Konde
Mari bicara tentang kenyataan, bukan bicara tentang omong kosong yang hanya angan.
.
.
.
Pernikahan sejatinya adalah suatu hubungan yang sakral. Menikah bukanlah hal yang harus mengerti akan siap atau tidaknya seseorang, mencoba untuk memaksakan bersama, walau akhirnya akan berpisah. Bukan hal yang patut untuk dibuat permainan. Pernikahan yang sakral dan nyata ini adalah bentuk saling terikatnya antara perempuan dan lelaki. Menikahkan kedua keluarga yang berbeda latar dan sikap, bukanlah hal yang mudah.
Handaru mengatur napasnya yang memburu. Dia baru saja menjalani olahraga pagi ini di sekitar apartemen miliknya. Merenggangkan otot yang tegang, dia berjalan dengan santai menuju area pedagang kaki lima.
"Pak, buburnya satu ya, nggak pedas," ucap Handaru. Dia mencari tempat duduk dekat pohon.
"Pak, buburnya dua, yang satu gak pakai bubur, yang satu bawang gorengnya yang banyak." Handaru memandang gadis muda yang baru saja duduk.
"Nggak pakai bubur? Terus makannya pakai apa, Neng?" tanya si penjual bubur.
"Eh, maksudnya nggak pakai sambal, Pak." Gadis itu tertawa bersama temannya.
Mereka berdua duduk di dekat Handaru. Candy, ya, gadis muda itu bernama Candy. Barista kopi di kafe miliknya. Handaru berdiri dan memilih duduk di depan Candy. Dapat dia lihat bagaimana ekspresi Candy yang tercengang melihatnya.
"Bapak?"
"Saya bukan bapak kamu, Can!" Candy hanya diam tak menjawabnya. "Kamu lagi apa?"
Bapak penjual bubur itu mengantarkan pesanan mereka masing-masing. Candy mengangkat mangkuk berisi bubur itu di depan Handaru. Pertanyaan terbodoh bagi Handaru. Jelas sekali jika Candy menikmati sarapan pagi, bukan untuk menggulung kabel listrik atau apapun itu. Bodoh.
"Rumah kamu bukan di sini, 'kan?"
"Memangnya Bapak tahu rumah saya?" Handaru menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Dia salah tingkah.
"Rumah kamu di mana?" pertanyaan itu berhasil keluar dari bibir Handaru.
"Nggak saya bawa, Pak. Dia masih ditempatnya."
***
"Itu tadi sapa? Kenapa bisa kenal elo?" cecar Celline.
Sepulang dari warung bubur tadi, dia banyak diam. Tidak bergairah untuk bercerita tanpa arah bersama Celline. Candy hanya diam dan menatap malas ke arah Celline yang ingin tahu.
"Dia Handaru Kamandaka. Si duda yang gue ceritain ke elo sama Arka." Celline mengangguk.
"Kalau lo suka sama dia? Kenapa nggak ngobrol?" tanya Celline kembali. Entah hari apa ini, Celline terlihat mudah menerima jawaban Candy tanpa bertanya ulang.
"Dia ... nolak gue. Dia nggak mau jalin hubungan apapun itu." Candy menghela napas panjang. Berat sekali kisahnya saat ini.
Celline menepuk bahu Candy, dia hafal bagaimana Candy yang periang, tiba-tiba menjadi murung. Aduh, rasanya aneh sekali. Bagaikan langit mendung yang tiba-tiba muncul dan hilang tergantikan oleh hujan. Wajahnya yang terlihat buteknya ampun-ampunan, kini semakin butek.
"Betewe Can, itu yang buat elo galau beberapa hari?" Candy mengangguk. "Sampai elo nggak mandi tiga hari?"
"Gue mandi kok," sanggahnya.
"Kapan? Gue nggak liat elo mandi." Celline kembali beradu argumen.
"Gue mandi bola."
"Ya lord. Mandi bola itu bukan mandi, permen lollipop!" kesal Celline. "Otak sama akhlak lo ke mana sih, Can? Mandi bola itu permainan."
"Sama aja, yang penting judulnya mandi, 'kan?"
"Terserah elo deh, jangan deket sama gue. Social distancing!"
Candy yang berkeringat itu berlari memeluk Celline. Dia ingin membuat Celline marah hari ini. Mengerjai Celline itu seru.
"Candy jorok!"
***
D
i sinilah Candy berada, dia harus rela berada di salon. Menghela napas berkali-kali lipat. Dia meminta tolong kepada Celline untuk menemani dirinya ke salon. Pagi ini Handaru menelpon untuk memintanya bertemu dengan ibunya.
"Ibu saya itu perfeksionis. Dia suka perempuan yang memakai kebaya dan rambut yang disanggul, pokoknya ibu saya menyukai perempuan Jawa. Cuma kamu yang bisa saya mintai tolong. Kamu pura-pura jadi calon istri saya."
Bodoh sekali Candy menerimanya. Celline hanya tertawa berkali-kali melihat wajahnya yang berubah. Tiba-tiba perempuan penjaga salon itu membawa mahkota beserta bunga melati. Candy menatap horor si mbak itu.
"Saya cuma mau sewa kebaya, Mbak, bukan jadi kloningan nyai ratu kidul!" Candy melotot ke arah si mbak itu tanpa dosa.
Celline tak berhenti tertawa. Dia benar-benar mendapat tontonan lawak yang nyata. Candy yang joroknya ampun-ampunan, kini bersih dan cantik.
"Berisik! Udah buruan Can, kita telat ke restorannya." Celline menarik Candy menuju halte bus.
Pandangan orang-orang tentang Candy tentunya beragam. Jarik batik itu dia angkat sampai lutut, sandal berhak tahu, rambut disanggul dan kain panjang berwarna merah menglung manis di lehernya.
"Mbaknya mau karnaval di mana?" Salah satu pertanyaan itu berhasil membuat Candy gondok.
Mereka menaiki angkutan umum, yang lajunya mengebut bak Rosi. Candy berdoa agar sanggul yang dia kenakan tidak rusak. Konde ini jangan sampai jatuh.
Dua puluh menit mereka berdua datang di restoran yang di tuju oleh Handaru. Celline menyemprotkan parfum agar bau keringat Candy hilang. Mereka berdua masuk, karena syal yang dipakai Candy itu panjang, kainnya terjebak di pintu dan menyebabkan leher Candy seperti dicekik.
"Celline, tolong!" Celline berlari dan menolong Candy.
Mereka berjalan menuju tempat Handaru menunggu. Sekali lagi rintangan muncul, Candy tersandung sebuah kaki dan menyebabkan jalannya terseok, akibatnya konde yang dia kenakan tadi hampir lepas, kini terlepas dan menggelinding tepat di mata kaki ibunya Handaru.
"Konde siapa ini?"
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro