Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Valentine; Mari Berpisah

Suatu sore yang mendung. Di hari yang ke-91 kami pacaran, aku mengajaknya ke kafe taman. Mungkin itu suatu kejutan besar baginya karena tiba-tiba aku yang berinisiatif meneleponnya bahkan mengajaknya makan bersama. Tak henti-hentinya dia menanyakan ada momen apa sampai aku mengajaknya di luar kebiasaan.

'Ada apa? Bukankah kamu ulang tahunnya bulan Mei?' tanya Senpai Ian pada saat aku memastikan kesanggupannya untuk datang.

"Pokoknya ada, Pei." sahutku seolah ingin bermain teka-teki.

'Kamu ingin merayakan valentine bersamaku?' Satu pertanyaan tidak terduga menggugah sadar, membuat mataku melihat ke arah kalender. Hari ini tanggal 14 Februari ternyata. Apakah aku telah memilih tanggal? Aku juga tidak menyangka Senpai Ian peduli pada hal yang kuanggap tidak penting itu.

Perasaan bersalah kembali menghinggapi. Tentu saja selamanya aku tidak mau terus terkurung perasaan tidak nyaman, dari keadaan berpura-pura peduli padanya melebihi dari hubungan pertemanan.

"Aku tunggu di kafe LA jam tiga." ucapku tidak menanggapi pertanyaannya. Aku tidak mau membuatnya seperti telah dilambungkan untuk kemudian ditenggelamkan. Apalagi melalui sambungan telepon.

'Aku jemput kamu.' ujarnya.

"Aku langsung dari kampus. Kita langsung ketemuan di sana aja." tolakku.

'Kalau gitu, aku jemput ke kampusmu.'

"Jangan!" tolakku terdengar gusar cenderung kasar. Tetapi aku segera mengubah intonasi ucapanku pada dalih berikutnya. "Aku bawa motor sendiri, kan. Aku nggak mau meninggalkan motorku di kampus terlalu lama. Terlalu beresiko." Napas kuhembuskan perlahan sekaligus untuk meredam gundah.

'Ya udah, tapi jangan marah dong!' balasnya. 'Apapun katamu akan kuturuti.'

Duh, kenapa aku menjadi pacar yang seolah suka mengatur pasangananya. Hubungan ini sungguh tidak sehat.

"Jangan telat!" tandasku ingin segera mengakhiri percakapan yang bisa membuatku terus-terusan merasa tercekik dan sesak napas.

'Baik Tuan Putri.' balas Senpai Ian yang kutebak sedang tersenyum mengembang.

Rasa bersalah kembali mengganduli kaki saat akan melangkah ke tempat pertemuan terjanjikan. Setelah meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja, mantap aku masuk pelataran kafe.

Sejenak celingukan mencari tempat yang enak buat mengobrol. Sampai ada seseorang yang memanggil. Senpai Ian tampak sudah menunggu di bangku luar café dengan atap pepohonan yang rindang.

"Mau pesan apa?" tawarku setelah berbasa-basi tentang berapa lama dia telah menanti.

"Terserah kamu saja!"

"Aku mau sandwich, kamu?"

"Boleh juga."

"Minumnya, jus apel mau?"

"Yap!" sahutnya mantap. "Air mineral satu." imbuhnya.

"Sebentar ya?" aku beranjak ke meja pemesanan.

"Sini, biar aku saja!" Senpai Ian merebut kertas pemesanan.

"Hari ini aku yang traktir, lho." ucapku mempertahankan kertas pemesanan, karena model kafe LA memesan sekalian bayar.

"Tenang, nanti kamu bisa ganti ke aku. Jangan dibuat sulit." ujarnya melepaskan senyuman maut. "Lagian di sana mengantri sekali, aku nggak mau tuan putriku lelah berdiri."

Seharusnya aku melumer, kan? Seharusnya aku sudah terbang ke awang-awang. Atau setidaknya memberikan senyuman paling menawan. Tetapi yang keluar dari mulutku justru senyum mirip cengir kesakitan. Sungguh aku justru merasa sakit terus menerima kebaikannya itu. Sungguh aku malah semakin terkubur dalam lumpur penyesalan.

"Sudah duduklah yang manis, sandwich sama jus apel, kan?"

Dia lalu segera melaju ke meja pemesanan. Sepuluh menit kemudian dia sudah kembali di hadapanku.

"Nih, bonnya. Tinggal ganti ke aku."

Aku meraih kertas bon yang tergeletak di meja. Lalu mengambil dompet dari tas.

"Itu nanti saja, jangan transaksi di sini." bisiknya lalu merebut bukti pembayaran dari tanganku. "Ada perayaan apa?" tanya Senpai Ian. "Apa ini hari perayaan hari jadi kita yang ke sembilan puluh satu?" ucapnya membuatku takjub ternyata dia mengingat hal itu.

Benar tiga bulan kami baru jadian. Ibarat sepasang kekasih yang sama-sama sedang dimabuk cinta ini terasa seperti sedang menikmati mendoan panas dengan cabai juga segelas kopi. Tetapi hubungan kami tidak bisa diibaratkan dengan mendoan dan kopi. Hubungan kami lebih tepat terdefinisikan sebagai mendoan dan kolesterol.

"Bukan," sahutku cepat. "Ada hal lain yang ingin kukatakan."

"Katakan saja. Aku siap mendengar."

"Pei, bagaimana kita berteman saja." ucapku datar langsung ke pokok pembicaraan. Kupikir lebih cepat lebih baik.

"Apa?" Senpai Ian terperangah.

"Kita putus saja, mari kita cukup menjadi teman atau pasangan kejuaraan embu saja. Mari kita banyak mendulang medali kemenangan bersama."

Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Dia hanya menatap, memandangku dalam sejuta pertanyaan.

"Aku sungguh tidak bisa begini terus, Pei."

"Apa kamu menderita setelah jadian denganku, apa aku telah memaksakan cintamu?Atau kata-kataku ada yang menyinggungmu?" buru Senpai Ian dengan mata yang menelaah diriku.

"Bukan. A-aku.... Ini sebuah kesalahan Pei, mungkin aku telah memanfaatkan Senpai Ian sebagai tempat pelarian."

"Aku tidak keberatan kamu memanfaatkan aku atau menjadikanku tempat pelarian. Aku malah senang, itu artinya kamu masih menganggapku ada. Tolong kita jangan putus." Senpai Ian terdengar merengek. Membuatku ingin segera melarikan diri dari tempat itu. Tak sanggup rasanya melihat seseorang tampak menderita karena ucapanku.

Apa ini? Apakah aku sedang melakukan balas dendam? Balas dendam secara acak pada pria yang mengajakku kencan kemudian mencampakkan, sama seperti seseorang di masa lalu.

Aku menggeleng. Kalau memang aku sejahat itu. Kenapa hatiku merasa sakit saat mengatakannya. Akan tetapi, ini juga harus diakhiri sebelum Senpai Ian terlampau berharap kepadaku.

"Maaf Pei, aku ingin kita sebagai kawan saja. Tidak saling mengikat. Senpai berhak bahagia bersama wanita yang mencintai dengan tulus."

Pesanan datang saat kami sedang menegang terdiam. Masih dalam sunyi kami melahab makanan meski tak berselera. Senpai Ian terlihat enggan menghabiskan sandwich-nya.

"Kenapa kamu enggak memberiku kesempatan lebih lama agar aku bisa menyembuhkan hatimu yang pernah terluka?" ucap Senpai Ian serupa keluhan.

Dia menatapku sekilas lalu menunduk lagi. Aku tergugu tidak bisa berkomentar atau menjawabnya meski dalam bahasa tubuh.

"Baiklah kita putus." katanya lirih dan terdengar kelu. Bersamaan dengan itu hujan mengguyur dengan deras. Kami berdua berlari ke tempat teduh di emper kafe. Bagian dalam kafe saat itu kebetulan penuh.

"Yah, basah!" Dia tersenyum melihatku. Kemudian dia merogoh saku celana dan menyapukan sapu tangannya ke mukaku. Eiits, aku mengelak.

"Oh, maaf!" katanya. "Pakai ini, keringkan mukamu." lanjutnya menyodorkan sapu tangannya. "Kering dan masih bersih. Tadi baru aku ambil dari lemari."

Aku menerimanya ragu-ragu. Dan sejak saat itu keinginanku untuk tetap menjadi pasangan kejuaraan embu tinggal kenangan. PON yang menjadi target kami pada tahun ini gagal setelah kami tidak bisa mendapat nilai maksimal saat penyelenggaraan Pra PON.

Senpai Ian memang terlihat biasa dan berusaha bersikap professional. Tetapi aku, aku yang telah menyakiti hatinya tidak bisa serta merta menutup mata atas bekas luka yang telah kutimpakan untuknya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro