Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

(Farel 04) - Perkara Jaket dan Ketemuan

KATE mengajakku ketemuan. Gara-gara ajakannya aku jadi susah tidur tadi malam, padahal lagi capek banget. Mana hari ini ada presentasi sama harus jawab pertanyaan-pertanyaan anak kelas yang sebagiannya di luar nalar. Sengaja banget biar kelompok kami kesusahan.

"Baiklah. Sekian dari kami ...."

Usai menjawab pertanyaan terakhir, kepalaku langsung blank. Volume suara di sekitar menurun drastis. Seperti zombie aku berjalan kembali ke tempat duduk mengikuti teman-teman sekelompok. Dalam perjalanan singkat itu, lagi-lagi mataku memindai seisi ruang kelas.

Dia benaran tidak masuk hari ini. Apa sekarang giliran dia yang demam? Cewek freak itu.

Tidak ada kabar di grup WA. Mana mungkin aku bertanya di chat pribadi, apalagi menanyakan kabarnya pada orang lain. Bisa-bisa mereka salah paham dan menjadikannya bahan ejekan.

Ah, sial. Padahal aku ingin menyuruhnya menunggu di depan Kios Bagadang nanti biar aku bisa mengembalikan jaketnya. Semakin lama jaket itu ada di kamar kosanku, semakin gelisah aku jadinya. Kenapa aku gelisah? Karena itu bukan barang milikku, hanya dipinjamkan. Oleh seorang cewek.

Sepertinya ada yang terbalik di sini.

Apa pun itu, aku harus mengembalikannya hari ini. Mungkin aku harus menelan gengsi terus langsung saja mengirim chat pribadi. Lagian, aku punya alasan, yaitu ingin mengembalikan jaketnya. Sama sekali bukan perhatian apalagi khawatir karena dia tidak masuk hari ini. Amit-amit.

"Oh, iya." Gara-gara kepikiran soal jaket itu melulu ditambah soal ajakan Kate, aku hampir lupa harus mengumpulkan cokelat buat event Valentine.

Memindai seisi ruangan, Ketua Kelas sudah tidak ada. Harusnya dia belum pergi jauh. Buru-buru aku memikul tas sambil berjalan cepat keluar kelas. Setibanya di lorong, aku celingak-celinguk mencari keberadaan makhluk menyebalkan satu itu. Dia sudah berada di ujung pendopo, hendak pergi ke parkiran motor.

"Ei, Ketua Kelas!" Aku berlari menyusulnya. Melelahkan. Jompo sekali badan ini, padahal baru kepala dua.

Cewek itu, Ketua Kelas, berhenti sekitar lima langkah dari area parkiran. Awalnya dia kelihatan kesal, tapi langsung tersenyum jahil begitu sadar kalau aku yang memanggilnya.

"Eh, Farel. Ada apaan?" dia bertanya begitu aku menyusul.

"Mau ngumpulin coklat buat Valentine," ucapku sambil merogoh tas. "Tadi hampir lupa. Kayaknya udah mau meleleh, sori."

Dia menerimanya sambil mengembuskan napas pendek. "Niat dikit kek. Minimal dibungkus pake kertas kado yang dari warung itu."

Aku kembali membenarkan posisi tas yang tersampir di bahu. "Pemborosan kertas sama duit."

Ketua Kelas mengulang kalimatku dengan suara menyebalkan sambil menggerakkan jemari tangannya seperti mulut bebek. Lalu, sembari menyimpan cokelatku ke dalam totebag-nya, dia berkata, "Tapi iya, ya. Toh, buat dikasih ke orang random di kelas. Kalau buat Tiara pasti lebih effort."

"Apaan dah."

Dia cekikikan sendiri. Senang sekali menggodaku soal si cewek freak. "Ngomong-ngomong, Tiara nggak masuk karna ketiduran. Pas bangun udah telat banget, jadi keknya dia lanjut tidur," ujarnya sebelum pergi ke parkiran, menghampiri motor matic berwarna hitam-biru.

Menyebalkan. Tapi dalam hati aku berterima kasih atas informasinya yang sangat bermanfaat. Dengan begini aku tidak perlu khawatir---eh. Kok khawatir?

🍫🍫🍫

Di perjalanan pulang dari kampus, tiba-tiba aku ingat soal dia yang pernah memberiku jajanannya hari itu saat aku terkunci di luar kosan. Juga soal Chunky Bar yang dia berikan waktu mengantar buku paket. Biar cepat sembuh, begitu katanya waktu itu.

Kenapa memikirkan tindakan sederhana itu membuatku geli? Maksudku, bukan tindakannya yang menggelikan. Justru itu manis, tapi rasanya ada yang menggelitik perutku.

"Mau beli apa?" tanya seorang bocah ingusan yang sedang menggantikan ibunya menjaga jualan.

Ya, bukannya berbelok masuk ke kosan, aku malah jalan terus sampai ke tempat penjual kue basah. Setelah menimang-nimang sebentar, aku menunjuk kue bulat berwarna putih yang dibalut parutan kelapa. "Beli onde-onde harga lima ribu."

Dengan sigap si bocah mengambil kantong plastik dengan tangan kiri dan pencapit dengan tangan kanan. Dia pun memasukkan empat kue tersebut ke dalam plastik. Saat dia baru mau meletakkan pencapit, aku kepikiran ingin sesuatu untuk diriku sendiri.

"Oh, sama yang gabin fla harga lima ribu juga," ucapku menunjuk kue tersebut yang piringnya bersebelahan dengan piring berisi onde-onde dalam lemari kaca. "Dipisah."

Kudengar bocah itu mendengkus pelan, tapi dia tetap mengambilkannya. Pelanggan adalah raja.

Sambil menunggu, aku sudah memberanikan diri untuk mengirim chat pada si Tiara itu. Dia tidak membalasnya. Centang satu.

Masa aku harus bertamu ke kosan dia. Itu kan kosan khusus anak cewek. Kalo ketahuan sama anak kelas atau siapa pun, pasti bakal jadi bahan cie-cie sampai wisuda.

"Ini kuenya." Bocah itu menyodorkan dua kantong plastik.

Aku menukarnya dengan selembar uang berwarna ungu, lalu melangkah pergi, tak lupa mengucapkan terima kasih. Sementara berjalan, aku menyempatkan diri untuk mengecek HP.

Masih centang satu. Parah. Sudah terlambat bangun sampai tidak masuk kelas, malah tidur lagi. Dasar.

Jadi teringat seseorang yang punya insomnia.

Sesampainya di depan Kios Bagadang, berteduh dari terik matahari, aku mencoba meneleponnya. Telepon dengan pulsa karena sudah jelas dia tidak menyalakan data seluler.

Satu kali ... tidak diangkat. Satu kali lagi ... tidak diangkat.

"Itu cewek apa kebo, sih?"

Lima panggilan kemudian, barulah muncul batang hidung cewek freak itu. Rambutnya awut-awutan, mukanya kusut khas orang baru bangun tidur, untung tidak kelihatan ada bekas air liur. Dia memakai celana pendek setengah paha dan hoodie kebesaran yang kelihatan lusuh karena sudah lama dipakai, tapi modelnya bagus. Lucu, temanya kelinci. Tiara banget.

"Ada perlu apaan? Ganggu orang aja. Udah enak banget bisa tidur," keluhnya terus menguap lebar-lebar.

Mataku terpaku pada sendal yang dipakainya. Model kelinci juga. Itu bukan sendal luar ruangan. Kurasa jiwanya masih setengah mengambang.

"Cuma mau balikin ini. Makasih udah pinjemin waktu itu." Kuberikan jaket varsity yang sudah dicuci bersih (sampai dua kali) dan terlipat rapi. Agak ragu, tapi aku juga menyodorkan kantong plastik berisi onde-onde, berkata, "Sama ini. Buat ganti es krim mochi sama Chunky Bar-nya."

Tiara menerima keduanya. Melongo seperti orang bodoh selama hampir setengah menit, barulah dia bersuara, "Hah?"

Sialan, jantungku menggila gara-gara dia. Telingaku juga memanas. Buru-buru aku memalingkan wajah seraya melempar langkah menjauh. "Udah, lanjut tidur sana! Kebo."

Saat aku hendak menyeberang jalan, kudengar dia berseru, "Siapa yang kebo!" Lalu dilanjut dengan gerutuan yang tidak bisa kudengar dari kejauhan.

Ekspresiku jadi tidak karuan. Kenapa begini? Aku mengelap wajah dengan kasar, berharap bisa menghapus perasaan aneh yang tiba-tiba muncul. Setelah merasa lebih tenang, aku membuka pintu kosan dan melangkah masuk.

"Cie, yang habis ketemu gebetan."

Sontak aku menoleh ke bangku dekat pintu. Itu si Juan yang kayaknya baru sampai entah dari mana. Dia mengenakan jaket yang biasa dipakainya saat berkendara, bertopang pada helm yang diletakkan di samping. Cengirannya lebih menyebalkan dari biasa.

"Gebetan apaan. Itu temen sekelas doang," ucapku sambil menutup pintu.

"Ya, ya. Temen sekelas rasa pacar."

Seperti yang biasa kulakukan saat ada yang mengejek atau menggoda, aku mengabaikannya. Dengan langkah cepat aku menaiki anak tangga dan berderap ke kamar.

Aku menyibukkan diri hingga malam tiba, berusaha mengusir jauh-jauh perasaan aneh tadi dan pemikiran soal si Tiara itu. Sampai sakit kepala aku berkutat dengan tugas-tugas yang deadline-nya masih lama, tahu-tahu sudah hampir jam sembilan dan aku belum makan nasi.

Sementara mengambil nasi dan lauk yang sudah dingin, aku melirik HP yang tergeletak di atas kasur.

Kate.

Aku belum memberikan jawaban atas ajakannya. Ya, kalau saja dia mengajak saat aku sedang tidak pusing memikirkan presentasi tadi, sudah langsung aku jawab.

Apa jawabanku? Tentu saja iya.

Dulu sekali aku memang membuat persetujuan agar hubungan pertemanan kami hanya terbatas di dalam game. Alasannya sederhana dan masuk akal. Aku tidak ingin privasiku diganggu orang asing yang kutemui dalam game. Ada banyak sekali kasus juga drama menyangkut kenalan dalam game dan aku tidak ingin itu. Hidupku sudah cukup memusingkan dengan drama keluarga. Aku tidak butuh drama lain.

Membawa piring berisi nasi dan ikan goreng yang disaus pun kangkung tumis, aku duduk di atas karpet, di samping kasur. Kuraih HP-ku setelah menyuap nasi dan lauk ke dalam mulut. Aku login ke Ioran Online sambil mengunyah.

Sudah lama aku mengenal sosok Kate dalam game. Kurasa dia orang baik-baik. Lucu juga.

Tidak. Aku tidak sedang terbutakan oleh rasa suka. Dia memang orang baik-baik. Tidak ada salahnya mencoba bertemu.

Kate tidak melupakanku, dengan sabar menunggu selama sepuluh bulan. Tiap bulannya dia mengirim surat, bukan berusaha melacakku di dunia nyata. Setelah aku kembali, dia masih semangat mengajakku bermain seakan-akan aku tidak pernah menghilang.

Itu sudah cukup buat bukti kalau dia orang baik-baik, kan? Tidak ada salahnya bertemu dan nongkrong di dunia nyata.

"Lah, tumben."

Hari ini dia belum on. Karena tidak pasti dia akan login malam ini atau tidak, aku mengirim surat saja. Setelah mematikan HP, barulah aku sadar kalau dari tadi aku senyam-senyum sendiri.

[ L O A D I N G . . . . ]


Clou's corner:
Weeeeee!

09-02-2024

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro