Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

VML35: Harus Memaafkan?

VELIN terus berlari meninggalkan Alfar, sesekali ia menengok ke belakang, apakah Alfar mengejarnya atau tidak. Velin merasa lega ternyata cowok itu tidak mengejarnya.

Velin menatap ke atas langit, melihat awan hitam yang menggantung di sana. Velin perkirakan jika tak lama lagi hujan akan turun. Melihat halte, Velin memutuskan untuk menunggu di sana saja.

Dia hanya berdiri diam sambil melihat langit mendung, angin mulai berhembus kencang membuatnya agak kedinginan. Sejak tadi Velin sudah mencoba menghubungi kakaknya tetapi selalu operator yang menjawab.

Dan tak lama, sebuah motor hitam berhenti tepat di hadapan Velin. Dia sudah bisa menebak siapa yang berada dibalik helm yang berwarna sama dengan motornya.

Cowok itu melepaskan helm-nya membuat mata cokelat Velin langsung bertabrakan dengan mata hitam milik lelaki itu.

"Sekarang lo udah mau pulang bareng gue?" tanya Devin, "langitnya udah mendung Vel. Pasti dikit lagi hujan."

Velin memandang Devin tanpa ekspresi. "Kan aku udah bilang, aku nggak mau pulang bareng kamu."

Devin menghembuskan napasnya perlahan, mungkin mencoba bersabar dengan kekeraskepalaannya. Tetapi Velin tidak peduli soal itu.

"Lo mau nunggu di sini sampe hujannya turun?" Alis Devin terangkat saat bertanya.

Velin mengangguk, meski dalam hati Velin sangat takut menunggu disini apalagi nanti hujan. Velin bukan takut hujan tetapi takut dengan temannya hujan, petir.

Velin kira Devin akan mulai menjalankan motornya, meninggalkannya sendiri tetapi ternyata dia salah. Bukannya melakukan yang ada dipikiran Velin, Devin malah memarkirkan motornya lalu turun dan berdiri disebelahnya.

"Kenapa kamu nggak pulang?" Velin menunjukkan raut kebingungannya melihat Devin.

Devin menoleh ke arahnya sambil tersenyum. "Karena gue nggak mau ninggalin lo sendirian."

Pernyataan Devin membuat rona merah muncul dipipinya. Salah tingkah, Velin memalingkan wajahnya menutupi pipinya yang memerah. Kenapa Devin harus bersikap manis seperti ini? Disaat dirinya berusaha untuk menjauh darinya. Dan karena kebingungan Velin memilih untuk tak mengacuhkannya.

Memeluk tubunya sendiri, Velin menatap kendaraan yang berlalu lalang. Angin semakin kencang berhembus, membawa daun-daun kering bersamanya.

Fokus Velin teralihkan pada daun kering-kering itu, terkadang Velin berpikir hidup itu hampir seperti daun. Angin membawa daun pergi kemanapun, membawanya terbang tinggi tetapi ada saatnya angin itu berhenti membawa terbang daun dan malahan menjatuhkannya.

Velin berhenti menatap daun-daun itu saat Devin mengulurkan tangannya, memberikan jaket hitam yang tadi sedang dipakai cowok itu. Menatap Devin dan jaket itu bergantian, Velin mengerutkan keningnya tidak mengerti.

"Gue nggak mau lo kedinginan."

"Aku nggak butuh jaket kamu," ucap Velin sedikit ketus.

Dari sudut matanya, Velin memerhatikan Devin yang malahan melipat jaket itu bukannya memakainya kembali.

"Kenapa kamu nggak pakai lagi jaketnya?" Sepertinya Velin sejak tadi selalu bertanya dengan kata kenapa.

"Kan lo nggak mau pakai jaketnya. Yaudah gue juga nggak pakai jaketnya." Velin hanya menatap diam Devin.

"Karena kalo lo kedinginan. Gue juga harus kedinginan." Lanjutan kata-kata Devin kembali membuat Velin tertegun, tak butuh lama pipi Velin kembali bersemu merah.

Velin kembali menatap lurus kedepan, mengalihkan tatapan mata lembut Devin yang memandangnya.

Velin terus-menerus mengusap lengannya yang kedinginan, sebenarnya Velin sudah tidak kuat dengan udara dingin disini.

"Lo yakin nggak mau pulang?"

Velin menggeleng. "Nggak," ucapnya keras kepala.

Menarik tangan Velin, Devin menghadapkan perempuan itu untuk menatapnya.

"Gue tahu lo pasti nggak bisa maafin gue. Karena butuh waktu untuk menyembuhkan luka." Devin menatap lurus ke mata Velin. "Tapi gue mohon jangan cuma karena lo lagi marah sama gue, lo keras kepala kayak gini. Nanti lo bisa sakit. Udaranya disini dingin banget."

Velin merasa hatinya bergetar, ucapan Devin benar-benar membuatnya ingin memaafkan cowok itu sekarang. Melupakan jika cowok itu pernah mengecewakannya, melupakan semua permasalahan itu. Dan membuatnya bisa kembali bersikap normal di depan Devin.

"Masalahnya nanti kalo lo sakit, bukan gue doang yang khawatir, tapi juga bunda sama kakak lo."

Pandangan mata Velin sudah mulai buram, dan tanpa bisa Velin tahan air mata itu jatuh mengenai pipinya. Apakah Velin salah jika dia memilih untuk menjauhi Devin disaat cowok itu sangat peduli padanya. Haruskah dia memaafkan Devin?

Air mata itu terus berjatuhan, tanpa bisa Velin kendalikan lagi.

"Kok lo nangis?" Devin menghapus air mata Velin.

Velin hanya bisa menggeleng tanpa berkata apapun, membuat air matanya berjatuhan kemana-mana.

Namun, tak pernah Velin pikirkan jika Devin akan menariknya ke dalam pelukan cowok itu. Merasa tenang, Velin semakin menelusupkan wajahnya di dada Devin.

"Jangan pernah nangis di depan gue Vel." Devin membisikkan kata-kata itu sembari mengusap rambut Velin. Semakin membuatnya merasa nyaman dipelukan Devin.

●●●●

Devin kira setelah kejadian beberapa hari lalu, hubungannya dan Velin akan membaik, Devin kira Velin akan memaafkannya tetapi ternyata perkiraannya salah. Velin malah semakin jauh darinya.

Sejak kejadian itu Velin lebih banyak menghindar. Contohnya saat Velin ada di mini market yang dekat dengan rumah kompleknya, belanja sesuatu. Saat itu Devin ingin membantu membawakan belanjaannya tetapi dia langsung menolak dan meninggalkan Devin.

Sejak kejadian itu juga Velin seperti menganggapnya orang asing, contohnya saat dia bertemu di kantin. Perempuan itu sama sekali tidak membalas sapaan Devin, bahkan penghuni kantin yang lain sampai terheran-heran belum pernah ada perempuan yang cuek terhadap Devin.

Devin menuruni setiap undakan tangga, berjalan ke dapur. Ia melihat ibunya yang sedang mengaduk adonan kue. Tentu saja hal itu membuat Devin mengernyit, bukannya biasanya jam segini ibunya ada di butik. Kemudian Devin hanya menaikkan bahu tak acuh.

Dia berjalan ke meja bar, duduk di salah satu kursi dekat meja.

"Mom nggak ke butik?"

Ibunya memutar tubuh menghadap Devin, yang tadi sempat membelakangi anaknya itu.

"Mommy lagi pengen buat Cookies," jawabnya sembari tetap mengaduk adonan.

Devin hanya mengangguk. Mengambil gelas, Devin menuangkan air putih ke dalam gelas itu. Lalu meminumnya.

"Tante Shinta ngasih tahu Mommy kalo waktu itu kamu ikut balapan."

Devin tersedak minumannya sendiri, terbatuk-batuk. Devin tidak pernah menduga jika ibunya itu akan sangat to the point.

"Pelan-pelan Dev kalau minum." Nasihat ibunya.

"Bunda tahu darimana?" Devin berdehem, "Maksudnya kok Bunda ngomong gitu ke Mom."

"Vier yang ngasih tahu Tante Shinta, lalu Tante Shinta ngasih tau Mom."

Devin jadi merasa dipaku ditempat, tidak bisa bergerak sedikit pun.

"Jadi benar kamu ikut balapan." Sorot kesedihan di mata ibunya semakin membuat Devin terdiam.

"Bukannya Mommy udah bilang Dev, untuk berhenti ngikutin hal kayak gitu."

Memalingkan wajahnya, Devin tidak tahan melihat wajah sedih ibunya.

"Mom tahu kamu ngikutin hal itu untuk dijadiin pelampiasan kemarahan kamu sama Dad." Devin kembali menatap mata ibunya, yang sekarang sedang menatapnya lembut.

"Tapi apa kamu nggak mau berubah kayak dulu, Dev? Jadi Devin yang selalu cuek di luar tetapi selalu ceria di dalam. Jadi Devin yang dulu kelihatan nggak peduli tetapi dalam hati peduli."

Ibunya menangkup kedua tangan Devin. "Mommy kangen kamu yang dulu."

Setelah mengucapkan itu sang ibu kembali mengaduk adonannya. "Kamu pasti akan suka sama cookies buatan Mommy, Dev."

Ibunya mengatakan itu sembari tersenyum, mengalihkan pembicaraan ke hal lain. Yang semakin membuat Devin merasa bersalah.

Apakah dia bisa berubah lagi seperti dulu di saat orang satu-satunya yang bisa merubahnya sedang berusaha untuk menjauhinya.

To Be continue
  (6 Juli 2017)

●●●●

JANGAN LUPA DI VOTE YA SAY^^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro