Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bertautan


Ketika rasa itu datang, mungkin kau tak akan menyadarinya. Karena hatimu telah kau bentengi sedari awal. Tapi tetaplah seperti itu, karena aku perlahan akan melubanginya sedikit demi sedikit hingga kemudian nanti menetap erat selalu. Karena sekeras apapun sebuah batu, pada akhirnya akan hancur oleh tetesan air yang menjatuhinya. Begitupula dengan hatimu.

~~~~ Intermezzo. Cilebut, 14 Juli 2016 ~~~~

Mentari mulai menampakan dirinya sedikit demi sedikit. Memancarkan sinar keemasan yang menggantikan pekatnya gelap malam. Burung-burung mulai berkicau merdu, saling bersahutan menyambut pagi. Aroma tanah basah bercampur rerumputan hijau sehabis hujan menghadirkan ketenangan tersendiri. Sisa tetes air hujan yang membasahi dedaunan menampilkan kemilaunya saat ditempa sinar mentari pagi. Membuat suasana pagi terasa damai dan indah. Terlihat sepasang manusia yang tengah terlelap dalam kedamaian tanpa terusik alunan suara burung ataupun terangnya mentari pagi. Keduanya seakan men ikmati kebersamaan mereka saat ini.

Lihatlah! Keduanya tampak memenuhi satu sama lain. Saling memberi kehangatan. Gama tertidur sambil duduk bersandar pada kursi penumpang belakang dan Alle tidur tepat di dada Gama. Lengan keduanya saling melingkupi. Sungguh apabila ada warga atau orang yang tengah melintas melihat keduanya akan beranggapan bahwa mereka adalah pasangan yang sedang berbulan madu dengan cara ekstrem di tengah hutan.

"Euuunghh!"

Sengatan rasa sakit di dadanya membuat Alle melenguh dan mencoba kembali tertidur. Mencari posisi nyaman, Alle bergerak dan semakin melekatkan dirinya pada bidang yang tengah dipeluknya. Tanpa disadari, pergerakan Alle menyentuh sesuatu yang saat ini tengah mengeras tanpa tahu malu.

"Shhhttt...ahh!"

Kening Alle mengernyit saat mendengar suara desahan seorang pria.

Tunggu.

Dirinya nggak salah dengar kan! Suara seorang pria? Sontak Alle membuka kedua matanya lebar-lebar. Lama dipandanginya area tempat ia tertidur saat ini. Pandangannya jatuh pada kancing kemeja yang berderet, terkait erat pada bahan katun yang menempel pas dengan tubuh seseorang . Dan aroma parfum yang akhir-akhir ini selalu hadir di indera penciumannya.

Panik.

Alle langsung menarik diri, bangun dalam kebingungan. Gerakan tiba-tibanya membuat sengatan rasa sakit kembali mendera lukanya. Membuat ia mengeraang menahan sakit.

"Arrgghh!!"

Erangan Alle membuat Gama terbangun seketika. Sesaat dirinya merasa linglung dengan keadaan sekitar. Namun saat ia melihat Alle yang kini tengah memegang luka di dadanya membuat dirinya sadar dan mengingat kembali kejadian tadi malam.

"Alle ... kenapa? Apa terasa sakit lagi? Kau harus duduk tegak agar lukanya tidak terjadi pendarahan," ucap Gama panik jikalau terjadi sesuatu pada Alle.

Alle menggeleng dan mencoba duduk dengan tegak. Beberapa kali ia menarik napas dan menghembuskannya perlahan. Mencoba menenangkan dirinya, agar rasa sakitnya berkurang. Ketika dirasa dirinya sudah lebih baik. Alle membuka matanya dan memandang Gama dengan raut kecemasan.

Namun tak sengaja matanya malah memandang pada sesuatu yang ... ehmmm membuat rona kemerahan di pipi Alle.

"Dasar mesum!" Alle bergumam kesal sembari mengalihkan pandangannya.

"Hah?!" Gama melongo mendengar ucapan ajaib Alle padanya. Lama ia berfikir dan ketika pandangannya mengikuti arah pandang Alle tadi. Ia melihat miliknya yang saat ini terlihat menonjol tanpa tahu malu diantara kedua kakinya. Sial.

"Aku laki-laki normal, Alle. Ya ... kau tahu kan biasanya 'dia' memang suka bangun di pagi hari. Jadi, jangan salahkan aku. Ini tidak bisa dicegah." Gama menggaruk tengkuknya yang tak gatal sama sekali. Ini adalah alasan paling absurd yang pernah dibuatnya. Memalukan.

Mengernyit jijik mendengar alasan mengada-ngada yang Gama buat, Alle mencoba menganti topik pembicaraan sesegera mungkin.

"Ah...sudahlah! Katakan padaku, apa yang terjadi semalam? Kenapa aku bisa memakai pakaianmu?" tanya Alle saat meneliti tubuhnya yang terbalut jas Gama.

"Kau pingsan karena banyak mengeluarkan darah. Ehm.. dadamu tertembak, untung pelurunya tidak terlalu dalam. Jadi aku bisa memberikan pertolongan pertama untuk menghentikan pendarahannya. Tapi sayangnya, aku harus menghancurkan gaun indahmu itu. Jadi ya..." Gama terdiam, mencoba mencari kata yang tepat agar insiden semalam tidak terlepas dari mulutnya.

Samar-samar Alle memgingat bahwa ia memang merasakan dirinya terkena tembakan saat mereka masih berada di jalan bebas hambatan. Namun ia tidak terlalu memerdulikannya karena dirinya fokus untuk kabur dari para penjahat yang mengejar mereka. Dan ketika mereka akhirnya lolos dan berhenti di hutan ini Alle tidak terlalu mengingat apa yang terjadi selanjutnya. Karena yang ia ingat hanya kegelapan yang langsung melingkupinya.

"Jadi ...," ulang Alle meminta penjelasan. Jemarinya sedikit mengangkat jas tersebut dan melihat keadaan lukanya yang kini telah tertutup rapi dengan perban dan plester. Hanya sedikit bercak darah mengering yang tercetak di perban putih itu.

Gama menelan ludah dan mengambil nafas dalam. "Jadi ... dengan alat seadanya aku mencoba menjahit dan menutup lukamu. Aku terpaksa menggunting tali gaunmu untuk mengobatinya. Karena ...emh posisi lukanya berada di dadamu. Agak ke atas sedikit sih," terang Gama.

"Lalu?"

" Lalu apa? Ya sudah, setelah selesai aku memakaikan jas-ku padamu. Semalam hujan deras dan udaranya dingin. Kalau aku nggak pakein kamu jas itu, kamu bisa terkena hipotermia dengan keadaanmu."

"Kamu nggak ngambil kesempatan kan? Maksudku saat ...ehm. Ah .... Pokoknya nggak ngapa-ngapain lagi kan setelah itu?" Pertanyaan Alle membuat Gama salah tingkah. Sedangkan Alle pun terlihat malu dengan pertanyaan yang diajukannya tadi.

"Nggak..nggak. Suwer kok nggak ngambil kesempatan apa-apa," ucap Gama sambil menunjukan dua jari tanda bersumpah, sedangkan tangannya yang lain disembunyikannya sambil menyilangkan dua jarinya.

Kalau sampai Alle tahu kejadian semalam. Bisa habis aku dicincangnya.

Keduanya sama-sama terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Bagaimana -"

"Sebaiknya -"

Alle dan Gama berbicara bersamaan, menyadari itu keduanya tersenyum. Gama bahkan tertawa kecil menyadari kecanggungan antara mereka.

"Lady's first." Gama mempersilahkan Alle mengutarakan ucapannya terlebih dahulu.

" Sebaiknya kita pergi dari sini. Hari sudah menjelang siang."

"Ah ... ide bagus. Aku nggak tahu sekarang kita berada di mana. Semalam aku mencoba mencari alat komunikasi namun hasilnya nihil. Aku meninggalkan ponselku pada Bram. Dan sepertinya alat komunikasimu juga rusak." Gama menunjuk earphone dan alat lainnya yg teronggok basah di bawah kursi mobil. " Dan sepertinya mobil ini pun sudah tidak layak jalan. Ya Tuhan, ini kan salah satu mobil favoritku dan sekarang sudah menjadi bangkai tak berbentuk." Gama menampilkan ekspresi sedih yang dibuat-buat. Walau dalam hati ia merasa senang karena akan meminta Ayahnya untuk bisa mengganti mobil dengan model keluaran terbaru.

Ah.. otakku memang cerdas.Hilang satu kembali dapat model baru.

Senyum licik akan pikirannya tak bisa ia tahan.

Alle yang melihatnya pun hanya mendengus sebal. Ia menghela napas dan berusaha berfikir mencari jalan keluar.

"Berikan dompetmu!" pinta Alle yang tiba-tiba telah menyodorkan tangannya.

"Dompet? Buat apa?" tanya Gama.

"Sudah berikan saja kepadaku. Ayo cepat ... mana dompetnya?"

Gama mengeluarkan dompet dari kantung celananya dengan wajah bingung. Ia hendak akan memberikannya pada Alle namun urung dilakukannya.

"Cepatlah Gama, kamu mau terus menerus ada disini." Alle dengan cekatan merebut dompet dari tangan Gama tanpa disadari. Gerakannya sangat cepat hingga dirinya hanya bisa melongo melihatnya.

"Mau kamu apain itu dompetnya? Kamu nggak berusaha menguras isinya kan? Lagian buat apa disini nggak ada apa-apa. Nggak guna juga, Le,"ucap Gama memperhatika Alle yang tengah membuka dompetnya.

"Berisik!"pekik Alle.

Alle membuka dompet Gama dan mengeluarkan sebuah kartu mirip ATM namun berwarna hitam pekat dengan logo sebuah perusahaan tempat di mana Alle bekerja. Alle kemudian menekan pada sisi yang berbentuk seperti logo chip pada kartu dan terlihat kartu mengeluarkan kedip pada logo yang Alle tekan tadi.

"Itu apa? Kok bisa ada di dalam dompetku?" tanya Gama heran bercampur bingung.

"Aku yang memasukannya."

"Hah ... kapan?"

"Waktu kamu lagi syuting. Ini alat pelacak yang dibuat khusus oleh perusahaan kami. Bentuknya dibuat mirip seperti kartu ATM agar tidak terlalu mencurigakan. Kalau Gilang langsung menerima sinyal dari kartu inj. Kemungkinan tidak akan lama lagi bantuan akan segera datang," terang Alle yang langsung menyandarkan tubuhnya ke belakang. Jidatnya mengernyit menahan rasa sakit yang semakin menderanya.

"Kamu terlihat pucat,Le. Lukamu terasa sakit lagi kah? Kamu seharusnya meminum obat pereda nyeri segera mungkin. Namun aku nggak punya persediaan di dalam kotak P3K yang aku bawa."

Alle hanya terdiam mendengar ucapan Gama. Rasa sakit yang sedang menderanya membuat ia malas menanggapi obrolan Gama. Titik-titik peluh mulai membasahi tubuh dan keningnya.

Sebuah sapuan lembut di keningnya membuat Alle membuka matanya. Dilihatnya Gama tengah mengelap peluh yang membasahi keningnya dengan tissu. Sikap Gama yang lembut ini membuat Alle tak mampu menutup matanya kembali. Dilihat dari jarak sedekat ini Gama memang luar biasa tampan. Dilihat dari jauh pun Gama memang tampan, tapi dengan jarak sedekat ini Alle dapat melihat jelas mata letih Gama yang kalau ia tidak salah menduga tersirat rasa cemas.

Apakah Gama mencemaskan dirinya? Selama Alle mengenal Gama, pria itu memang punya banyak ekspresi di wajahnya. Berprofesi sebagai artis membuat Alle hafal dengan aneka raut wajah Gama. Namun kali ini Gama terlihat lebih manusiawi. Maksudnya manusiawi layaknya seorang pria sejati.

Gama masih membantu Alle membersihkan keringat yang membasahi kening dan tubuhnya. Sedangkan Alle masih memperhatikan Gama tanpa berkedip.

"Aku sadar kalau wajahku memang tampan. Tapi kamu nggak perlu sampai melihatku sampai nggak berkedip seperti itu. Kalau sampai kamu jatuh cinta sama aku. Aku nggak bakalam nolak kok!" ucap Gama dengan senyum menggoda seperti biasa.

Seketika itu juga wajah Alle berubah merah. Entah karena marah atau malu akibat ucapan Gama padanya.

"Dalam mimpimu saja!" sembur Alle.

Gama terkekeh geli dengan ekspresi Alle yang langsung mengalihkan pandangannya. Rona merah di pipinya membuat Alle semakin menggemaskan.

Cupp..

Tanpa sadar Gama mengecup pipi Alle lembut. Tingkahnya sudah seperti remaja yang sedang mencuri kecupan pada gadis pujaannya. Entah apa yang sedang merasuki otaknya saat ini. Namun saat tadi ia melihat Alle yang malu-malu seperti itu membuat dirinya gemas. Saat menyadari apa yang sudah dilakukannya tadi, seketika dirinya membeku.

Sial ... matilah aku kali ini!

Alle merasakan rasa panas yang menjalar di sekeliling wajahnya. Apa yang Gama lakukan tadi membuat dirinya kehilangan orientasi pikirannya sesaat. Yang ia tahu saat ini wajahnya terasa memanas dan mungkin sudah berwarna seperti kepiting rebus. Jantungnya pun dengan sialnya berdetak lebih cepat dua kali lipat dari biasanya.

Baru akan menyembur Gama dengan kemarahan yang telah ia siapakan di ujung lidahnya malah membuat posisi mereka makin mendekat. Begitu Alle menengok ke arah Gama, hidung keduanya saling bersentuhan. Apa yang hendak Alle katakan menjadi hilang, blank, pikirannya mendadak kosong. Sepertinya Alle salah mengambil gerakan. Harusnya tadi ia langsung saja mendorong wajah Gama atau sekalian saja meninju muka songongnya itu. Bukannya malah saling memandang satu sama lain seperti saat ini. Lama keduanya terdiam dengan posisi tersebut hingga tiba-tiba mereka tersadar bahwa seseorang tengah membuka pintu mobil di belakang Gama.

"Kalian berdua tidak apa-apa?" Suara cemas Gilang memecahkan keheningan keduanya yang otomatis langsung melihat ke arah sumber suara.

Gama bergerak mundur menjauhi Alle dan berdehem, menormalkan tenggorokannya yang tadi tercekat sempurna bagai orang bodoh. " Aku baik-baik saja. Tetapi Alle tertembak dan membutuhkan pertolongan segera," ucapnya singkat seraya bergerak keluar dari dalam mobil.

Gilang bergeser ke samping, memberikan jalan pada Gama untuk keluar dari dalam mobil. Ia lalu memanggil beberapa tim medis yang berada tak jauh dari dirinya untuk melihat keadaan Gama dan Alle. Suasana menjadi ramai karena beberapa bantuan telah datang. Gama dibawa oleh dua orang tim medis ke sebuah ambulans dan mendudukannya pada brankar yang telah disiapkan. Sedangkan Alle dibawa oleh tim medis lainnya ke ambulans yang lain.

Gama memperhatikan Alle yang kini tengah dibaringkan pada brankar dan sedang diberi suntikan oleh seorang tim medis. Gama memberika kode tangan pada tim medis yang tengah memeriksanya dan memberikan obat pada luka lebam di keningnya- yang ia tidak sadari kapan lebam itu terjadi- agar berhenti. Ia lalu turun dan berjalan ke arah Alle yang kini tengah memejamkan matanya.

"Emhh..aku minta maaf," ucap Gama tepat saat berada di samping Alle.

"Untuk ...."sahut Alle tanpa membuka matanya.

"Yang tadi kulakukan, aku hanya reflek tadi. Kamu begitu menggemaskan, jadi..."

"Sudah, lupakan saja. Aku mengerti," potong Alle cepat. Ia tidak mau mengingat kejadian tadi. Rasanya sungguh memalukan. Jadi Alle tetap memejamkan matanya tidak berani melihat Gama secara langsung.

Gama menjadi salah tingkah. Ia bingung harus mengatakan apalagi dengan Alle.

"Alle ... terima kasih," ucap Gama tulus.

Alle hanya mengangguk, tanda ia menerima ucapan tulus Gama. Hatinya terasa berdesir saat mendengar Gama mengucapkan dua kata itu.

"Istirahatlah dengan baik. Semoga lekas sembuh. Jangan buat aku lama menunggu. Rasanya pasti akan sepi karena tidak ada yang bertengkar denganku. Dan jangan merindukanku, ya!" Gama terkekeh dengan ucapannya. Ia sangat suka saat menggoda Alle seperti ini.

"Tidak akan!" sahut Alle namun dirinya ikut tersenyum dengan ucapan Gama tersebut.

Tim medis pun membawa brankar Alle memasuki mobil Ambulans, sedangkan Gama kembali pada mobil ambulans lainnya yang akan membawa pulang dirinya.

*********

"Kau sudah menyiapkan segala yang aku butuhkan?" tanya seorang pria pada anak buahnya yang tengah berdiri di seberang meja di hadapannya.

"Semuanya sudah siap, Bos. Tinggal Bos memberi perintah, kami akan menjalankan rencananya," jawab sang anak buah tersebut.

Smirk penuh kelicikan terulas pada bibir pria tersebut. "Dan bagaimana jadwal pertemuanku dengan Abraham Emery?"

Sang anak buah kembali menunduk, " segalanya telah dipersiapkan. Lusa jadwal Bos untuk bertemu dengan Tuan Abraham. Waktu dan tempatnya akan dikirim melalui sekertarisnya."

"Baiklah ... aku ingin rencana ini tidak kembali gagal. Terus awasi perempuan itu dan jangan sampai ketahuan. Ia terlalu lihai dan ahli dari yang kita perkirakan. Kali ini rencanaku harus berhasil. Gama harus merasakan apa yang dulu pernah aku rasakan." Pria itu menghisap cerutunya dalam dan menghembuskan asapnya dengan kencang.

"Rasa sakit akan kehilangan ...."

To be continued....

Fiuhh .... Akhirnya setelah kehilangan mas ilham beberapa minggu aye balik ini. maafkan ya yang kemaarin udah sebar vote dan komen. menanti kelanjutannya. makasih - makasih buat kalian . ditunggu vote dan komen berikutnya. kali-kali aja dxi part ini ada yang ga nyambung atau rada nyeleneneh .... monggo di kripik eh kritik .... daripada nanti ane kirim valak nih ...heheheheehe

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro