Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Mabuk di Selokan

"Jurus langkah seribu bayangan." ujarku lirih mengangguk pada Alde, dengan sudut mata mengawasi lawan yang masih mengepung kami. "Pada hitungan ketiga ya," aku memberi arahan.

"Apa?" tanya Alde masih tidak mengerti.

Belum lagi aku sempat menjawab kebingungannya, salah seorang dari mereka bersuara.

"Hei, kalian berdua menyerah aja!" kata orang yang mengenakan kemeja hitam dengan tatanan rambut kelimis. "Terlebih kamu, Alde. Aku cuma mau kamu bersedia tanda tangan di atas meterai untukku. Dan juga serahkan mobil pajeromu. Kamu tahu, kamu nggak berhak atas mobil itu. Gampang aja, kan. Kamu juga nggak perlu babak belur."

Aku manggut-manggut setuju. Tetapi ketika Alde buka mulut, semuanya menjadi sangat mungkin kami tetap akan merapal jurus pamungkasku.

"Nggak akan! Aku nggak akan menyerahkan mobil itu, atau tanda tangan." balas Alde yang memberiku sedikit informasi bahwa Alde seorang yang keras hatinya entah keras kepala.

"Bajingan!" sumpah serapah dari si rambut kelimis terdengar. "Kamu mau merampas semua yang kami miliki, hah?"

"Kamu merampok dia?" bisikku pada Alde mengambil kesimpulan segera.

Alde menoleh padaku dengan pandangan sengit, tetapi dengan segera menyahuti ucapan orang yang sedari tadi bicara.

"Aku hanya mengambil sedikit, kenapa kamu terus mengungkitnya?"

"Sedikit, katamu? Cuih!" Pria kelimis itu meludah dan mendarat di sepatu salah satu pengikutnya.

Sumpah aku ingin tertawa. Tetapi kutahan sangat. Apalagi, pria plontos yang sepatunya kejatuhan ludah dari bosnya itu, kupikir dia itu bosnya, tampak jijik berusaha membuang air liur dari sepatunya dengan cara mengetuk-ketukkan ujung sepatu.

Saat bibirku mulai mengembang, aku berusaha menutupinya dengan punggung tangan serta berdeham. Tidak mau terlihat sedang menertawakan kemalangan orang.

"Kamu nggak sadar, udah mencuri banyak hal dariku?" Hempasan napas kasar terdengar. "Terlalu. Kamu punya otak nggak, sih? Apa hatimu juga terbuat dari batu. Sama seperti perempuan sundal itu."

"Tutup mulutmu!" teriak Alde yang terasa memekakan telingaku. Bagaimanapun, posisi kami berpunggungan saling melindungi satu sama lain, membuat jarak antara mulut Alde dengan telingaku sangat dekat ketika dia menoleh pada si Pria Kelimis.

"Duh," desisku sambil menepuk telinga beberapa kali.

"Kamu tidak pantas berkata kasar pada wanita yang sudah banyak berjasa untukku." lanjut Alde.

Satu kesimpulan kudapat; wanita itu bisa jadi pacar Alde atau malah istrinya. Terus hubungannya sama laki-laki kelimis itu apa? Kenapa justru dia terlihat sangat membencinya.

"Berjasa katamu. Dia tidak ubahnya seperti duri dalam daging bagi kami." sembur Pria Kelimis tersenyum mengejek.

"Sebaiknya kamu jangan mengusik keberadaan kami di sini." ucap Alde berusaha tenang. "Kami udah menyingkir jauh kemari. Saranku, kalian segera enyah dari sini atau aku laporkan pada polisi atas tindak kekerasan yang telah kalian lakukan. Kemarin aku memang bungkam, tapi setelah ini, kalau kamu masih bertindak keterlaluan aku tidak akan tinggal diam."

"Laporkan aja. Itu kalau kamu masih hidup pada detik berikutnya." Bersamaan dengan ucapan Pria Kelimis, orang-orang bawahannya segera melangkah maju seiring kode tangan yang dia gerakkan.

Aku kembali memasang kuda-kuda waspada setelah tadi sempat mengendorkan pertahanan, dalam rangka mencerna setiap percakapan yang terlontar dari mulut Alde dan si Pria Kelimis.

Meski demikian, aku masih belum paham apa yang sebenarnya mereka perselisihkan. Masa iya, cuma perkara rebutan mobil Pajero? Ataukah orang-orang ini debt collector yang menagih hutang pada Alde dengan jaminan mobil itu. Terus hubungan sama wanita yang tersebutkan tadi apa?

Ah, tahu ah!

Yang jelas mereka berlima tanpa pria kelimis sudah mulai menyerang untuk meringkus kami. Jurus kempoku kembali beraksi. Bertahan dan menyerang. Sekilas aku bisa melihat Alde menyerang musuh dengan cara membabi buta. Dari gerakannya aku bisa tahu, Alde sama sekali tidak punya keterampilan ilmu bela diri. Asal pukul lawan, sehingga tidak mampu melumpuhkan penyerang sekali hajar.

Terpaksa aku membantunya menangani mereka sambil berpikir cara terbaik untuk merapal jurus langkah seribu bayangan. Aku memutar pandangan memetakan area sekitar. Jalanan yang sepi, kanan jalan lembahan curam, sementara kiri jalan areal persawahan. Oke, aku akan ambil jalan ke sana.

Saat semua sedang meregang kesakitan aku langsung memberi kode pada Alde. "SEKARANG! LARI!" seruku tertahan.

Alde terlihat bengong saat aku menoleh ke belakang. Sambil berlari mundur aku memanggilnya supaya mengikutiku. Agak terlambat sih, karena Pria Kelimis berhasil memburunya. Tetapi tendangan brutal Alde berhasil menghempaskannya.

Lalu raungan keras dari Pria Kelimis mengudara menyuruh anak buahnya agar bangkit mengejar. Aku makin mempercepat putaran langkah kaki menuju arah kebalikan dari datangnya mobil kami. Alde sendiri masih berusaha menyamai laju kakiku.

Sesekali aku menoleh ke belakang. Melihat situasi yang makin gawat, selanjutnya aku memilih rute lari melewati kebun kosong dan masuk ke area pemukiman penduduk yang lumayan padat. Kami berlari dari gang ke gang.

Dua pengejar masih berhasil mendeteksi kami. Yang tadi terlihat mengejar pakai mobil, tahu nasibnya!

"Ayo, cepat!" seruku pada Alde yang sudah terlihat kepayahan. Sebenarnya aku pun tidak kalah terengah-engah, tetapi ada spirit lain yang memaksaku untuk terus berlari.

"Aku capek!" balas Alde.

Aku sempat melihat beberapa orang tampak heran dengan aksi lari-lari kami. Malah ada yang iseng bertanya dan tak sempat kami jawab karena terlalu berkonsentrasi pada ayunan kaki.

Pada belokan selanjutnya kami merasa aman. Setidaknya radar mata kami tak menangkap para pengejar. Huuahhh... akhirnya bisa mengambil napas sejenak. Kami berdiri di atas jembatan kecil. Sekeliling berupa kebun kosong.

"Bagus. Mereka tertinggal." ujarku tersengal-sengal.

"Hah, itu mereka!" tunjuk Alde yang mukanya tampak membiru. Di ujung tikungan yang merupakan perempatan dan masih terdapat rumah warga, orang-orang yang memburu Alde terlihat celingukan.

"Sini!" aku menarik tangan Alde untuk terjun ke sungai yang memiliki lebar kurang lebih dua meter melalui penampang jembatan.

"Ah!" desah Alde saat pantatnya mendarat ke dasar sungai yang dangkal berlumpur. "Duh, bau lagi." keluhnya kemudian.

Bagaimana tidak bau kalau warna airnya saja terlihat kekuningan bersemu hitam pada dasarnya. Belum lagi ornamen berbagai sampah plastik. Sungguh rasanya ingin memunguti sampah itu. Tetapi situasinya sedang tidak memungkinkan.

Kami berdua jongkok merapat dinding tepi bawah jembatan. Setidaknya di situ ada bagian tanah kering yang bisa dipijak. Puncak musim kemarau membuat sungai menyisakan area yang tidak teraliri air.

"Ssst...." bisikku. "Mereka sudah melihat kita belum?"

Alde menggeleng tidak yakin.

Aku menghempas napas pelan. Tetapi kemudian jari telunjukku sudah terangkat ke depan mulut. Sebagai tanda agar Alde tidak membuat suara apapun. Aku kemudian berusaha menajamkan pendengaran guna memastikan adakah derap langkah yang mendekat.

Setelah beberapa menit terdiam. Terdengar debam langkah rapat di atas kepala kami yang jaraknya hanya satu jengkal. Jari telunjukku masih betah menggantung di depan mulut. Alde sendiri membekam mulut dan hidungnya. Sepertinya dia sungguh tidak tahan dengan bau sungai yang tercemar.

Debam langkah kaki terdengar menjauh. Akan tetapi aku masih merasa belum aman. Aku memberi isyarat pada Alde agar bertahan sebentar lagi. Tidak lucu, kan. Begitu kami keluar, ternyata mereka sedang menunggu di atas jembatan.

"Ah, aku nggak tahan!" Alde secara tidak terduga tunggang langgang merayap keluar.

"Eh, tunggu!" buruku tapi tidak sampai keluar dari gorong-gorong jembatan.

Tetapi kelihatannya Alde tidak peduli jika tertangkap mata oleh mereka. Dia lebih tidak suka bau sungai yang sering jadi tempat pembuangan sampah tercepat, terhemat serta terpraktis menurut versi orang-orang yang tidak peduli lingkungan, ketimbang berhadapan dengan para pengejarnya.

Aku mengintip keluar memastikan keadaan aman. Sementara itu Alde sudah muntah-muntah di penampang tepian sungai yang rimbun oleh rerumputan.

"Sudah begini, kamu masih tidak mau cerita yang sebenarnya?" ujarku yang sudah berdiri berkacak pinggang di belakang Alde yang masih membungkuk memuntahkan angin.

Habisnya gara-gara cowok ini aku jadi ikutan bermain kejar-kejaran dan petak umpet. Pakai acara kotor lagi. Bonus dia sendiri mabuk bau selokan. Untungnya aku sudah kebal dengan bau-bauan semacam itu. Imbas sering bercumbu dengan tumpukan sampah.

Alde terbatuk lalu menoleh ke arahku. Gerak selanjutnya dia menjatuhkan diri, menggelosor, membiarkan kakinya seolah ingin menggapai air yang telah ternoda.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro