya tanpa diganggu siapapun. Tapi lihatlah sekarang sesuatu yang sudah direncanakan jadi gagal total karena ketiga kurcaci ini—yang tak lain tak bukan adalah temannya.
"Setelah mengganggu hari gue, lo pengen dengar gue bicara baik-baik." Devin menatap tajam ketiga temannya. "Nggak akan," tambahnya dengan raut kesal.
"Lo kenapa sih, Dev? Marah-marah mulu kayak cewek lagi PMS." Sekarang Rafael yang meledeknya. Devin biasanya akan bersikap biasa saat temannya datang. Tapi, entah kenapa sekarang ia jadi kesal. Mood Devin rusak hanya karena mengantar Velin pulang.
Sungguh aneh!
"Gue kesini mau ngomong serius, Dev," ucap Eza mencoba melerai perdebatan teman-temannya.
Raut Eza terlihat sangat serius, melihat itu Devin tahu kalau sekarang dia harus menghentikan perdebatan—tidak masuk akal yang dia lakukan.
"Oke, lo mau ngomong apa?" Devin mencoba serius sekarang.
Rafael dan Farel hanya menyimak tanpa ingin terlibat obrolan serius antara Devin dan Eza. Kedua cowok itu malah mulai membuka bungkusan snack yang Devin berikan tadi seperti melihat adegan seru di film.
Melihat itu, Devin tak menggubris dan lebih fokus pada Eza.
"Velin kenal Alfar?" tanya Eza dengan lancarnya, seolah pertanyaan itu memang sudah dirangkai.
Mendengar nama itu disebut tangan Devin terkepal, wajahnya berubah kaku. "Velin kenal Alfar," jawab Devin dengan menggeram. Terdiam sebentar Devin kembali melanjutkan. "Tapi kayaknya dia nggak tau kalau Alfar saudara tiri gue."
Ada raut lega di wajah Eza selama beberapa detik, setelahnya wajahnya berubah kembali menjadi serius. "Velin tau kalau orangtua lo udah cerai?" Eza bertanya lagi, tapi kali ini, nadanya terdengar hati-hati.
Tubuh Devin menegang mendengar itu, tatapannya lurus ke depan, tangannya semakin mengepal di samping tubuhnya. Orang tua Devin bercerai saat usianya empat belas tahun, itu yang Devin tahu! Tapi ternyata orang tua Devin telah bercerai saat usianya dua belas tahun, orang tuanya menutupi fakta itu dari dirinya.
Devin tidak pernah curiga kepada orang tuanya, karena jika ada di hadapannya mereka selalu menunjukan keharmonisannya. Devin tidak pernah tahu kalau setiap malam Ayah dan Ibunya sudah tidak tidur satu kamar lagi. Tepat saat usianya menginjak empat belas tahun, Ibu memberitahunya, kalau mereka berdua telah bercerai. Devin mencoba menerima hal itu walaupun sulit.
Tetapi setelah seminggu dia mendapati fakta itu, Alfar rivalnya, memberitahu hal yang benar-benar membuat Devin tercengang. Jika sebenarnya orang tuanya telah bercerai saat usianya dua belas tahun. Dan yang membuat Devin tambah tercengang, dia mengaku jika dirinya itu saudara tiri Devin.
Ayahnya Devin menikahi Mamanya Alfar—Tante Rania saat Alfar dan Devin sama-sama berusia empat belas tahun. Kenyataan itu membuat cowok cuek yang sebenarnya selalu ceria seperti Devin berubah. Sangat berubah.
"Tau... bahkan dia lebih dulu tau di bandingkan gue, anaknya," ucap Devin mencoba santai, tapi nada suaranya tetap terdengar gemetar.
Devin mengingat dimana hari dia mengetahui jika sahabatnya itu menyembunyikan fakta tersebut.
Devin melepas kaus kakinya, lalu memasukan ke dalam sepatu. Devin melangkah menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Pertandingan basket yang di adakan disekolahnya membuatnya sangat kelelahan. Langkah gontainya terhenti saat mendengar suara Ibunya yang berada di dapur.
Tidak biasanya Mommy pulang cepat, biasanya ibunya selalu pulang malam setelah seharian menjaga toko butik miliknya. Laki-laki berusia empat belas tahun itu, mendengar Mommy seperti sedang berbicara dengan seseorang.
Karena penasaran Devin melangkah ke arah dapur, mengintip di balik tembok.
"Tante, baik-baik aja kok," ucap Mommy dengan seseorang yang Devin tidak ketahui, Devin masih menguping di balik tembok tersebut.
Devin mengernyit saat melihat wajah Ibunya berubah sedih. "Iya Vel, Devin udah tau kalau sebenarnya Mommy sama Daddy udah cerai saat usianya dua belas tahun."
Devin terkejut mendengar nama itu, Vel? Velin? Devin bertanya dalam hati.
Devin menggelengkan kepalanya, mendengar semua fakta ini, Velin sahabatnya menutupi semua hal itu kepadanya. Kenapa Velin tidak memberitahunya? Kenapa Velin menutupi fakta itu? Devin bertanya-tanya kepada dirinya.
Jadi sahabat yang selama ini dia percayai akan selalu jujur terhadapnya. Membohonginya. Sekali lagi Velin melanggar janjinya untuk tidak berbohong padanya.
Devin melangkah meninggalkan dapur dengan perasaan yang berkecamuk, hatinya hancur mendengar itu semua. Samar-samar dia masih mendengar suara mommynya.
"Iya Velin, Devin nggak berubah kok, Devin masih sama seperti dulu."
Mommy salah, sangat salah. Devin telah berubah. Dia bukan Devin anak ceria yang selalu tertawa bersama sahabatnya. Devin tidak seperti dulu lagi.
Rafael dan Farel yang sedari tadi hanya menyimak, dan sudah menghabiskan tiga bungkusan snack. Mendengar hal itu, matanya terbelalak.
"Kok bisa?" tanya Farel dengan mulut terbuka.
"Kenapa dia nutupin fakta itu dari lo?" Rafael juga ikut tercengang.
Devin hanya menggeleng, menyingkirkan dadanya yang bergemuruh.
"Jangan-jangan karena hal itu, lo bersikap cuek ke Velin." Eza mencoba menebak.
Devin mengangguk. "Iya."
Ketiga teman Devin terkejut mendengar pengakuan Devin.
Eza mencoba menghilangkan keterkejutannya. "Mungkin, Velin ada alasannya, Dev. Kenapa dia nggak kasih tau lo tentang hal itu." Eza mencoba memberi tahu sahabatnya itu agar tidak terhanyut ke dalam kebencian.
Devin mengangguk. "Gue lagi berusaha, untuk percaya akan hal itu."
●●●●
Mendengar suara bel, Velin bergegas menuruni tangga. Menuju pintu utama rumahnya. Membuka pintu, Velin memekik senang saat melihat siapa yang bertamu.
"Keisha."
"Hai, gue kira tadi, gue salah alamat. Ternyata nggak." Keisha terkekeh di akhir kalimatnya.
Velin jadi ikut terkekeh. "Ayo masuk."
Keisha mengangguk lalu melangkah masuk ke dalam rumah Velin. "Lo sendirian?" tanya Keisha saat melihat rumah Velin yang senyap.
Menganggukkan kepala Velin tersenyum tipis. "Iya, Bunda sama Kak Vier lagi ada di kantor, tapi biasanya mereka jam segini udah pulang." Velin mengendikan bahunya, "Mungkin karena macet."
Menanggapinya, Keisha hanya ber-oh-riya saja.
"Kamu mau minum apa nanti aku buatin?" Velin bertanya.
Keisha duduk di salah satu sofa di ruang tamu rumah Velin. "Apa aja," jawab Keisha.
Sebelum meninggalkan Keisha, Velin tersenyum lalu melenggang ke arah dapur.
Mengedarkan pandangan ke setiap sudut rumah Velin, mata Keisha jatuh pada sebuah bingkai foto. Di foto itu ada anak lelaki yang sedang mencium pipi anak perempuan di sebelahnya, mungkin usia mereka berdua masih lima tahun. Tapi sepertinya anak lelakinya lebih tua setahun.
Keisha berpikir sejenak, pasti perempuan itu adalah Velin. Tapi siapa anak cowok yang berada di sebelahnya. Keisha bangkit berdiri lalu melangkah mendekati foto tersebut.
"Kamu melihat apa?" Keisha tersentak dan hampir menjatuhkan bingkai itu kalau saja dia tak tak tanggap.
Keisha membalikkan tubuhnya. "Lo nganggetin gue tau nggak? Untung aja nih foto nggak jatuh.'' Keisha menatap Velin kesal.
Velin bergumam maaf. Di tangannya, Velin memegang nampan berisi dua gelas es teh. "Kamu ngeliatin apa sih?" Velin jadi penasaran sekarang karena Keisha terlihat sangat serius.
"Ehmm, gue lagi ngeliat ini," Keisha menunjukan bingkai foto tersebut ke Velin. "Ini foto lo sama siapa?"
Velin terdiam, dia bingung bagaimana cara menjelaskannya. Keisha tidak mengetahui hubungan dirinya dengan Devin. Lalu Velin harus mengatakan apa.
"Siapa, Vel?" ulang Keisha sambil menaikkan kedua alisnya.
"Ehm... itu," Velin terus saja bergumam tidak jelas, dia tidak bisa mengatakannya. "Dia itu..." Velin berjalan ke arah meja lalu meletakkan nampannya.
Velin mengalihkan matanya saat melihat wajah penuh penasaran Keisha.
"Kenapa susah banget sih ngomongnya? Lo tinggal ngomong namanya siapa." Kesal Keisha karena Velin juga tak kunjung menjawab. "Gue lagi nggak ngasih pertanyaan soal fisika ke lo, Vel."
"Ayolah Vel, kasih tau gue," paksa Keisha dengan raut imutnya.
Menghela napas, Velin memutuskan untuk mengatakannya saja. Lagian juga Velin sudah dekat dengan Keisha dan menganggapnya sebagai teman. Jadi tidak apa-apa kan? Kalo Velin memberitahu siapa Devin?
"Dia itu Devin," ucap Velin sangat pelan.
"Hahh! Apa gue nggak dengar?" Sebenarnya Keisha memang tidak mendengar ucapan Velin atau hanya untuk memastikan saja.
"Dia itu Devin, sahabat aku. Cowok yang kamu pernah ceritain ke aku." Akhirnya Velin bisa menjelaskan tanpa terbata-bata.
Keisha tampak shock mendengarnya, seperti baru saja mendengar berita kematian. "Jadi lo kenal sama Devin Kayden? Lo sahabat Devin?"
Dengan perasaan bercampur aduk Velin mengangguk.
Keisha menutupi wajahnya dengan kedua tangannya, tampak frustasi. "Kenapa lo nggak pernah cerita ke gue." Keisha menurunkan tangannya dari wajahnya. "Kenapa lo nggak pernah bilang kalo lo sahabat kecilnya Devin."
"Karena aku nggak mau ada yang tau kalau aku deket sama Devin," ucap Velin sambil tersenyum kecil.
To Be Continue
(20-Maret-2017)
THANK YOU
Aping🐰
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro