Undangan Pernikahan Itu Tiba
Sebuah video dengan backsound musik lagu Surat Cinta Untuk Starla berulang-ulang kuputar. Video itu menampilkan Senpai Ian mengenakan kemeja putih slim fit dan celana hitam hitam bersabuk, tampak melangkah bak peragawan ke sebuah ruangan serba putih. Rambutnya tersisir rapi, wajahnya juga terlihat bersih bercahaya. Saat melihatnya sungguh membuatku terpana.
Ketika dia sudah tiba di tengah ruang, dia membalik badan menatap layar besar yang menampilkan guliran foto dirinya dan Senpai Grisel. Bermula saat masih menjadi kenshi hingga menjadi senpai yang melatih.
Tak lama seorang wanita dengan gaun putih satin melenggang dengan senyum mengembang. Melihat kedatangan wanita itu, Senpai Ian menoleh memalingkan tubuh serta mengulurkan tangannya. Tepat saat lagu terjeda, dan Virgoun mendendangkan syair; aku pernah berpikir tentang hidupku tanpa ada dirimu. Rangkaian lirik itu tepat sekali dengan Senpai Ian menyambut tangan Senpai Grisel.
Keduanya bertatapan penuh arti hingga pada untaian syair; ... tetap cantik rambut panjangmu meski tak hitam lagi .... Kemudian setelah itu keduanya menatap layar besar dengan posisi tangan bergandengan. Sementara di layar telah menampilkan tulisan hari akad dan resepsi pernikahan mereka.
Seketika hatiku terasa hilang. Aku bahkan merasa tidak lagi menapak di bumi. Tubuh yang ada, kupikir tinggal selongsong kepompong yang kosong. Entah ke mana larinya kupu-kupu cantikku.
Mereka menikah? Aku menonton sekali lagi undangan itu meski jiwaku rasanya telah melayang-layang ke udara bingung saat ingin pulang ke rumah raga. Memastikan bahwa video itu bukan undangan melainkan video klip dari lagu yang dinyanyikan oleh Virgoun.
Sejenak aku tertegun. Terngiang tentang lagu sahdu tersebut. Bukankah lagu itu yang selalu Senpai Ian perdengarkan untukku saat kami sedang jalan berdua. Kenapa lagu itu menjadi backsound undangan pernikahan dia dengan Senpai Grisel?
Apa dia sengaja ingin menusukku secara lembut? Kupikir dia telah berhasil membuat sebuah lubang di dada sebelah kiriku. Meski pengirim undangan itu bukan Senpai Ian melainkan Senpai Grisel. Malahan di bawah kiriman video itu Senpai Grisel menekankan bahwa aku harus datang.
Dia juga bilang ingin berfoto bersama dengan semua kenshi dojo tempat kami biasa berlatih. Duh, aku sungguh dalam masalah besar.
Aku mendesah untuk menghilangkan sebah yang menekan jiwa raga. Kepalaku lalu memaling pada kalender yang tersemat tepat di tembok sebelah kanan.
Masih satu minggu lagi. Tepatnya malam minggu berikutnya. Sepertinya hari itu aku sibuk, aku tak bisa datang ke acara mereka.
Aku sadar alasanku tadi hanya dalih.
Ya Tuhan, apa ini?
Bukankah aku dulu yang menolak dan mencampakkannya. Lalu kenapa ketika dia hendak bersanding dengan wanita lain aku merasa terkhianati.
Apa ini suatu pertanda bahwa sebenarnya aku dulu mulai menyukainya, tetapi aku mengabaikannya? Bukankah hatiku sudah beku karena seseorang yang pernah begitu aku puja tega mengkhianati.
Mataku benar-benar buta oleh ketampanan pria terpuja kala itu beserta gemerlap yang mengelilingi pria idamanku dulu. Sekarang, apa yang kudapat? Buah penyesalan yang berjatuhan dan kupunguti dengan pilu.
Erli mengetuk pintu kamar. Tak lama kemudian kamarku telah terbuka. Dia memang selalu begitu bila hendak masuk kamar atau sekadar melongok ke dalam. Dia tahu aku tidak pernah mengunci pintu kamar.
"Lagunya menghanyutkan banget," komentar Erli langsung.
Aku segera mematikan video undangan itu.
"Kok dimatiin?" Erli memanyunkan mulutnya. Dia telah masuk dan duduk di ranjangku.
"Itu tadi video undangan temanku." ucapku meletakkan ponsel atau tepatnya melemparkannya ke kasur. Di antara aku dan Erli.
"Boleh aku lihat?" Erli tersenyum ingin tahu video tersebut.
Aku mengangguk. Erli tanpa ragu sudah mengambil ponselku dan membuka bagian galeri.
"Yang ini, kan?" Erli menunjuk satu kotakan pada sudut kiri paling atas untuk memastikan.
Aku mengangguk lagi. Setelahnya suara Virgoun telah menggema di kamarku yang berukuran 4 x 4 meter, di mana posisi ranjang menepi jendela yang menjadi ruang jeda antara aku dan Erli. Sebuah lemari pakaian dari material plastik berdiri menantang kami berdua. Lalu di sebelahnya terdapat meja kecil yang di atasnya terdapat foto aku dan Senpai Ian saat menjadi juara pertama dalam kejuaraan kempo tingkat provinsi. Di sebelah foto itu terdapat kranjang mungil tempat alat riasku yang terdiri dari bedak tabur, sunscreen, lipgloss dan deodorant bentuk sachet.
Warna biru dari cat kamarku makin membuat lagu Surat Cinta Untuk Starla terasa menemukan ruhnya. Berbeda denganku yang justru kehilangan ruh itu sendiri.
"Gagah, euy, cowoknya. Yang temanmu yang siapa?"
"Dua-duanya," sahutku lesu.
"Wah, ceweknya cantik bet," Erli berdecak. "Pasangan yang serasi sekali," Erli memaling padaku seolah meminta persetujuan.
Aku mengangguk lemah.
"Kenapa?" Erli menatap curiga padaku.
"Nggak pa-pa,"
"Kamu terlihat mau hujan." ujar Erli yang selalu lebay dalam mengumpamakan sesuatu.
Aku mendesah. "Menurutmu, aku perlu datang tidak ya, ke pernikahan mereka?" Aku meminta pendapat Erli.
"Harus datang dong, lagian enggak di luar kota. Kenapa mesti enggak datang?"
"Begitu ya?" tanggapku. "Tapi sesungguhnya aku malu."
"Kenapa?" desak Erli.
"Ada kenangan buruk antara aku dengan calon pengantin pria." ucapku terang-terangan.
"Seberapa buruk?"
"Aku dan calon mempelai pria pernah pacaran."
"Itu sangat tidak baik." balas Erli menatapku tajam.
"Jadi aku sebaiknya datang atau tidak?" aku sangat ingin tahu ulasan dari Erli.
"Berarti ceweknya tahu kamu pernah jadian calonnya?"
Gelengan lemah berhasil mengerutkan bagian tengah wajah Erli. "Kok bisa?"
"Aku meminta syarat pada Senpai Ian agar hubungan kami dirahasiakan dari kenshi dan senpai lain."
"Begitu?" tanggap Erli mulai menimbang hal seharusnya aku lakukan. "Sepertinya aman, bagimu untuk datang."
"Tetapi hatiku yang tidak aman." sambarku segera.
"Apa ada sesuatu yang belum dan perlu aku ketahui?"
Sebuah desahan aku lontarkan sebagai jawaban atas pertanyaan Erli.
***
Resah! Dua hari ini mendadak pula aku tidak nafsu makan. Undangan pernikahan itu sukses membuatku remuk redam tak karuan. Seharusnya aku tak boleh begini. Apa hakku untuk sedih, marah, kesal dan mungkin terbakar api cemburu?
"Mbak Shaula, ada apa?" sapa Pak Talim membuatku kaget. Dia mendapati aku yang tengah jongkok tanpa melakukan apapun di depan teras rumah. "Tuh kan, melamun."
"Ayo Pak, saya bantu menurunkan sampah." kataku segera untuk mengalihkan perhatian. Tidak ada salahnya melakukan aktivitas yang lebih berat agar pikiran teralihkan.
"Tidak usah Mbak." tolak Pak Talim.
Tetapi tanganku telah mengambil buntalan kantung besar yang berada di gerobak motor Tossa Pak Talim. Mengangkutnya lalu meletakkan pada kumpulan sampah yang belum tersortir.
Selanjutnya aku membantu Pak Talim secara sukarela memilah sampah.
"Dari pada gabut, Pak. Saya juga belum dapat banyak barang rongsokan." sahutku yang setelah mendapat undangan itu jadi malas gerak mencari sampah.
Aku lalu mulai bekerja memisahkan antara botol plastik dan plastik. Akan tetapi melakukan aktivitas yang monoton, membuat pikiranku kembali melayang ke mana-mana. Bahkan aku mulai menghitung antara datang dan tidak ke pernikahan Senpai Ian, dengan menggunakan perantara sampah. Kalau aku menemukan sampah botol plastik aku akan menyeburkan kata datang, kalau menemukan sampah plastik aku akan mendesis tidak datang.
"Mbak, kok sampah botol plastik di campur sama yang plastik!" tegur Pak Talim membuatku menghentikan deruan antara datang dengan tidak datang.
"Lho?" aku sama sekali tidak menyadari. "Maaf Pak." jawabku meringis.
Aku mendengus frustasi; benar-benar parah!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro