Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

VML15: berangkat bersama

VELIN sedang sibuk menyisir rambutnya. Sampai suara ketukan di pintu membuatnya teralihkan. Perlahan, pintu itu terbuka menampakkan Shinta, ibunya.

"Kamu berangkat bareng Devin?"

Pertanyaan yang terlontar dari ibunya itu, membuat Velin mengernyit, "Nggak, Bun. Velin kan berangkat bareng Kak Vier," jawabnya.

Ibunya terlihat bingung lalu berkata, "Tapi, Devin ada di bawah. Katanya, mau jemput kamu untuk berangkat bareng."

Dahi Velin yang mengkerut perlahan menghilang tergantikan dengan sudut bibirnya yang terangkat. "Beneran Bun, Devin ada di bawah?"

Bunda mengangguk, "Iya dia ada di bawah, emang dia nggak ngasih tahu kamu kalau mau jemput?"

Velin menggeleng, masih dengan senyum yang terukir di wajahnya.

"Ya sudah Bunda ke bawah ya, Cepetan ngerapihin rambutnya. Nanti Devin kelamaan nungguinnya," ujar Shinta.

"Iya, Bun nanti Velin nyusul ke bawah," jawabnya.

Bundanya itu hanya menganggukkan kepala lalu berjalan keluar kamarnya. Velin pun dengan cepat menguncir rambutnya setelah melakukan ini-itu Velin pun bergegas keluar kamar, menuruni anak tangga lalu berjalan menuju ruang makan.

Saat sampai di ruang makan, matanya langsung menatap cowok yang tengah sibuk menggulir layar ponselnya. Sepertinya dia tidak menyadari tatapan tajam Vier, Velin mengeleng-gelengkan kepala kenapa kakaknya selalu tidak suka dengan Devin.

Velin melangkah mendekati kakak itu, Velin akan membujuknya. Karena Velin tahu kakaknya itu pasti akan melarangnya berangkat bersama Devin. Maka, dari itu Velin akan merayu kakaknya.

"Pagi, Kak." Velin mencium pipi kiri kakaknya itu, tangannya sudah mengalung di leher kakaknya dari samping.

"Pagi," balas kakaknya sangat datar, matanya masih menatap lurus ke Devin.

Biasanya saat Velin sudah bersikap manja begini Kak Vier akan membalas menatapnya seraya tersenyum lembut lalu membalas 'pagi', bisa Velin simpulkan pasti kakaknya itu tidak akan mengizinkannya pergi ke sekolah bersama Devin.

"Kamu beneran berangkat bareng Devin?"

Velin mengerjapkan matanya saat kakaknya menoleh, menatapnya datar. Velin menggigit bibirnya, lalu mengangguk, "Nggak pa-pa kan Kak?"

Vier menghela napas, dengan terpaksa dia menganggukan kepalanya, mengiyakan. "Nggak pa-pa tapi nanti pulangnya bareng Kak Vier aja ya?"

Velin tersenyum cerah. Melepaskan kalungan tangannya, dan mencium pipi kakaknya itu, lagi. "Oke."

Vier pun ikut tersenyum, meski senyum itu terlihat dipaksakan.

Velin berjalan ke kursi sebelah Devin. Menarik kursi untuk dia duduk lalu Menoleh ke sampingnya, "Kenapa kamu nggak bilang mau jemput aku?"

"Biar kejutan aja, lagian kita nggak pernah berangkat sekolah bareng lagi, iya kan?"

Velin mengangguk, Devin benar. Dia dan Devin sudah tidak pernah pergi ke sekolah bersama sejak dia pergi meninggalkan Devin.

"Kamu udah sarapan?" tanya Velin sembari memutar-mutar sendok di atas piringnya yang sudah tersedia nasi goreng.

"Udah."

Velin pun tidak berbicara apa-apa lagi dan mulai memakan nasi goreng buatan Bundanya. Namun, dari sudut matanya, Velin bisa melihat Devin yang sedang menatapnya intens membuat Velin tidak fokus ke makanannya.

Velin yang semakin tidak fokus, dan mulai bosan karena tatapan Devin. Akhirnya menoleh lagi ke Devin. Dan benar, Devin sedang menatapnya.

"Kamu mau?" Velin menyodorkan piring nasi gorengnya.

Devin menggeleng, tersenyum simpul.

"Tapi kenapa kamu ngeliatin terus dari tadi?" tanya Velin, kesal.

"Nggak kenapa-napa, gue cuma mau bilang lo cantik hari ini," ucap Devin dengan wajah polos.

Velin terdiam mencerna ucapan Devin. Tak lama, pipinya bersemu merah. Karena tidak tahu mau membalas apa, Velin hanya menabok bahu Devin. "Apaan sih, nggak jelas."

Devin mengusap bahunya, jengkel. "Kalau salah tingkah nggak usah nabok juga kali."

Velin pun hanya melengos menatap ke arah lain. Jantungnya berdetak diluar kendali.

Dehemen seseorang, membuat mereka melihat ke arah depannya--lebih tepatnya di depan Devin. Mereka hampir lupa dengan kehadiran Vier.

Velin hampir meringis melihat Vier sedari tadi menatapnya dan Devin tajam.

●●●●

Gerakan tangan Velin tertahan, ketika hendak membuka pintu mobil. Tiba-tiba Devin mencegahnya, cowok itu melompat turun dari mobil, memutar ke sisi pintu Velin lalu membukanya.

Velin mengernyit, bingung. Dia tidak mengerti dengan sikap Devin yang aneh hari ini, dimulai menjemputnya tiba-tiba dan sekarang membukakan pintu untuknya. Velin melompat turun, berjalan bersisian dengan Devin.

Di sepanjang koridor sekolah semua pasang mata menatap ke mereka. Cewek-cewek yang sedang duduk di luar kelasnya menatap iri Velin, ada juga tatapan tidak suka yang tersorot dari mata para perempuan itu.

Langkah kaki mereka berdua terhenti saat mendengar seruan yang memanggil Devin. Membalikkan tubuhnya. Devin dan Velin melihat ketiga teman Devin sedang berjalan menghampiri mereka.

Velin hanya mengenal salah satu di antara ketiga teman Devin. Farel, Velin sangat ingat dengan nama itu karena cowok itu pernah ingin berkenalan dengannya. Tetapi sebelum Velin menjabatnya, Devin menepis tangan cowok itu.

"Oh, jadi gini alasannya. Kenapa tadi gue nggak boleh bareng lo. Lo mau berduaan sama Velin," tuduh Farel sembari menaik turunkan kedua alisnya, menggoda.

Devin memutar matanya malas, menanggapi. "Ya, masa setiap hari lo harus numpang bareng gue mulu."

"Astaga Dev, lo jahat banget sama sahabat sendiri," ucap Farel dramatis.

"Najis, lebay banget sih lo." Eza menjitak kepala Farel.

Untuk kedua kalinya Devin memutar kedua bola matanya malas. Di samping, Velin sudah terkikik geli melihat dua teman Devin yang adu mulut tak henti-henti.

"Udah, udah berisik lo berdua." ucap Devin menghentikan adu mulut kedua temannya itu. "Velin kenalin, mereka teman gue."

"Mungkin kalau cowok idiot ini lo udah tau namanya," tunjuk Devin pada Farel.

"Ini Eza," Devin menunjuk pada cowok berambut hitam legam yang tertata rapi.

"Dan ini..." ucapan Devin terhenti saat melihat Rafael yang hanya terdiam sembari menatap ke arah Velin.

Devin berdeham membuat Rafael tersadar. "Ini Rafael," ucap Devin dengan mimik datar. Entah kenapa, dia tidak suka melihat Rafael yang menatap Velin seperti tadi.

Velin mengangguk sekilas, tersenyum.

Jika saja di setiap seragam sekolah SMA Nusa Garaksa, tertempel badge nama di seragamnya. Mungkin Devin tidak harus mengenalkan nama teman-temannya kepada Velin. Seragam sekolahnya yang dilengkapi dengan jas warna hitam diluarannya, di jasnya hanya tertempel lambang dari sekolahnya saja. Tidak ada badge nama seperti sekolah-sekolah lain.

Velin dan Devin, serta teman-temannya Devin baru saja berjalan beberapa langkah. Suara cempreng yang sangat familiar di telinga Velin membuat mereka berlima berhenti berjalan. Saat berbalik, Velin mengerutkan keningnya. Melihat Keisha, yang berdiri tiga langkah darinya, seperti patung.

Cewek itu seperti terkejut setengah mati, melihat siapa yang berdiri di sisi kanan-kiri Velin. Mulut keisha terbuka lebar. Tetapi, saat Velin berteriak memanggil namanya. Barulah dia tersadar, kembali ke dunia nyata.

Keisha menghampiri Velin sambil tersenyum kikuk.

"Vel, ke kelas bareng gue aja yuk," Ajak Keisha sembari menarik tangan Velin.

Belum sempat Keisha menarik tangan Velin, Devin menahannya. "Gue anterin lo berdua ke kelas. Tadi Velin bareng gue ke sekolah. Jadi, gue juga harus nganterin dia sampai kelas."

Keisha tahu kalau kakak kelasnya itu, hanya ingin mengantarkan Velin ke kelas bukan dirinya. Tetapi kenapa dia yang merasa melting.

Keisha terdiam beberapa saat lalu mengangguk, mengiyakan.

Selama mereka berjalan, Keisha yang berdiri di samping Velin berusaha menetralkan detak jantungnya, yang berpacu lebih cepat. Tidak. Tidak. Keisha tidak jatuh cinta dengan kakak kelasnya itu, dia hanya gugup berjalan bersama cowok-cowok ini. Dan semua pasang mata menatap ke arahnya. Semakin membuatnya gugup.

Mereka berhenti berjalan tepat di depan pintu kelas XI-Ipa2. Devin menatap Velin. "Masuk sana," suruh Devin.

Velin mengangguk, tetapi sebelum itu dia mengucapkan, "Nanti aku pulangnya bareng Kak Vier aja ya?"

"Ya, gue udah tahu. Lagian gue nggak mau jadi bahan tonjokan kakak lo itu. Kalau gue masih aja tetap maksa lo buat pulang bareng gue."

Velin terkekeh mendengar balasan Devin.

Devin tersenyum, mengusap rambut Velin yang sempat membuatnya tertegun. Setelahnya Devin menjauh dari pandangannya.

Velin hanya memandang punggung Devin yang semakin menjauh lalu menghilang dibalik tembok, saat dia berbelok menuju tangga lantai dua.

To Be Continue
(27 April 2017)

●●●●●

Jangan lupa di vote my readers:)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro