VML10: Perasaan
SETIAP kali melihat Devin yang mengabaikannya, Velin merasa seperti sedang dihimpit oleh suatu hal, yang menciptakan rasa sesak di hatinya. Rasa sakit yang Velin tidak mengerti maknanya. Kenapa dia merasakan itu? Apa karena dia terbiasa dengan sikap Devin yang selalu perhatian. Tidak seperti sekarang yang terkesan tidak peduli padanya.
Dengan langkai lunglai Velin memasuki kelas, pikirannya masih berkecamuk tentang Devin.
Keisha yang sedang berkutat dengan ponsel, matanya langsung teralihkan ketika melihat Velin memasuki kelas dengan langkah lemas—bisa dibilang seperti tidak ada tenaga. Dahinya sontak saja mengernyit.
Saat Velin mengempaskan tubuhnya di kursi, lantas Keisha bertanya. "Lo kenapa?"
Sejenak, Velin melirik Keisha lalu menenggelamkan wajahnya di lipatan tangan, mengabaikan pertanyaan Keisha.
"Dih, gue lagi nanya bukannya dijawab, malah dikacangin," Keisha menekuk wajahnya, melihat Velin yang mengabaikannya. "Ada apa sama lo?" Keisha bertanya lagi.
"Karena Devin?" tebak Keisha langsung.
Mendengar itu, Velin kontan menegakkan tubuh seraya menoleh ke arah Keisha. Bagaimana Keisha tau? Bahkan Velin belum menceritakan apapun. Velin memang sudah memberitahu Kapan mereka bertemu? Sejak kapan mereka bersahabat? Keisha mengetahui itu semua, kecuali satu hal. Velin tidak memberitahu alasan ia pergi meninggalkan Devin.
"Gue tau kali, Vel," ucap Keisha, seolah-olah Keisha bisa membaca pikiran Velin yang bertanya-tanya.
"Lo tadi diajak Alfar ke kantin kan. Bukan diajak sih lebih tepatnya, dipaksa. Terus lo berpapasan sama Devin. Tapi bukannya nolongin, Devin malah ninggalin lo sama Alfar. Nah karena itu lo sedih," jelas Keisha panjang lebar.
"Kamu tau dari mana?" tanya Velin karena Keisha menebak dengan tepat.
Keisha terkekeh. "Tadi gue lihat kejadian itu di kantin. Drama banget tau nggak," ucap Keisha sambil memutar matanya malas.
Kembali terdiam, Velin menghela napas.
"Gue sadar sama sesuatu, Vel." Mendengar itu, Velin kembali menatap Keisha. "Gue sadar, kalau sebenarnya perasaan lo sama Devin, itu udah berubah."
Velin menautkan kedua alis, tidak mengerti. Saat Keisha melanjutkan kata-katanya, Velin terdiam. "Bukan sekedar sayang sebagai sahabat, tapi ada rasa lain yang mulai tumbuh di hati lo."
Nggak. Nggak. Nggak. Velin berusaha menyangkal semua perkataan Keisha. Velin tidak boleh mempunyai perasaan yang lebih pada Devin. Karena Velin tau ending dari sebuah persahabatan kalau salah satu di antara mereka ada rasa yang lebih dari sekedar sahabat.
"Itu hal yang wajar kali, Vel. Kalo emang lo punya perasaan itu." Velin lantas tersadar dari lamunannya, mendengar kembali ucapan Keisha.
Velin tersenyum meyakinkan dirinya lalu berkata, "Aku nggak mungkin punya perasaan itu, Kei." Masih dengan senyum di wajahnya, Velin melanjutkan. "Karena dalam persahabatan, kalau salah satu di antara mereka ada rasa yang lebih dari sebatas sahabat. Pasti persahabatan mereka bakal berubah seiring waktu. Dan aku nggak mau persahabatan aku sama Devin berubah."
Keisha terpaku dengan kata-kata itu, lalu berdehem menyadarkan dirinya. "Terserah lo, Vel. Yang penting gue udah ngasih tau."
Keisha ingin berbicara kembali. Namun, karena suara pintu yang terbuka dengan sangat keras, dia mengurungkannya.
BRAAAKK!
Suara pintu yang dibuka dengan keras, kontan membuat seluruh penghuni kelas menoleh ke arah pintu—penghuni kelas hanya ada beberapa anak, sebenarnya bel istirahat sudah berakhir sedari tadi. Namun karena, pengunguman berisi; guru-guru sedang rapat karena ada Kepala Dinas yang datang, membuat semua murid berbondong-bondong kembali ke kantin.
Tak terkecuali Velin. Velin juga ikut melihat ke arah pintu. Menatap cowok berdiri di ambang pintu dengan napas tersengal-sengal--seperti sehabis berlari. Dahinya penuh dengan keringat, Velin tahu cowok itu, dia adalah teman sekelas Velin—Roni.
Roni seperti ingin mengatakan sesuatu. Namun, karena napasnya yang masih tidak beraturan dia terlihat sulit mengatakannya.
"Atur dulu, tuh napas lo. Baru ngomong," intruksi salah satu teman kelas Velin.
Roni pun mengikuti intruksi tersebut, menarik napas lalu membuangnya secara perlahan. "Mereka berantem lagi," katanya dengan mata melebar.
Mereka? Velin mengernyit saat ucapan Roni yang tidak jelas.
"Kapan kok bisa?!"
"Dimana berantemnya?!"
"Wah, kayaknya seru tuh, kalo diliat!"
"Siapa yang menang?!"
Sahut-sahutan teman-teman kelas Velin secara bersamaan membuat suasana di kelas menjadi ricuh.
Velin yang masih tidak mengerti dengan keadaan di kelasnya hanya bisa diam. Namun, tiba-tiba tangannya ditarik oleh Keisha keluar kelas. Velin mengerutkan keningnya saat Keisha menarik dirinya menuju lapangan sekolah. Tentu saja Velin bingung dengan Keisha yang berjalan terburu-buru.
Sesampainya di lapangan sekolah. kerutan di dahi Velin semakin banyak, ketika melihat kerumunan orang-orang. Karena keingin tahuannya, Velin mengikuti Keisha yang menerobos masuk ke kerumunan tersebut.
Seketika mata Velin melebar, melihat pemandangan di depannya. Velin tidak percaya apa yang dilihatnya sekarang. Dihadapannya Devin sedang berkelahi dengan Alfar, namun salah satu teman Devin—yang Velin tidak tahu namanya, sedang melerai perkelahian mereka.
Teman Devin menahan tubuh Devin agar Devin tidak menyerang Alfar, lagi. Kondisi mereka sama-sama buruk, sudut bibir yang sobek sehingga mengeluarkan darah, lebam pada bagian pipi dan pelipis. Velin meringis melihat itu semua.
jadi yang dimaksud 'mereka' Alfar dan Devin, batin Velin.
Ketika teman Devin--yang melerai perkelahian, melihat Velin. Wajahnya terlihat terkejut lalu membisikkan sesuatu ke Devin. Entah apa yang dia bisikkan, yang langsung membuat Devin menoleh ke arahnya.
Tubuh Devin menegang saat melihat Velin berdiri di antara orang-orang yang mengerubunginya. Mata mereka bertemu selama beberapa detik, dengan cepat Devin berusaha mengendalikan dirinya lalu memalingkan wajah ke arah lain, kemana pun. Asalkan tidak ke mata itu. Mata yang membuat Devin menjadi cowok yang lemah.
Suara Bu Ratna—guru Matematika yang terkenal dengan julukan Singa Betina. Mengintrupsi kerumunun tersebut dengan suara menggelenggar miliknya.
"ADA APA INI?!" Dengan terburu-buru, semua murid-murid sontak langsung meninggalkan tontonan gratis mereka, tak terkecuali Velin.
Sekilas, Velin melirik Devin tetapi cowok itu memalingkan wajah, tidak mau menatapnya. Membuat Velin kembali ke kelas dengan perasaan bercampur aduk.
●●●●
Devin hanya memasang wajah datar, melihat guru yang duduk di hadapannya, yang tidak henti-hentinya menceramahi dirinya dan Alfar. Bu Dina—guru BK sekaligus adik dari papanya, yang berarti adalah tantenya dan tentu saja tantenya Alfar juga.
"Kalian ini saudara, tapi kenapa kalian nggak pernah akur?" ucap Bu Dina bingung sembari memijat pelipisnya yang mulai pusing karena tingkah dua keponakannya.
Devin yang sedari tadi hanya diam, mulai angkat bicara. "Maaf, Bu. Saya dan Alfar itu bukan saudara. Kami berdua hanya saudara tiri."
Perkataan Devin lantas membuat Bu Dina terdiam. Bukan perkataan Devin, lebih tepatnya nada suara Devin yang tedengar seperti bicara dengan orang asing.
"Devin," Bu Dina menghela napas, memandang penuh perhatian pada keponakannya itu. "Ibu tau kamu masih belum bisa menerima perceraian orang tua kamu. Tapi ibu mohon jangan bersikap seperti ini."
Dengan wajah datarnya menatap Bu Dina. "Ibu nggak pernah tau apa yang saya rasain," ucap Devin berusaha agar nada suaranya tidak bergetar lalu melanjutkan. "Semua orang itu pembohong, kalian nggak pernah ngertiin perasaan saya."
"Devin? Tante..." belum selesai Bu Dina berbicara. Devin menyela dengan perkataannya.
"Maaf, Bu. Lebih baik Ibu nggak usah mengurusi hidup saya," kata Devin dengan suara datarnya. "Lagipula saya nggak punya, Tante. Saya hanya punya Mommy Lisa. Jadi ibu nggak usah menyebut diri Ibu itu, tante saya."
Alfar hanya memandang malas perdebatan di hadapannya.
Setelah mengucapkan hal itu, Devin bangkit berdiri. Kemudian melenggang keluar ruang BK.
Devin tidak menyadari hanya karena ucapannya, Bu Dina terdiam, mematung di tempat duduknya. Bahkan Bu Dina merasakan apa yang Devin rasakan. Namun dia hanya bisa diam tanpa bisa membantu.
TO BE CONTINUE
(28-Maret-2017)
●●●●
Jangan lupa vote ya!
Thank you
Aping
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro