20. DITELANTARKAN
Halo guissss. Senangnya target tercapai. Aku sengaja kasih target supaya pada kompak komen. Jangan minta update doang tapi nggak mau komen wkwkkw. Biar adil gitu gesss hihihi
Udah mulai sekolah offline guys?
Apa yang buat kalian ilfeel sama cowok?
Happy reading!❤️
"Pantesan lo nyuruh ambil aja, ternyata lo pengin diambilin."
"Gue nggak bermaksud gitu, kok. Kalo lo mau ambil tanpa ngambilin gue juga gapapa."
"Bercanda doang, Valerie. Gue juga tau, kok, lo nggak pelit, apalagi sama orang yang bikin lo pengin kayang," sindir Nagara.
"Anjing, lo mulai lagi, ya!" marah Valerie.
Nagara hanya tertawa menanggapinya. Ia mengambil piring kecil berwarna putih di atas kulkas. Kedua kaki berjalan ke arah Valerie, menyodorkan roti itu kepadanya. "Ini rotinya."
"Thanks." Valerie mengambil roti yang diberikan Nagara, memakannya satu gigitan.
"Kalo nggak kuat, jangan dipaksain buat habisin," peringat Nagara.
"Iya."
"Inget, habis ini kita ke desa Tante lo." Nagara mengingatkan.
"Iya, Gara."
Tiba-tiba, suara telepon masuk terdengar dari ponsel Valerie. Ia melihat nama sang Tante di layar benda pipih tersebut. Oleh karena itu, Valerie mengambil ponselnya, mengangkat telepon dari sang Tante.
"Halo, Neng Valerie." Suara tersebut seperti suara pria.
"Maaf, ini siapa, ya? Kok, nelpon pake hape Tante saya?"
"Tante kamu sedang di rumah sakit, tadi beliau diserempet mobil pas mau berangkat ke sekolah."
"Baik, Pak. Rumah sakit yang mana, ya?"
"Rumah Sakit Morena."
"Terima kasih atas infonya, kalau begitu saya ke sana sekarang."
"Hati-hati, Neng."
Bip.
Panggilan itu diputuskan oleh Valerie. Ia seketika menaruh roti di atas piring kecil berwarna putih. Dengan wajah gusar, Valerie berdiri diiringi napas memburu. Ia memasukkan ponsel ke dalam sling bag dekat meja rias.
"Gara, kita harus sekarang ke desa Tante." Valerie memberitahu.
"Tante lo kenapa?" Nagara turut panik ketika melihat raut wajah Valerie.
"Tante gue diserempet mobil...."
Nagara menghela napas kasar. Ada saja ujian yang diberikan oleh Tuhan kepadanya. "Ya ampun... ayo kita ke sana, bawa sarapan lo ke mobil."
"Nanti mobil lo bau roti." Biasanya pasti sda yang tidak suka ada bau makanan di mobilnya, Valerie mengantisipasi hal itu.
"Jangan banyak protes, jugaan cuma roti. Nanti lo kelaparan gimana?" Nagara khawatir Valerie makin stress karena ujian bertubi-tubi menimpa mereka. Ia bukan tipe orang yang sensitif dengan bau makanan, jadi dia santai saja kalau ada yang mau makan di mobilnya.
"Oke, Gara."
Dengan pakaian seadanya, mereka bergegas menuju halaman guna mengendarai mobil yang terparkir di garasi. Di pagi hari, keadaan jalanan menuju desa biasanya tidak macet, semoga saja mereka bisa cepat sampai tanpa halangan apa pun.
***
Setelah satu jam perjalanan, Nagara dan Valerie sampai di rumah sakit dekat desa. Mereka segera menuju resepsionis guna menanyakan di mana ruangan Tantenya karena tadi Valerie lupa bertanya. Seusai diberitahu, mereka segera ke sana dengan langkah terburu-buru.
Sesampainya di depan ruangan yang telah disebutkan, Valerie melihat seorang pria paruh baya berdiam di depan pintu, menunggu kedatangan mereka.
"Tante di mana, Pak?" tanya Valerie.
"Tante kamu ada di dalam, syukurnya hanya luka kecil," jawab sang pria paruh baya.
Nagara tersenyum ramah. "Baik, terima kasih atas informasinya, Pak."
Valerie membuka tuas pintu, perlahan masuk ke sana, disusul oleh Nagara yang berjalan hati-hati. Kedua netra Valerie menangkap keberadaan Tantenya di ruangan.
Syukur saja hanya diperban di lengan, lukanya juga ringan, jadi tidak berdampak besar bagi kondisi kesehatan sang Tante.
"Tante!" Valerie berseru, menghampiri Lina yang duduk di ranjang rumah sakit.
"Valerie, kamu jam segini udah di sini. Udah sempat sarapan?" Sang Tante malah mempedulikan kondisi Valerie di kala kondisinya sedikit rapuh.
"Tadi udah sarapan roti di rumah," balas Valerie.
"Syukurlah," ujar Lina.
"Gimana keadaan Tante?" tanya Valerie dengan tatapan khawatir.
"Puji Tuhan hanya luka kecil." Lina menatap Nagara sekilas, lalu kembali memusatkam atensi ke Valerie. "Ini cowok kamu, ya?"
Valerie melirik Nagara, kemudian ia mengangguk. "Iya, Tante."
"Wah, akhirnya kamu bawa juga pacar kamu ke sini." Lina tersenyum senang.
Nagara berjalan ke depan Lina, melemparkan senyuman ramah pada wanita itu. Ia tak bisa bersalaman dengannya mengingat tangannya kena serempet. "Perkenalkan, saya Nagara, pacarnya Valerie."
"Senang bertemu dengan kamu, Nagara."
"Terima kasih, Tante."
"Tolong jaga Valerie baik-baik, ya, Nak. Jangan pernah sakiti dia, selama ini dia butuh kasih sayang dari keluarga, semoga kamu bisa menyayangi dia sepenuh hati," peringat Lina.
"Siap, Tante. Nagara pasti berusaha berikan yang terbaik buat Valerie." Padahal, Nagara kerap kali menyakiti Valerie secara verbal. Mereka saling menyakiti satu sama lain, namun tak bisa lepas karena sang bayi yang ada di perut Valerie.
Lina tersenyum puas. "Bagus kalo gitu."
Valerie merasa ini saatnya untuk membicarakan perihal kehamilannya. Ia menatap Nagara sekilas, meminta dukungan moril lewat kedua netra. Cowok itu mengangguk, pertanda sudah siap dengan apa pun yang terjadi nantinya.
"Tante, aku sebenarnya mau bawa Tante ke rumah Valerie, soalnya ada sesuatu penting yang mau aku bicarakan setelah kita pulang dari sini. Tapi, mending di rumah Tante, deh, soalnya Tante masih sakit," jelas Valerie. Ia sudah berusaha memilih diksi terbaik agar sang Tante tidak meminta untuk menceritakan tentang kehamilannya di sini.
"Memangnya mau ngomong apa?" Lina penasaran.
"Nanti aja aku bilangnya."
Lina mengangguk. Entah mengapa firasatnya mengatakan bahwa hal yang Valerie ingin sampaikan adalah sesuatu yang buruk. "Baiklah."
***
Valerie dan Nagara sudah memboyong sang Tante ke rumahnya dengan mobil. Mereka membawa Lina pelan-pelan di kursi, seolah wanita itu adalah objek yang mudah ringkih. Setelahnya, Valerie dan Nagara duduk di sofa seberang.
"Sebenarnya kamu mau ngomong tentang apa, Valerie?" tanya Lina.
Lagi, Valerie melirik Nagara untuk meminta dukungan. Sejujurnya, ia tak siap untuk memberitahu info menyakitkan ini, namun harus disampaikan karena cepat atau lambat, semuanya pasti terbongkar. Valerie tak mau kalau wanita itu tahu dari orang lain, apalagi dari tetangganya yang julid.
"Kenapa wajahnya tegang gitu?" Lina memicing curiga.
Satu tarikan napas terdengar, Valerie kini mengungkapkan semuanya, "Maaf, Tante. Valerie hamil...."
Lina awalnya diam, masih mencerna semua ucapan Valerie. Ia mengusak kasar rambutnya diiringi air mata yang menerobos pertahanan kelopak mata. "Astaga, Nak...." Ia menunjuk Nagara. "Cowok itu yang hamilin kamu?"
"Kita waktu itu sama-sama mau, kok, Tante." Valerie harus mengakui agar Nagara tak dituduh merampas haknya.
Lina menghela napas panjang. "Begini kalau sudah terjerumus ke dalam pergaulan bebas. Dari dulu, Tante udah wanti-wanti biar nggak terjebak, apalagi kamu sering main ke club malam. Mending kamu ke sana buat dengerin musik aja, lah ini pake berhubungan segala. Kamu mikir nggak kalau perbuatan yang kamu lakukan bisa berdampak buruk bagi kamu?"
"Maaf, Tante...." Hanya itu yang bisa Valerie sampaikan.
"Tante tidak masalah kalau Tante bakal diejek oleh tetangga karena perbuatan kamu, tapi apa kamu siap dengan gunjingan orang-orang di sini?" tanya Lina.
"Mau nggak mau harus siap," jawab Valerie. Cewek itu sebenarnya malu kalau ketahuan tetangga sebelah yang suka mengejeknya sebagai wanita tidak perawan dan nakal.
"Ya sudah, tanggung sendiri resikonya, Tante nggak mau ikut canpur."
Valerie mencolek tangan Nagara, memberi kode bahwa mereka harus pulang. Nagara mengangguk, kemudian berdiri, diikuti oleh Valerie.
"Baik, yang penting aku udah sampaikan apa yang seharusnya aku sampaikan. Kalau begitu Valerie pamit dulu." Rasanya berat membuat sang Tante kecewa. Ia tahu dirinya salah, tetapi tak seharusnya Lina malah melimpahkan semua kesalahan itu tanpa melindunginya.
Mengapa hanya dirinya yang disuruh menanggung resiko? Ke mana Lina yang selalu membelanya di saat ia susah?
"Kamu nggak bisa gugurin anak itu?" Lina bukannya tak punya hati, ia tak mau Valerie akan menerima gunjingan nantinya.
"Valerie nggak tega...."
"Kamu rupanya masih punya hati. Tante lagi belajar buat nerima keadaan kamu. Untuk saat ini, jangan berkomunikasi dengan Tante dulu, ya?" Lina ingin memberi ruang untuk diri sendiri agar bisa menguatkan diri dan menerima kenyataan bahwa Valerie hamil di luar nikah.
Valerie tersenyum getir. "Iya, Tante. Valerie ngerti, kok."
"Ya sudah, kalau begitu kalian boleh pulang. Kalian boleh menghubungi saya apabila kalian hendak menikah." Mau tak mau, Lina harus cepat-cepat mengusir Valerie sebelum tetangganya datang menanyakan masalah ini.
Nagara mengangguk. "Baik, Tante. Kalau begitu saya pamit dulu."
Lina tersenyum tipis. "Tolong jaga Valerie."
"Siap, Tante."
***
Diperkirakan estimasi waktu menuju rumah Valerie sekitar tiga puluh menit, membuat Nagara merasa bosan. Ia ingin mampir ke minimarket di pinggir jalan, sekalian membeli jajan untuk Valerie.
Keadaan cewek itu kini mengenaskan. Mata sembab, rambut acak-acakan, hidung merah karena kebanyakan menangis. Ia masih tak terima kenyataan kalau sang Tante malah menyuruhnya menggugurkan anak itu serta tak mau bertemu dengannya lagi, kecuali saat pernikahan.
Nagara menengok ke arah Valerie. "Valerie, lo gapapa?"
"Gue bohong kalo bilang gue gapapa," balasnya sembari sesenggukan.
"Mau jalan-jalan dulu nggak?" tawar Nagara.
"Nggak usah, gue pengin di rumah aja," jawab Valerie, lalu mengambil tisu di dekatnya.
"Huft, oke." Nagara berniat menghibur Valerie, oleh karena itu ia mengajak cewek tersebut jalan-jalan, tapi malah ditolak ajakannya.
Setelah itu, mereka kembali fokus dengan kegiatan masing-masing. Otak Nagara seperti benang kusut, sulit meluruskannya kembali karena carut marut kehidupan begitu kejam menghantamnya.
Seketika bohlan kuning muncul di kepalanya. Ia memberhentikan mobil di minimarket pinggir jalan, membuat Valerie menengok ke arahnya.
"Valerie, gue lagi pengin beli es krim. Lo mau ikut ke dalam minimarket, nggak?" Nagara berusaha menghibur Valerie, walaupun otaknya lagi panas.
"Lo nggak ninggalin gue, kan?" Valerie takut jika Nagara akan membuangnya begitu saja seperti sang Tante.
"Enggak, Vale. Makanya gue ngajak lo ke sana." Nagara paham kalau Valerie masih trauma akan kejadian tadi.
Valerie mengangguk. "Oke, gue ikut." Tak peduli apa kata orang saat melihat matanya sembab, yang penting ia bisa mencari angin untuk menyegarkan diri.
Nagara melepas sabuk pengaman, membuka pintu mobil. Ia berjalan ke depan pintu mobil bagian kiri, membuka benda itu untuk Valerie, membuat cewek itu tersenyum tipis. Tak lupa cowok itu mengunci mobil menggunakan kunci otomatis.
Nagara menggandeng tangan cewek itu ke dalam sana, berjalan ke kulkas khusus es krim untuk memilih es krim kesukaannya. Tak lupa ia mengambil keranjang untuk belanja di dekat kasir.
"Oh, iya. Gue baru nyadar, bukannya lo nggak boleh makan es krim, ya?" tanya Valerie.
"Sesekali boleh, kok. Gue jenuh makan makanan sehat terus," tutur Nagara.
Valerie mengangguk paham. "Jangan banyak-banyak makan es krim, nanti stamina lo turun," peringatnya.
Nagara senang kalau Valerie mode cerewet saat mengkhawatirkan kesehatannya. Baru kali ini ia merasa punya hubungan spesial dengan cewek itu mengingat selama ini mereka selalu beradu mulut. "Iya, Valerie."
Nagara mengambil sebuah es krim cookies and cream berbentuk kojong, sedangkan Valerie memilih es krim besar berisi tiga rasa, yaitu rasa vanila, cokelat, dan stroberi.
"Gara, gue pengin snack." Valerie menatap Nagara penuh harap.
"Ambil aja yang lo mau, gue yang bayar, yang penting si baby nggak ileran," terang Nagara.
"Makasih banyak, Gara." Mata Valerie seketika berbinar. Setidaknya, dirinya bisa melupakan sejenak ucapan sang Tante tadi.
Valerie berjalan mengitari rak snack, memilih cemilan asin seperti Rinbee, keripik singkong rasa balado, dan Pringles rasa original. Semua benda itu ia masukkan ke dalam keranjang.
Di sisi lain, Nagara ingin memberi Valerie hiburan, ia tak mau melarang cewek itu untuk mengambil jajanan dengan bebas. Nanti saja ia batasi asupan Valerie, yang penting ia beli dulu.
"Udah?" tanya Nagara.
Valerie mengangguk cepat. "Udah."
Nagara menggenggam tangan Valerie. "Ayo ke kasir."
Anggukan diberikan oleh Valerie. Tangannya ditarik pelan oleh Nagara ke kasir, menaruh semua belanjaan di atas meja.
"Ada tambahan lagi?" tanya sang kasir perempuan.
"Enggak, itu aja," sahut Nagara.
"Atau mau beli roti Mr. Brot sekalian?" Ia bertanya lagi.
"Enggak, Mbak." Nagara masih sabar.
"Ada membernya?"
Nagara menggeleng sembari tersenyum tipis. "Enggak."
"Bertele-tele banget. Mending kita gretongan, ini bayar aja masih ditanya-tanya kayak wartawan," sinis Valerie menatap sebal kasir itu.
"Valerie," tegur Nagara mencubit pelan pinggang cewek itu.
"Sorry, Gara. Gue cuma gregetan, lalalele banget, asu," ketus Valerie.
Sang kasir berusaha sabar. Ia kini memindai barang satu per satu ke mesin pemindai. Setelah selesai, ia mengambil tas berbahan kertas warna cokelat, menaruh belanjaan ke dalam sana.
"Totalnya seratus lima puluh ribu dua ratus rupiah, ya, Kak."
"Bisa pake kartu, Mbak?" tanya Nagara.
"Bisa, Kak Ganteng." Ia tersenyum ramah pada Nagara, membuat Valerie menatap geli wanita itu. "Silakan di sini, ya." Sang kasir menunjuk mesin khusus kartu.
"Oke, Mbak," jawab Nagara.
Setelah Nagara menekan pin di mesin itu, struk keluar dari sana, lalu dicabut oleh sang kasir. Ia memberikannya pada Nagara. "Baik, terima kasih, selamat datang kembali."
Nagara mengangguk. Ia membawa belanjaan itu keluar minimarket, disusul oleh Valerie yang berjalan di belakang. Cowok itu mengeluarkan kunci mobil, menekan tombol untuk membuka akses pintu kendaraan beroda empat. Nagara memasukkan belanjaan ke jok mobil bagian belakang, lalu kembali ke bagian depan.
"Yey, akhirnya beli banyak makanan!" seru Valerie.
"Valerie, lain kali jangan gitu, ya? Kasian mbaknya diketusin sama lo," nasihat Nagara.
Mendengar ucapan Nagara, Valerie kembali sebal. "Lagian, dia lelet banget."
Nagara mulai menjalankan mobilnya. "Walaupun kayak gitu, tetep aja lo harus hargain mbaknya."
"Lo aja nggak pernah hargain gue," ujar Valerie.
"Woi! Barusan gue beliin lo jajan, kurang ngehargain kayak gimana, hah?" Nagara tak suka kesalahannya diungkit terus.
"Maksud gue, biasanya juga lo nggak pernah hargain gue. Mungkin karena hari ini messed up, jadinya lo bantu gue." Valerie ngeles.
"Memang, sih, tapi udah kewajiban gue sebagai calon suami buat lo seneng. Kalo nggak ada anak di perut lo, gue juga nggak mau ngeluarin duit buat lo." Nagara berkata begitu hanya untuk melindungi diri dari kekalahan perdebatan.
"Ya udah, sih, gue juga nggak maksa buat lo nyenengin gue."
"Gue kayaknya serba salah di mata lo. Gue berusaha baik, ada aja kesalahan yang lo cari. Terus, gue harus gimana, anjing?" marah Nagara.
Valerie berdecak sebal. "Gini, nih, ciri-ciri cowok yang nggak bisa menghargai ceweknya, dikatain mulu."
"Terserah lo. Kalo niatnya ngajak ribut, mending lo turun dari mobil gue." Nagara pasrah.
"Oke. Cepet berhenti."
Benar saja, Nagara menghentikan mobilnya di pinggir jalan, berharap bahwa Valerie tak turun sungguhan dari kendaraannya.
"Turun," perintah Nagara.
"Makasih atas pengusirannya, Cowok Setan!" seru Valerie, kemudian turun dari mobil dengan membanting pintu.
Nagara menginjak pedal gas, menjalankan mobil dan meninggalkan Valerie yang ia telantarkan di pinggir jalan.
"Bangsat, gue beneran ditinggal!" omel Valerie.
Ketika ia sedang mengomel, tiba-tiba ada seseorang yang datang menghampirinya.
"Long time no see, Valerie."
——
Kayaknya kalimat "cewek selalu benar" ga berlaku di cerita ini wkwkkw
Yukkk lakukan tradisi readers cinderianaxx dengan cara:
Spam "Nagara" for next chapter
Spam "Valerie" for next chapter
Spam "Nana Cantik" for next chapter
4k komen + 450 vote aku up yaaa
Terima kasih buat yang udah berusaha spam komen. Aku nulis, kalian spam komen. Kita di sini sama2 berjuang bestieee❤️❤️❤️
Semangat yaaaa!!!
Kuy follow ig-ku
@ay.riana
@cinderianaxx (ig khusus wp)
Tbc❤️
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro