16. Butuh Waktu
Jangan lupa comment dan vote nya saya tunguu. 😊
*****
Tenang saja aku sudah tak lagi menaruh harapan padamu karena aku sadar diriku hanyalah kodomo bagimu.
____________________________________
Ting
Fero menoleh sekilas pada saat bunyi notifikasi masuk dalam ponselnya. Dari Daniel ada apa pagi hari sudah mengirim pesan? Menanyakan sudah mandi? Atau makan pagi? Sangat mustahil bukan, segilanya Daniel dia bukan seorang Gay.
Fero mempercepat memasang kancing seragamnya dari bawah ke atas, terkadang ia heran orang lain mengapa memulainya dari atas ke bawah? Entahlah Fero sudah tak ambil pusing dengan pendapat orang, ini hidupnya bukan hidup mereka. Terserah ia mau melakukan apa, mau dia dingin, cuek atau ketus. Tidak mau berteman dengannya juga terserah maunya apa. Semua kancing sudah terpasang dengan benar lalu tangannya naik ke atas untuk membenarkan kerah leher yang sedikit lusuh.
Tangan kanannya mengambil benda pipih yang tadi sempat berbunyi.
Daniel KW Chanyeol:
Fer
Lo tau kan hati gw msh sakit.
Bantuin yah.
Pliss
Tlng jemput Vania tiap pgi y, biar dia g diantar ayahnya.
Soalnya ayahnya nnti ngira gw brantem bnbutuh
•
Kan emng brntm
Daniel KW Chanyeol:
Ayolah Fer lo bantuin kek skli skli.
•
Yg lain aj
Daniel KW Chanyeol:
Yg lain udh bwa gbtn, cmn lo doang yg g, ayolah Fer.
•
Lo hina gw?
Daniel KW Chanyeol:
G kok jngn baperan dong. Y plis nanti gw ksh contkn deh.
•
G butuh
Fero memasukkah benda pipih ke dalam saku celananya dan mengambil dasi yang terletak di atas kasur. Lalu mengambil ransel dan menyampirkan ke bahu kanannya. Fero mulai menata langkah menuju meja makan untuk melakukan sarapan pagi bersama keluarganya.
Fero duduk di hadapan Alden yang sedang asik mencolek dagu Rara genit. "Abaaaanggg! Diem ih Ara mau makan!" teriaknya dengan nada kesal, sementara Alden hanya cengengsan tak berdosa.
"Mama aku berangkat sama Kakak aja ya, nggak mau sama Abang." rajuk Rara memohon.
"Kenapa?"
"Abang genit, jail, Ara nggak suka. Di mobil papa Abang selalu godain Ara. Tarik-tarik rambut Ara." sambil berbicara Rara memandang Alden kesal.
"Mana ada coba." segah Alden tetap membela diri.
"Alden," panggil Fero meyela pembicaraan mereka.
"Lo suka Ara?"
"Masya Allah Kak gue emang playboy tapi gue mikir-mikir kalau mau gebet orang. Bocah ingusan mana gue pacarin, nggak level lah." Fero mengangguk tenang, ia takut saja bila terjadi.
"Lagian Ara tuh yang suka jail, game online gue dihapus semua." cercanya berapi.
"Bodo. Kakak Ara berangkat sama Kakak ya."
"Nggak bisa Ara, Kakak mau jemput temen Kakak." Rara cemberut karena keinginannya tak terkabul dan harus semobil dengan Alden.
"Siapa Kak?" tanya Metha yang juga kepo.
"Vania."
Mata Metha berbinar saat nama Vania terucap di bibir Fero. Calon menantunya akan dijemput Fero, ini suatu pertanda baik. Semoga saja Fero dapat melupakan masa lalunya.
"Oke Ara berangkat sama papa aja dan Kakak biar sama Vania oke." putus Metha yang membuat Rara dongkol dan Alden tersenyum kemenangan.
🍂🍂🍂
Vania turun dari jok montor Fero dengan senyum cerah merekah bak matahari. "Makasih ya." tangannya membuka resliting tas ranselnya dan mengambil benda berbentuk kotak berwarna cokelat. "Ini sebagai ucapan terima kasih, maaf juga kemarin lupa nggak ngasih." Vania memberikan kotak kue tersebut dan disambut dengan baik oleh Fero.
Dapat diartikan hati Fero mulai luluh. Dia tidak seberapa dingin padanya. Semoga saja.
"Oke gue ke kelas dulu, bye." Vania keluar dari parkiran dengan langkah ringan kemudian ia mengintip sekilas pada kelas Daniel. Di sana Daniel sedang tertawa lebar, entahlah apa yang ditertawakannya.
"Syukur deh lo masih tertawa."
🍂🍂🍂
Suara derap langkah gesekan antara sepatu dan lantai menjadi pertanda bahwa penghuni baru akan masuk ke dalam ruangan ini. Semua anak sudah duduk dengan rapi di bangkunya masing-masing, menjadi anak baik-baik. "Selamat pagi anak-anak," serunya ceria sekali, bagi anak didiknya beliau sangatlah cocok menjadi guru TK atau mungkin PG. Sayang sifat aslinya tak dapat lolos menjadi guru anak imut, suaranya yang sengak dan keras akan memandangnya ngeri.
"Selamat pagi Bu Gisya yang cantik cetar membahana!" seru peserta didiknya tak kalah sengak. Sangat tidak ridho akan apa yang mereka ucapkan barusan.
"Adakah pr yang akan dikumpulkan?" tanyanya sambil berjalan menuju singgasananya alias meja guru dengan dikaruniai kipas angin super gede.
"Ada bu cantik," teriak mereka. Kemudian semua menguarkan buku tulis yang sudah terdapat dua lapis buku.
"Ada pr emangnya?" tanya Daniel pada Angga yang sibuk menstip-x tulisannya dan matanya sesekali melirik buku tulis yang ada di depannya.
"Lo kira gue ngerjain skripsi?"
"Kenapa lo nggak bilang gue?"
"Lo nggak nanya," jawabnya cuek dan lebih mempercepat kekuatan tangannya untuk menyalin jawaban Siti. Niatnya mau nyontek Fero tapi pelit dianya.
"Ngga." Angga menoleh ke barisan depan, ia yakin betul pasti Siti yang memanggilnya untuk mempercepat menyalin jawaban. "Buruan!" ujarnya berdesis. Angga mengangguk kuat berusaha meyakinkan ia akan segera menyelesaikannya.
"Capek banget, untung udah." Angga melempar buku tulis big bos bergambar line ke bangku depan dan mendapatkan tatapan tajam Siti, masa bodo.
"Lo nggak nyalin?" tanyanya pada Daniel yang fokus menatap Bu Gisya. Daniel menggeleng.
"Baik kalian kumpulkan di meja saya!" perintahnya keras, semua anak mulai maju ke depan dengan membawa buku tulis mereka masing-masing. Kemudian Bu Gisya mengecek siapa gerangan yang tidak disiplin pada pelajarannya ini.
"Daniel Edmund Hagel angkat tanganmu!" Daniel mengangkat tangan kananya tinggi seolah baru saja memperoleh juara anak terpintar. "Kamu tidak mengumpulkan tugas saya?"
"Tidak."
"Mengapa?"
"Nggak ada yang kasih tau kalau ada pr."
"Kamu kemarin tidak masuk?"
"Masuk."
"Sini!" titahnya semakin garang. Daniel maju menuju tempat singgasana Bu Gisya.
"Atututututut Buuuuu," erang Daniel saat mendapat jeweran di telinga kanannya."
"Apaan atutut?"
"Atuatit maksudnya Bu."
"Udah jangan banyak omong kamu siiram semua jenis tanaman di sekolah, sekarang!" Daniel langsung berdiri dari duduknya dan berjalan keluar kelas dengan langkah ringan. Hatinya tentu senang jika keluar dari kelas Bu Gisya, itu anugerah.
Di luar kelasnya Daniel sibuk mencari kran air, sedangkan selang air sudah ada di gengaman tangan. "Krannya mana sih? Pake wastafel aja ah bodo airnya habis." Daniel memasangkan selang air ke dalam lubang wastafel dan kebetulan lubangnya pas.
"Oke gue spesies tukang kebun terganteng sejagat raya." sesekali ia melihat Bu Gisya yang sedang menjelaskan materi IPS di kelasnya. Setidaknya kelasnya beruntung mendapatkan guru yang seperti itu agar peserta didiknya tidak mudah mengantuk.
Kakinya perlahan bergeser ke kanan dan di depannya terdapat kelas Vania yang jamkos. Daniel mengangkat bahunya tak acuh, proses move on harus berakhir. Tak tahu ini cara benar atau tidak, ia hanya perlu waktu. Cinta tidak bisa dipaksa karena sesuatu yang dipaksakan akan berakibat tidak sesuai ekspetasi.
Daniel juga menyesal karena menembak Vania di hari ulang tahunnya, ia salah waktu dan tempat. Seharusnya itu hari bahagia Vania tapi justru ia sendirilah yang membuatnya menyedihkan.
"Daniel." Daniel menoleh ke samping kanan dan mendapati Vania tengah tersenyum di depannya.
"Dan please maafin gue Dan." pintanya memohon.
Daniel menghela napas pendek. Berulangkali ia meyakinkan bahwa ini salahnya namun mengapa justru Vania menyalahkan dirinya sendiri. "Udahlah Van lupain aja, gue cuma butuh waktu."
"Berapa lama?"
"Nggak tahu. Mungkin sampai gue kembali menjadi Daniel yang dulu. Daniel yang nggak mencintai lo."
Ucapan Daniel membuat hati Vania sangat tertohok. Ia menjadi semakin bersalah, persahabatannya menjadi renggang kerena cinta.
"Ini bukan salah lo, salah gue kok. Udah masuk sana belajar untuk masa depan." Daniel mengakhiri pembicaraannya karena tak mau suasana menjadi tegang.
🍂🍂🍂
Vania masih asik memakan batagor di kantin, ia sudah mulai terbiasa ke kantin dengan sahabatnya. Letak meja yang ditempatinya tidak terlalu di tengah juga tidak di pojok jadi lumayan strategis. Dilihat nya Daniel yang sedang tertawa lepas dan Fero yang tetap dengan ekspresi datar. Menurutnya bila terus memesang ekspresi datar apakah mukanya tidak kaku ketika tersenyum, Vania menjadi terkikik geli.
"Kenapa Van?" penasaran Natasya karena Vania tiba-tiba terkikik
"Oh nggak kok."
"Lihatin si doi," jawab Syifa santai. Vania memasang wajah cemberut karena ketahuan.
"Van ada kemajuan sama Fero?" tanya Layla.
"Lumayan sih dia udah mau bales chat dari gue ya walaupun cuman 'ya' dan 'oke' aja."
"Apa nggak sebaiknya lo nggak usah jalani tantangan itu aja. Gue takut lo sakit hati lagi, Fero itu tipe orang yang super cuek dan kelihatannya kaku." terus terang Layla mengungkapkan pendapatnya.
"Lo kok gitu sih Lay, dulu lo juga dukung Vania kok jadi pesimis gini," telak Syifa tak setuju.
"Jangan paksa Vania Shif nggak baik," jawab Layla tetep tenang.
Natasya menyipitkan mata curiga pada Layla. "Lay apa lo juga suka Fero?" tanyanya pelan.
Layla batuk-batuk akibat ucapan Natasya padanya, ini tuduhan yang sama sekali tidak benar. Bagaimana mungkin ia menyukai seseorang yang juga ditaksir sahabatnya sendiri. "Kalian kok jadi gitu ke gue? Gue cuma kasih saran aja ke Vania, dia mau ikuti atau nggak juga nggak papa. Gue nggak sebodoh itu suka sama orang yang udah jelas ditaksir sahabat gue." ia menggeleng tak percaya dengan tuduhan Natasya yang seakan menghinanya makan teman.
"Maaf Lay, maaf maksud gue nggak gitu. Gue tahu kata-kata gue nyakitin lo. Gue minta maaf." sesal Natasya pasa Layla. Kata-kata tadi tiba-tiba meluncur bebas dari mulutnya.
"It's oke."
"Tapi apa yang dikata Layla bener juga sih. Fero terlalu kaku dan cuek masalah cewek. Gue juga takut trauma cinta ada di diri Vania." Natasya menyetujui pandapat Layla.
"Ah udahlah lagian bentar lagi udah satu bulan, masa pendekatan gue sama Fero akan berakhir," ujar Vania cepat.
Vania berdiri dari duduknya lalu merapikan seragamnya yang sedikit lusuh. "Ke toilet dulu ya bentar." pamitnya langsung berjalan.
Vania keluar dari toilet wanita dan menata langkah untuk kembali ke kantin untuk menyelesaikan makan siang. Disaat ia berjalan melewati taman tak sengaja matanya menengkap siulet Fero yang tengah duduk. "Ke sana aja lah, siapa tau nanti kenyang."
Vania duduk di samping kiri Fero yang sedang terpejam rileks. Fero menggunakan earphone di kedua telinganya. Vania dengan santai juga memperhatikan muka Fero yang sangat tenang. Sambil menopang dagu Vania sesekali tersenyum terhipnotis.
"Puas lihatin gue?" Vania tersentak dengan suara Fero yang terlewat datar. Pikirnya Fero tak tahu bahwa ia ada di sini dan memperhatikannya sedari tadi. Lagipula mata Fero masih terpejam apa Fero cenayang ya?
Vania duduk tegak dan mulai menyenderkan punggungnya di bangku taman, percuma ia memperhatikan Fero, sudah tertangkap basah. Kalau begini bisa saja ia yang salah tingkah.
"Ngapain masih di sini?" tanya Fero dingin. Dugaan Vania ini semacam kalimat pengusiran secara halus, tapi dibilang kasar juga bisa.
"Lihatin lo, siapa tahu gue jadi kenyang." Fero sempat mengangkat sudut bibirnya ke atas dan Vania tak tahu artinya apa.
"Mau lo apa?"
Apa? Vania bahkan tak tahu apa maunya bila ditanya. Ia juga bingung dirinya tertarik dengan pribadi Fero yang dingin tapi entahlah ia sungguh tidak tahu. Rasanya selalu nyaman di dekat Fero hanya itu yang ia rasakan.
*****
Okelah panjang ya partnya. Jangan lupa comment dan vote yang selalu ditunggu. Share VANERO ke kerabatmu yaa.😊
Dapet salam dari Vania buat yang lagi galau, banyakin baca novel katanya.
qolintiknov
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro