Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

VML17: Tidak Suka

Devin mengernyit, ketika melihat Velin yang kesulitan menarik sabuk pengamannya.

"Kenapa?"

"Seatbelt nya susah ditarik?" Velin membalas, tangannya masih terus berusaha menarik sabuk pengaman.

"Masa sih?" tanya Devin keheranan.

Di saat Velin masih berusaha untuk menarik sabuk pengamannya. Tangan Devin terulur, melintasi tubuhnya. Tentu saja hal itu membuatnya terkejut.

Velin menahan napas melihat jarak antara dirinya dan Devin sangat dekat. Detak jantungnya berdegup dengan kencang, bahkan dia bisa mendengarnya.

Velin tersadar dari lamunannya ketika terdengar ketukan pintu kamarnya. Posisi Velin yang sedang berbaring membuatnya malas untuk beranjak dari tempat tidur.

Dengan langkah lunglai, Velin berjalan menuju pintu, membukanya. Melihat ibunya berdiri di depan pintu Velin bertanya, "Kenapa, Bun?"

"Kamu mau tolongin Bunda sesuatu?"

"Tolongin apa Bun?" Alisnya tertaut.

"Tolong, antarin kue-kue yang ada di bawah ke rumah Tante Lisa. Tante Lisa ngadain arisan di rumahnya jam tujuh malam. Sebenarnya Bunda bisa aja ngantarin, tapi Bunda masih sibuk buat kue yang lain. Jadi kamu aja yang ngantarin ya?"

Velin berpikir, menimbang-nimbang. Jika tidak karena kejadian tadi, Velin pasti akan mengantarkan kue-kue itu. Tapi, sejak kejadian itu, saat matanya bertatapan dengan Devin. Dia merasakan jantungnya yang terus berdegup tidak karuan. Sampai Devin telah mengantarkannya pulang, dia tetap masih merasakan detak jantungnya yang berdegup dengan cepat.

Velin harus apa?

Cewek itu bisa saja beralasan kalau rumah Devin jauh, jadi tidak bisa mengantarkan kue itu. Namun, rumah Devin saja ada di komplek perumahan sebelah. Jaraknya tidak jauh dari rumahnya.

Mengangguk, Velin sudah memutuskan akan mengantarkan kue itu.

●●●●

Kakinya terus menapaki jalan aspal, berjalan di komplek perumahannya. Mata Velin sesekali menatap dua kantung plastik yang berada di kiri-kanan tangannya. Berisi kue-kue buatan ibunya.

Walaupun dia tadi sempat ragu untuk mengantarkan kue-kue tersebut. Namun, tetap saja seulas senyum terpampang di wajah Velin. Hingga sebuah motor berhenti di sampingnya. Membuat langkah Velin juga ikut berhenti.

Orang itu melepaskan helm. Menoleh pada Velin dengan senyum. "Butuh tumpangan?"

Kening Velin mengerut, berpikir lalu dia baru teringat dengan cowok di sampingnya ini. "Kak Rafael teman Devin?"

"Kak?" Cowok itu seperti terkejut dengan panggilan Velin, lalu menambahkan. "Lo manggil Devin nggak pakai embel-embel 'kak' masa kalo manggil gue pakai 'kak'. Nggak usah, Rafael aja."

"Gitu, ya."

Rafael mengangguk, "Butuh tumpangan nggak nih, lo mau ke rumah Devin kan?" Rafael menawarkan kembali.

Agak ragu, Velin mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Yaudah naik."

Dengan perasaan canggung, Velin berusaha naik, tapi dia kesulitan naik karena dua tangannya memegang dua kantung plastik.

"Sini gue yang pegang dulu." Rafael mengambil dua kantung plastik tersebut dari tangan Velin.

Pelan-pelan, Velin memanjat naik, memegang bahu Rafael. Dan berhasil duduk sempurna di jok motor. Sebelum Rafael menjalankan motornya ia memberi dua kantung plastik itu pada Velin.

Di sepanjang jalan, Velin hanya menatap jalan komplek perumahannya, dia sama sekali tidak menyadari Rafael yang menatapnya dari spion motor.

"Lo udah temanan sama Devin dari kecil?" Sebenarnya Rafael sudah tahu, tetapi entah kenapa ia ingin menanyakannya langsung ke Velin.

Mata Velin melirik Rafael, yang sedang melihatnya dari spion, baru menjawab. "Iya, emang Devin nggak pernah cerita ke kamu?"

"Pernah sih, tapi dia cuma cerita singkat tentang lo."

Velin hanya bergumam 'oh'. Tidak membalas lagi ucapan Rafael, dia masih merasa sangat canggung.

Di depan gerbang putih yang menjulang tinggi, motor Rafael berhenti.

Satpam yang melihat dari lubang gerbang, langsung membuka gerbang rumah Devin. Satpam itu tidak perlu bertanya, karena dia sudah mengenal Rafael dan terutama, Velin. Setelah itu, Rafael mengegas motornya menanjak, melewati gerbang putih tersebut.

Satpam pun kembali menutup gerbangnya. Velin sudah turun dari motor Rafael, mengayunkan kakinya menuju pintu utama rumah Devin.

Dengan sengaja, Velin memencet bel berulang kali. Dan tak lama, pintu rumah terbuka menampakkan wajah kesal Devin.

"Nggak usah mencet bel sampai kayak gitu juga kali."

"Awas, aku mau masuk." Velin tidak menggubris ucapan Devin dan malah menyuruhnya menyingkir.

"Lo kesini bareng--Rafael?" Devin tadi hendak menanyakan Velin bersama siapa datang ke rumahnya. Tapi dia malah dikejutkan dengan Rafael yang berdiri di belakang perempuan itu.

Melihat wajah terkejut Devin, Velin menjelaskan, "Tadi aku ketemu Rafael di jalan, terus dia nawarin tumpangan buat aku."

Setelah menjelaskan hal tersebut, Velin menerobos masuk, dan mendorong tubuh Devin.

Velin sama sekali, tidak melihat wajah Devin yang berubah kaku. Rahangnya mengeras, entah kenapa Devin tidak suka dengan penjelasan itu. Jadi Velin ke sini berboncengan dengan Rafael? Pasti tadi Velin memeluk pinggang Rafael kan? Untuk pegangan.

Devin tahu, Velin sangat takut naik motor. Saat berboncengan motor dengannya saja Velin memeluk pinggangnya sangat erat. Bagaimana kalau Velin melakukan hal tersebut dengan Rafael.

"Dev?"

Devin tersadar saat mendengar Rafael memanggilnya. Mereka berdua masih berdiri di depan pintu.

"Lo mau ngapain ke sini?" tanya Devin tanpa basa-basi.

"Bisa nggak ngomongnya di dalam aja, gue capek kali berdiri."

Devin mendengus, dan berjalan menuju ruang tamu, dari langkah kakinya. Devin tahu jika Rafael mengikutinya dari belakang.

"Jadi mau ngomong apa?" Devin bertanya, tubuhnya sudah terhempas di sofa. Rafael pun sudah duduk di sebelahnya.

"Bara?" Devin menoleh menunggu kelanjutannya, "Dia ngajakin lo balapan malam ini."

Tidak ada raut terkejut di wajah Devin. Balapan. Sejak Velin memutuskan pergi meninggalkannya saat itu, Devin terbiasa dengan mengikuti hal tersebut.

"Gue nggak bisa," tolak Devin dengan nada datar.

"Kenapa?" Kening Rafael mengerut, bingung.

"Kunci mobil sport gue disita sama Nyokap gue, karena Alfar ngadu sama Bokap dan otomatis Bokap gue ngasih tau soal itu ke Nyokap, jadi gue nggak bisa ikut." Jelas Devin.

Rafael berdecak. "Kayak dia nggak pernah ngikutin balapan aja, pakai ngadu ke Bokap lo."

"Kalian lagi ngomongin apa?"

Pertanyaan itu lantas membuat Devin dan Rafael menoleh serempak. Melihat Velin sedang berjalan ke arah mereka, lalu duduk di sofa depan mereka berdua.

"Nggak ada," jawab Devin singkat, dia bisa melihat mata Velin yang menyipit tidak percaya.

Mulut Velin terbuka, seperti ingin berbicara lagi tetapi tertutup kembali karena kedatangan Bi Tati yang membawa nampan berisi minuman di tangannya.

Bi Tati meletakan minuman itu di atas meja. Lalu mengatakan kalau Velin di panggil Lisa, ibu Devin ke dapur. Velin pun mengangguk, dan mengikuti langkah Bi Tati menuju dapur, tapi sebelum itu ia melayangkan tatapan curiga ke arah Devin.

Devin hanya menaikkan alisnya, membalas.

"Jadi gimana lo tetep nolak?" Tanya Rafael sekali lagi. "Lo kenal dia, Dev. Sifat dia hampir sama kayak Alfar. Mereka bakal ngelakukan apapun untuk terpenuhi keinginannya."

"Gimana nggak sama, mereka kan temenan," kata Devin, saat melanjutkan nada suara terdengar dingin. "Sama-sama suka ngeliat orang menderita."

Rafael menepuk pundak Devin, dua kali. Seolah memberi semangat pada sahabatnya.

Setelah itu Rafael terdiam sejenak seperti berpikir lalu mengatakan, "Gue kenal lo udah dari SMP Dev, jadi gue tau nggak mungkin lo nolak tantangan itu cuma karena kunci mobil lo disita. Lo bisa aja minjem mobil Eza. Kayak yang lo biasa lakuin."

Rafael menatap Devin serius, "Pasti ada alasan lain kan kenapa lo nolak?"

Devin memutar matanya malas, dia memang tidak bisa menyembunyikan apapun.

"Malam ini Velin nginap di rumah gue karena bunda dan kakaknya besok pergi ke bandung. Dan otomatis dia dititipin di sini."

"Gue nggak mau Velin tau kalo gue suka ngikutin hal kayak gituan." tambahnya.

Rafael terhenyak, "Jadi dia nggak pernah tau kalo lo suka ikut balapan." Dengan hati-hati Rafael melanjutkan, "Namanya dia juga nggak tau dong kalo lo suka ke..., Pub."

"Bego," Devin melotot. "Ya, enggak lah. Kalo dia sampai tau, dia bakal benci banget sama gue."

Devin tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Velin saat dia tahu kalau dirinya suka mengikuti hal seperti itu. Sejak Velin pergi, perceraian orang tuanya, hidupnya benar-benar berbanding terbalik dengan keadaannya yang dulu.

To Be Continue
(19 Mei 2017)

●●●●

Udah dua part yang aku revisi hari ini.
Kalo ada saran lagi comment ya:)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro