Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 4

Sasuke membaringkan tubuhnya di atas kasur di kamar tamu dan terlarut dalam pemikirannya meski jam telah menunjukkan pukul dua malam.

Ia sama sekali tak bisa tidur meski telah berkali-kali berganti posisi dan memejamkan mata.

Sesungguhnya ia sama sekali tak bisa berhenti memikirkan soal pengakuan Sakura meski ia ingin memikirkannya. Ucapan wanita itu bagaikan sebilah pedang yang menghujam jantungnya dan menimbulkan luka yang dalam. Ia merasa begitu kecewa dan dikhianati.

Di saat seperti ini, seorang pria seharusnya merasa marah. Ia pun juga merasa begitu meski cenderung sedih dan kecewa.

Pada umumnya pria cenderung menjaga harga diri mereka dan tidak seharusnya terlihat lemah. Pria tidak seharusnya meneteskan air mata, namun dadanya terasa sesak dan sejak tadi ia berkali-kali membelalakan mata dan menyembunyikan wajah di balik bantal agar tak meneteskan air mata.

Perasaan membuncah dan jantungnya terasa sesak. Ia merasa marah, namun sadar bahwa dirinya juga ikut andil atas ketidakpuasan sang istri. Seandainya ia pernah bertanya jika wanita itu merasa puas atau tidak dan tidak memikirkan kepuasannya sendiri, situasi tidak akan serunyam ini.

Sekarang, apa yang bisa ia lakukan? Ia tak yakin bisa bersikap baik-baik saja seperti semula dengan istrinya. Rasanya ia tak ingin melihat wanita itu lagi meski di dalam hati ia masih tetap mencintai Sakura.

Apakah ia harus menceraikan Sakura seperti yang dilakukan pria pada umumnya saat tahu bahwa istrinya berselingkuh? Namun bagaimana dengan Sarada?

Memang, pernikahan yang dilandasi ketidakbahagiaan tidak hanya berdampak buruk pada relasi dengan istri, namun juga anak. Seorang anak yang dipaksa menyaksikan ketidakbahagiaan dalam pernikahan orang tua mungkin akan kesulitan mempercayai lawan jenis. Namun jika sebuah keluarga yang awalnya baik-baik saja mendadak harus berpisah, bukankah itu juga tidak baik?

Sekarang, apa yang harus ia lakukan? Seandainya Sarada telah kembali nanti, haruskah ia berpura-pura bersikap baik pada Sakura dan menelan segala kekecewaannya demi terlihat harmonis di mata putri semata wayangnya atau dengan jujur mengakui bahwa ia dan Sakura sedang tidak baik-baik saja?

Setiap mengingat Sakura, ia teringat akan rasa cinta yang hingga kini masih tersisa di hatinya. Namun di saat yang sama ia teringat akan sebuah pengkhianatan dan hatinya terasa nyeri seketika.

Bagaimanapun juga, rasa cinta tidak tumbuh dalam satu detik, maka tak mungkin pula sirna dalam satu detik. Semakin lama waktu yang diperlukan agar rasa cinta dapat bertumbuh, biasanya akan semakin lama pula waktu yang diperlukan untuk menghapus rasa cinta itu.

Pada akhirnya Sasuke merasa tak kuat lagi menahan perasaannya. Kali ini ia memeluk bantalnya sendiri dan menundukkan kepala, meneteskan air mata yang tak lagi disembunyikannya.

.

.

Seandainya manusia bisa melakukan teleportasi, Sakura akan memilih untuk melakukannya di detik ketika Sasuke menatapnya dengan tatapan yang paling menghancurkan hati. Lelaki itu menatapnya dengan tatapan yang menyiratkan kemarahn, kekecewaan dan juga kesedihan di sana. Ia bahkan belum pernah menyaksikan suaminya menatap seseorang dengan cara seperti itu selama bertahun-tahun mengenalnya.

Sepertinya, ketimbang kemampuan teleportasi, ia jelas lebih membutuhkan sebuah mesin waktu. Ia perlu menyadarkan dirinya sendiri agar tak membuat kesalahan bodoh dengan memilih berselingkuh, bukan mendiskusikan masalah yang sesungguhnya.

Jika dibandingkan, efek yang didapat dari mendiskusikan masalah akan lebih baik. Memang benar hubungan mereka mungkin akan merenggang sesaat karena ia menyerang harga diri sang suami dengan mengaku bahwa ia tidak puas dengan lelaki itu. Namun sesudahnya, bukan tidak mungkin jika Sasuke memilih memperbaiki dirinya dengan berusaha mengeksplorasi seks lebih dalam.

Ia memilih opsi lain dan opsi itu membawa kehancuran bagi dirinya dan sang suami. Ia hancur akan penyesalan dan rasa bersalah ketika lelaki itu hancur akan rasa kecewa akibat pengkhianatan.

Sakura merasa begitu tidak nyaman dengan pemikiran bahwa ia harus berpapasan dengan Sasuke dimanapun di rumah. Ia sengaja bangun lebih siang dan ia bahkan nekat menghubungi atasannya melalui chat dan memberitahu bahwa ia mendadak tidak bisa masuk karena diare, padahal sebenarnya itu hanyalah alasan agar ia tidak perlu bersiap berangkat kerja di jam yang sama dengan suaminya.

Persetan dengan pasiennya yang mungkin akan merasa marah karena ia tidak praktek hari ini. Toh pasien itu bisa dialihkan pada dokter lain. Lagipula ia juga tidak memiliki janji temu dengan pasien yang rutin datang berkunjung.

Pada akhirnya Sakura memutuskan untuk keluar dari kamar pukul tujuh lewat sepuluh dan biasanya Sasuke sedang menghabiskan sarapan di ruang makan. Namun ia sama sekali tak mendapati lelaki itu di ruang makan maupun dapur.

Rasa penasaran membawa Sakura menuju kamar tamu tempat dimana Sasuke tidur semalam. Langkahnya terhenti di depan pintu dan ia menahan napas secara refleks. Jantungnya berdebar lebih keras dan mendadak ia merasa takut kalau lelaki itu mungkin saja membuka pintu secara mendadak dan mereka harus berhadapan.

Hampir 5 menit ia bergumul dalam benaknya hingga pada akhirnya ia memberanikan diri untuk mengulurkan tangan. Dengan tangan bergetar, ia meraih kenop pintu dan kembali menahan napas serta membuka pintu dengan suara yang sangat pelan.

Pintu terbuka dan ia hanya mendapati bantal dan selimut yang telah terlipat rapi di atas tempat tidur. Tak ada kamar mandi di dalam kamar tamu dan ia semakin yakin jika Sasuke mungkin sudah pergi.

Ia merasa penasaran dan ingin menanyakan keberadaan lelaki itu, namun ia teringat jika saat ini bukanlah saat yang tepat. Lelaki itu mungkin saja sedang dalam perjalanan ke kantor. Jika lelaki itu membaca pesan darinya, bukan tidak mungkin jika suasana hatinya memburuk hingga memengaruhi pekerjaannya.

Sakura segera menutup pintu dan ia segera berjalan menuju dapur. Ia perlu membuat sarapan untuk dirinya sendiri meski sebetulnya ia sedang tak bernafsu makan. 

Sakura segera membuka kulkas dan mendapati beberapa butir telur di rak telur. Ia berencana membuat omelet, namun setiap mengingat omelet malah membuatnya teringat akan suaminya yang maniak tomat hingga memakai banyak saus tomat di atas telur. Ia malah teringat akan Sasuke dan perasaannya kembali sesak.

Mendadak ia tidak berniat membuat sarapan dan ia segera meraih ponselnya. Ia berpikir untuk menggunakan jasa aplikasi pesan antar yang belakangan ini sedang populer karena promo harga makanan dan biaya pengantaran secara cuma-cuma.

Ia menekan tombol aplikasi pada layar ponselnya dan melihat-lihat daftar restoran serta memilih makanan cepat saji meski sebetulnya tak begitu ingin mengonsumsi apapun.

Ini bukanlah kali pertama bagi Sakura untuk menghabiskan pagi tanpa eksistensi sang suami. Terkadang lelaki itu pergi selama beberapa hari tanpa dirinya dan ia merasa biasa saja.

Namun kini hatinya terasa mencelos. Ia merasakan sebuah kekosongsan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya dan ia mulai bertanya,-tanya, apakah kekosongan ini akan terus berlanjut?

Di saat seperti ini, Sakura mulai berpikir jika budaya patriarki begitu tidak adil. Seorang laki-laki berselingkuh dan dianggap lumrah sehingga perempuan umumnya menerima, sedangkan tidak dengan lelaki. Mereka tidak menerima jika pasangan mereka berselingkuh, apalagi sampai bercinta dengan lelaki lain.

Pemikiran lelaki, perempuan adalah miliknya dan hanya boleh dimilikinya seorang. Menyedihkan sekali ketika seorang wanita ditakdirkan untuk membiarkan orang lain menjadi tuan atas dirinya, bukan menjadi tuan atas diri sendiri.

Ia mulai berpikir, apakah Sasuke merasa marah karena dikhianati? Atau merasa marah karena seseorang menggunakan propertinya tanpa ijin?

Kalau alasannya yang terakhir, bukankah tidak adil ketika ia bahkan tak boleh memikirkan kenikmatannya sendiri?

.
.

Sepanjang hidupnya, pertama kalinya Sasuke merasakan pergolakan emosi semacam ini. Ia bahkan tak mampu menemukan satu katapun untuk mendeskripsikan perasaannya secara keseluruhan.

Pagi tadi ia sengaja bangun jam setengah enam dan memilih sarapan di kedai kopi yang buka selama 24 jam.

Bukan tanpa alasan ia melakukan hal itu. Ia sengaja melakukannya demi menghindari sang istri. Ia khawatir akan mengeluarkan seribu sumpah serapah dan bahkan melakukan kekerasan fisik ketika emosinya belum benar-benar stabil.

Sesungguhnya ia bahkan tak ingin pulang ke rumah. Ia ingin menghabiskan waktu bersama seseorang dan bercerita, namun di sisi lain ia masih memikirkan persepsi orang lain akan wanita itu.

Pendek kata, ia merasa sesak akan emosinya, tetapi tak menemukan wadah yang tepat untuk meluapkan perasaannya.

Sasuke memaksakan diri untuk memperlihatkan seulas senyum tipis di bibirnya tepat ketika seorang gadis kecil menghampirinya. Di punggung gadis itu tergantung sebuah tas ransel besar yang terlihat penuh dengan pakaian-pakaian kotor.

"Ayah," sapa gadis kecil itu seraya duduk di atas sofa kursi samping pengemudi.

Sasuke menatap gadis kecil itu sekilas, buah cintanya bersama sang istri. Gadis kecil itu memiliki rambut hitam yang mirip dengan dirinya, namun bentuk mata Sarada persis seperti istrinya.

Saat menatap Sarada, mendadak Sasuke teringat dengan Sakura dan apa yang terjadi semalam hingga ia harus menarik napas dan menghembuskan perlahan untuk menenangkan dirinya sendiri.

"Tumben sekali ayah menjemputku. Kupikir ibu yang akan menjemput."

Sasuke menyahut tanpa menatap putrinya sama sekali, "Hari ini ibumu sedang kurang sehat. Bagaimana kalau kita makan dulu sebelum pulang?"

"Boleh. Kedai burger bagaimana? Kata temanku ada burger rasa baru yang enak di sana."

Sasuke menganggukan kepala sebagai tanda persetujuan. Sesungguhnya ia sengaja melakukan hal ini agar bisa menghindar dari rumahnya sendiri. Seandainya tidak ada Sarada, rasanya ia ingin menghabiskan satu malam di tempat lain, entah di kantor atau kamar hotel yang akan disewanya.

Sore ini Sarada baru saja pulang dari acara karyawisata yang diadakan oleh pihak sekolah dan Sasuke sengaja menjemput. Ia tak menampik jika saat ini putrinya adalah satu-satunya alasan untuk tetap berada di rumah.

Ia segera mengemudikan mobilnya menuju kedai burger terdekat. Ia beruntung karena putrinya bukanlah orang yang sangat banyak bicara jika dibandingkan dengan Boruto, putra Naruto. Seandainya Boruto adalah anaknya, ia yakin akan merasa sakit kepala menghadapinya.

"Bagaimana karyawisatanya?" tanya Sasuke dengan maksud berbasa-basi. Ia merasa penasaran bagaimana putrinya menghabiskan dua malam tanpa orang tua. Namun ia tidak tertarik dengan detil yang terlalu banyak, misalnya soal siapa saja teman sekelas Sarada.

"Aku dan beberapa teman setimku memasak lho, Yah."

Sasuke menyunggingkan seulas senyum tipis. Ia merasa penasaran seperti apa hasil masakan putrinya meski tidak begitu yakin dengan rasanya.

"Kalian memasak apa?" Sasuke bertanya dengan antusiasme yang terdengar dari intonasi suaranya.

"Sup miso dan sukiyaki."

Sasuke tersenyum bangga. Putrinya bahkan baru berusia 9 tahun dan sudah bisa memasak. Rasanya ia ingin mencicipi masakan gadis kecil itu, tak peduli seperti apapun rasanya.

"Kapan-kapan ayah jadi ingin mencoba masakanmu."

Sarada tersenyum tipis. Ia merasa bangga karena sang ayah mengapresiasinya, "Boleh. Kata teman-teman masakanku enak, lho."

Sasuke menatap putrinya. Seandainya ia berpisah dengan Sakura, akankah senyuman itu tetap terpatri di sana?

Sasuke tak begitu tahu seperti apa kepribadian putrinya secara keseluruhan. Ia sendiri lebih menyukai kebenaran yang menyakitkan, namun bagaimana dengan Sarada? Apakah gadis itu bisa menerima seandainya ia memberitahu kebenarannya?

"Kalau seandainya ayah dan ibu berpisah, kau ingin tinggal bersama siapa?" tanya Sasuke secara spontan.

Sarada begitu terkejut, senyumnya menghilang seketika. Ia menatap ayahnya dan berkata, "Ayah dan ibu akan berpisah?'

Sasuke cepat-cepat menjawab, "Ini hanya seandainya."

Sarada tergugu seketika. Ia menatap mata sang ayah sebelum menjawab, "Aku ... tidak tahu."

Sasuke menangkap ucapan putrinya secara berbeda. Jeda dan keraguan itu sudah cukup jelas untuk menyatakan bahwa gadis itu tak berharap kedua orang tuanya berpisah.

-TBC-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro