
(Tia 04) - Ketemu Dia
DUA hari. Dia membuatku menunggu tanpa kepastian selama dua hari setelah dia tiba-tiba menghilang di tengah permainan. Apa-apaan itu?
Aku tahu, mungkin dia ketiduran malam itu. Sudah larut juga, siapa yang tidak mengantuk? Pengecualian untuk diriku. Tapi! Dia baru terlihat online hari ini!
Sungguh, dia membuatku cemas dan frustrasi sendiri. Pada saat-saat seperti inilah aku berharap kami setidaknya bertukar username Instagram supaya lebih mudah untuk saling menghubungi.
"Ack! Sial." Avatarku tertangkap penjaga. Akibatnya, kami harus mengulang dari titik awal labirin.
ZeroF: payah
ZeroF: kita udh ngulang 10x
Kate(^▽^): ya maap
Kate(^▽^): 6x-nya gara2 elo btw
"Argh! Belum juga ngelawan bos terakhir," keluhku seraya menjatuhkan tubuh ke posisi rebahan.
ZeroF: udh dlu dah
ZeroF: capek gw mau tidur
Kate(^▽^): eh bntar jgn logout dlu
Apa aku tanya sekarang saja?
ZeroF: knp?
Tiba-tiba jantungku mencelus cuma karena melihat balasannya. Padahal itu hanya satu kata yang disingkat habis-habisan, dilengkapi tanda tanya.
Kate(^▽^): gue kepikiran mumpung kita udh satu
Kate(^▽^): provinsi
Kate(^▽^): knp g meet up
Karena chat dalam game ini jumlah katanya dibatasi, aku jadi tidak bisa mengirimnya dalam satu chat super panjang yang sudah seperti paragraf. Aku juga harus memangkas yang tidak perlu-perlu amat. Pesannya jadi kelihatan sangat terus terang. Aku tidak suka itu. Sayangnya tidak bisa ditarik kembali seperti di WhatsApp.
ZeroF: ntar gw pikir2 dlu
ZeroF: dah
Satu menit. Dia butuh waktu selama itu hanya untuk mengetik dua chat yang pendek-pendek begitu? Dan setelahnya dia langsung logout!
Tanpa keluar dari permainan, kulempar HP-ku ke sisi lain kasur, tepatnya dekat kakiku yang terbalut kaus kaki bergaris-garis. Itu respons yang menyebalkan. Tapi, kalau dipikir-pikir, itu wajar. Mana ada orang waras yang langsung mengiakan ajakan kenalan dalam game online untuk bertemu di dunia nyata. Aku juga kalau ditanya begitu akan berpikir seribu kali dan kemungkinan besar akan menolak ajakan itu.
"Haaah ...."
Mungkin ini ide yang buruk. Bagaimana kalau sosok Zero di dunia nyata tidak sesuai ekspetasiku? Bagaimana kalau sebenarnya dia orang yang berbahaya?
"Halah, udah terlanjur nanya baru kepikiran." Aku mengetuk kepala sendiri. "Emang bego."
Yah, sudahlah. Lebih baik aku tidur. Besok ada kelas pagi sampai siang. Setelah itu, aku masih harus membeli cokelat di minimarket untuk event Valentine yang akan diadakan kelasku nanti.
💌💌💌
Kenapa dia ada di sini!?
Dalam hati aku menjerit tidak karuan. Rasanya sungguh sangat sial. Tidak cukup harus bertemu setiap hari di kelas, kami juga bertemu di minimarket. Ya, tidak bisa dibilang bertemu, sih. Hanya aku yang sempat melihatnya dan langsung bersembunyi.
Cowok itu, Farel, orang yang akhir-akhir ini kuhindari. Kenapa? Karena berada di dekatnya membuatku salah tingkah! Ini salahku karena sudah memberi perhatian lebih padanya dan itu lebih dari satu kali.
Kalau saja aku tidak melakukan itu semua, hubungan kami tidak akan jadi secanggung ini. Kami bisa tetap menjalin hubungan simbiosis mutualisme sebagai teman sekelas di kampus. Harusnya cukup sampai situ.
Sekarang karena kebodohanku sendiri, aku malah bersembunyi di antara rak-rak makanan ringan. Sudah seperti penguntit karena sembunyi-sembunyi memperhatikan gerak-geriknya.
Cowok itu, dengan rambut fluffy yang lebih berantakan dari biasa, tampak sedang kebingungan. Dia berdiri sambil bersedekap, memelototi tumpukan cokelat yang beragam mereknya. Mungkin sedang serius menghitung-hitung. Anak kos tidak bisa seenaknya menghamburkan uang, kecuali punya orang tua yang berada atau bahkan kaya raya.
"Anu, Kak."
Seseorang mencolek lenganku, membuatku terlonjak kaget, hampir berteriak. Baru mau marah, tapi tidak jadi. Ternyata ada anak kecil yang ingin mengambil makanan ringan.
"Eh, aku ngalangin, ya. Sori," ucapku terus menyingkir.
Si anak kecil menggeleng, lalu tangannya terangkat menunjuk sesuatu di rak atas. "Aku mau itu tapi nggak sampai. Kakak bisa tolong ambilin?"
Aku mendongak, mendapati keripik kentang yang dikemas dalam kaleng berada di rak paling atas. "Eh ...." Merasa tidak yakin, aku kembali menatap si anak kecil.
Tinggiku sendiri tidak seberapa dan anak kecil ini bahkan belum melewati bahuku. Dari sorot matanya, dia kelihatan sangat, sangat, sangat menginginkan keripik itu.
Aku celingak-celinguk mencari karyawan yang mungkin saja bisa membantu, tapi satu-satunya karyawan yang terlihat sedang sibuk di meja kasir. Ini juga bukan toko besar yang menyediakan tangga lipat.
Saat aku sudah pasrah, hendak meloncat untuk mencoba menggapainya meski tenagaku sudah minim, ada yang datang. Orang itu bukan karyawan minimarket.
"Mau ambil yang mana?" tanya cowok itu, menatap si anak kecil dengan mata sayu.
Si anak kecil melongo bersamaku untuk beberapa detik baru berseru, "Itu!" Tangannya pun terangkat, menunjuk makanan ringan yang dimaksud.
Dengan mudahnya, tanpa kesusahan sedikit pun, Farel mengambil keripik kentang kalengan itu. Dia pun memberikannya pada si anak kecil. "Ini," ucapnya datar.
Si anak kecil tampak amat senang kala menerimanya. Sambil berseri-seri ia berterima kasih, lalu berlari menuju kasir.
Farel pun menoleh padaku. Dia tersenyum miring. "Pendek."
"Hah?"
"Nggak."
Cowok kurang ajar itu pun melangkah pergi begitu saja sebelum aku sempat membuatnya merasakan tinju manisku. Sungguh menyebalkan.
Tapi aku suka.
Sedikit.
💌💌💌
Ternyata kami sama-sama ke minimarket hanya untuk membeli cokelat buat dikumpulkan ke Ketua Kelas. Ternyata lagi, kami sama-sama pulang jalan kaki ke kos-kosan.
"Sori, jaketmu belum bisa aku kembaliin," ucapnya membuka percakapan setelah puluhan langkah dalam hening.
"Gapapa---"
"Soalnya kemarin kena tai burung pas dijemur."
Pipiku berkedut menahan kesal. Diam-diam aku mengatur napas. "Ga---"
"Tapi boong."
"...."
"Kemarin keciprat kuah bakso, jadi mesti dicuci lagi."
"Oh, oke."
Ya Tuhan, tolong berikan hambamu ini kesabaran lebih. Cowok ini sungguh sangat menyebalkan. Aku ingin mendorongnya masuk ke dalam got di samping kami, tapi aku juga tidak tega. Kalau dia kenapa-kenapa, aku juga yang kena.
Saking kesalnya, tanpa sadar aku berceletuk, "Buatmu juga boleh. Toh, aku punya banyak jaket sama hoodie."
Farel terdiam sebentar. Setelah truk besar melaju melewati kami, dia baru menyahut, "Nggak, deh. Jelek. Bekas cewek freak."
"Kau juga freak!"
"Oke."
Bolehkah aku melemparnya ke Segitiga Bermuda? Sejak kapan Farel jadi semenyebalkan ini? Oh, sejak zaman purba.
Setelah itu, tidak ada lagi percakapan yang mengisi perjalanan sampai kami harus pisah jalan di depan Kios Bagadang.
"Dah, tiati nyebrang."
"Iya. Bye."
Begitu aku tiba di depan pintu kos, hendak meraih gagang pintunya, barulah aku tersadar akan sesuatu. Seketika aku mematung seperti orang bodoh. Aku memang bodoh.
Tadi dia menghampiriku dan si anak kecil di minimarket bukan karena menyadari keberadaanku, kan? Farel pasti cuma kebetulan mendengar anak kecil itu meminta bantuan dan melihatku kebingungan. Pasti begitu, kan? Tapi semestinya dia bisa saja mengabaikan---
"Dek?" Seorang kakak tingkat yang tinggal di kamar sebelah menegurku. "Kok matung di situ. Kamu gapapa?"
"Eh?" Aku menoleh gelagapan. "Iya, Kak, gapapa. Permisi, Kak." Buru-buru aku masuk ke kamar, menahan malu. Mana rasa malu ini dua kali lipat karena kejadian di minimarket tadi.
Semoga dia tidak berpikir yang aneh-aneh. Semoga aku tidak dikira menguntit!
[ L O A D I N G . . . . ]
Clou's corner:
Happy anniv---eh, belum genap setahun, ya?
Hehehe halo, aku balik buat namatin cerita singkat ini biar malem-malem ga tiba-tiba kepikiran :P
Agak lupa sama gaya bahasa cerita ini
09-02-2024
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro