Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Harga Nyawa Memang Tidak Sebanding dengan Harga Tas Mewah

"Kamu bawa kacamata hitam?" tanyaku setelah Alde mengangguk dan menjawab atas pertanyaanku mengenai mobil yang kutabrak dulu. Alde bilang itu mobil mamanya.

"Ada di mobil. Buat apa?" sahut Alde terlihat bingung.

"Coba kamu pakai." perintahku seenaknya.

Aku sungguh penasaran ingin memastikan apakah orang yang waktu itu juga Alde. Bagaimanapun aku tidak mungkin lupa pada plat mobil yang telah semena-mena menggelindingkan sampah ke jalan. Termasuk orangnya. Masa iya, aku tidak mengenali Alde sebagai pelakunya. Lalu kupikir kalau dia melakukan reka ulang mirip kejadian kala itu mungkin aku bisa kembali mengingat pria yang bagiku dulu tampak angkuh.

"Sebaiknya jangan, nanti kamu bisa terpesona padaku." kata Alde terkekeh menolak permintaanku. "Daripada itu, gimana kalau kamu masuk." Jempol Alde terangkat menunjuk ke arah belakang di atas bahunya dengan posisi terbalik ke bawah.

"Buat apa?" Giliranku yang menolak.

Mau apa coba aku masuk ke sana? Apa dia mau membelikan aku tas? Tanganku mengibas-kibas akibat pikiran yang menghalu. Itu nggak mungkin, kan?

"Ini toko mamaku." jawab Alde santai melakukan gerakan jempol menunjuk terbalik seperti sebelumnya.

Nah, kan?

Namun demikian, aku sudah menganga. Mataku segera memindai toko megah itu dari atas hingga bawah.

"Ayo!" ajak Alde dengan menggunakan kepalanya.

"Nggak usah!" tolakku cepat.

Alde memaling tertegun. Sementara itu pikiranku sekarang justru telah mengira pastilah permintaan Alde ini karena ingin melakukan promosi, lalu menyuruhku membeli barang satu biji untuk melarisi dagangan mamanya.

"Lain kali saja. Aku masih ada pekerjaan." sambungku menguntai alasan. Tidak mungkin bilang aku tidak punya uang.

"Mamaku katanya ingin bilang sesuatu sama kamu." kata Alde mematahkan penolakanku. "Tepatnya mau mengucapkan rasa terima kasihnya secara resmi."

"Eh, itu nggak perlu." Tanganku mengibas-kibas di depan dada dengan ritme cepat.

"Ayolah, sebentar aja." bujuk Alde.

Aku menimbang sejenak. "Oke, cuma sebentar ya." balasku berubah pikiran. Lagi pula ini akan menjadi kesempatan bagiku melihat ke dalam toko tas mewah itu. Meski cuma sekilas.

Alde tersenyum puas lalu melangkah memimpin jalan menuju pintu toko. Bahkan Alde membukakan pintu toko untukku seolah aku ini tamu yang agung.

"Makasih," ucapku pada Alde sebelum terpana menyaksikan tas-tas beraneka warna dan bentuk yang terpampang sangat jelas di depan mata.

"Tunggu, aku panggilkan mamaku dulu." kata Alde yang kemudian terus melangkah ke arah kasir yang lurus dengan pintu masuk. Di belakang meja kasir terdapat sebuah pintu berwarna ungu yang Alde masuki.

Mataku mulai berkeliaran ke mana-mana, beberapa orang tampak masyuk memilih-milih tas sesuai selera. Ada yang mencobanya, ada yang melihat banderol harganya, ada pula yang meneliti setiap inci tasnya.

Kertas dinding warna putih dengan corak bunga kecil berwarna ungu memberi kesan bersih, anggun dan elegan. Rak tempel ambalan dari kaca menempel pada setiap dinding hingga menjulang, menampakkan tas-tas yang seperti sedang melayang.

Sementara itu, rak yang berdiri di tengah ruangan berbaris rapi tidak saling berhadap-hadapan. Berbeda dari penataan rak pajang barang dagangan pada umumnya. Yang mencengangkan penampang rak pajang tersebut juga terbuat dari kaca. Sempat terpikir bagaimana kalau kacanya nanti pecah.

Sembari menunggu aku puaskan melihat satu persatu tas yang terpajang. Kesempatan seperti ini tidak mungkin datang dua kali. Yah, tidak ada salahnya sesekali melihat tas merek mahal meski beberapa kali harus menelan ludah ketika mengintip banderol harganya.

"Shaula!" Suara lembut dari seorang wanita memalingkanku ke arah sumbernya.

Aku segera ikut menghampiri untuk salim pada Mamanya Alde.

"Alde itu sungguh keterlaluan, masa dia tidak punya nomor WA Shaula. Padahal saya sungguh ingin berterima kasih secara resmi karena sudah dua kali menyelamatkan nyawa anak bandel saya." cerocos Mamanya Alde seperti renteten gerbong kereta yang lewat. "Pas saya suruh ke rumah kamu untuk menjemputmu katanya juga belum ada waktu. Padahal dia tidak sibuk-sibuk amat." Wanita yang masih terlihat muda itu menoleh pada Alde yang berdiri di belakangnya. "Ngomong-ngomong kalian ketemu di mana?"

"Di depan." sahutku yang semula hanya mengutas senyum sambil mengangguk-angguk seperti boneka angguk.

"Kebetulan sekali," ujarnya. "Memangnya kamu mau ke toko saya juga?"

"Bukan. Saya habis kuliah, lalu jalan-jalan sambil mencari botol plastik dan yang lain." ucapku terus terang.

Mama Alde mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian matanya telah mengedar ke sekitar dengan senyum lebar.

"Baiklah, mumpung kamu di sini. Silakan ambil tas yang kamu suka."

"Eh, tapi Bu." Aku cukup kaget dengan tawaran Mamanya Alde. "Saya tidak ada uang," lanjutku meringis terpaksa berterus terang daripada ditodong langsung untuk membeli.

"Bukan begitu. Saya mau kasih kamu tas sebagai rasa terima kasih saya sama kamu. Memang harga nyawa Alde tidak sebanding harga tas yang ada di sini. Tapi, hanya ini yang bisa saya berikan sama kamu." ucap Mamanya Alde sambil menyeretku untuk merapat pada rak pajang yang terdekat. "Silakan pilih yang sesuai dengan seleramu. Jangan sungkan."

"Tapi Bu," Aku memandang Mamanya Alde setengah tidak percaya. Ada perasaan tidak enak juga. Lagi pula aku merasa tidak cocok dengan tas yang mahal-mahal itu.

"Saya tidak tahu tas kesukaanmu seperti apa. Makanya saya ingin kamu yang memilih sendiri. Tadinya memang mau saya kirim langsung ke rumahmu. Lalu saya pikir, kalau tas itu tidak sesuai dengan seleramu, jadi mubazir, kan? Kamu pasti tidak mau memakainya." Mamanya Alde lalu memandangku yang masih terlihat bingung. "Atau gini aja, biar kamu merasa nyaman, anggaplah kamu sedang saya kontrak untuk promosi ke teman-teman kuliahmu."

"Promosi?" Aku termangu. Apakah ini akan berhasil?

"Baiklah, mari sini!" Mama Alde telah menyeretku ke sisi sebelah kanan deretan tas yang modelnya lebih mengarah ke anak muda. Beberapa bahkan berbentuk rangsel imut yang lucu. "Bagaimana kalau ini?" Mama Alde menunjukkan satu tas berbentuk seperti trapesium yang pendek dengan hiasan gantungan kunci berjumbai-jumbai.

Aku meraih tas itu. Mengintip harganya ternyata mencapai tiga ratus ribu lalu menggeleng pelan.

"Tidak suka ya?" Mama Alde telah menggerak-gerakkan tangannya di antara deretan tas yang lain. "Kalau ini?" Sebuah tas berbentuk hampir bulat berwarna pink ditunjukkan padaku. "Ini multi fungsi bisa jadi tas selempang dan tas punggung."

Mama Alde menyampirkan tas itu yang membentuk selempang ke bahuku. "Cantik, lho." katanya tersenyum memastikan bahwa aku mau mengambilnya.

Seperti biasa, aku melihat ke arah banderol harga. Kali ini aku malah hampir pingsan. Harga tas itu lebih mahal dari yang ditunjukkan sebelumnya. Nominalnya lima ratus ribu lebih. Tentu saja, aku menolaknya. Aku sama sekali tidak mau melunjak, mentang-mentang mau diberi tas gratis lalu memilih tas dengan harga yang mahal. Meski Mama Alde yang memilihkan, tetap saja aku harus tahu diri.

"Wah, yang seperti apa ya tas kesukaanmu." Mama Alde mengedarkan pandangannya kembali. Dia kemudian berjalan seperti sedang menari-nari pada deretan tas lain.

Saat aku mengikuti langkahnya, tepat lurus di depan, pada rak pajang yang menempel dinding, mataku menumbuk satu tas yang menurutku terasa unik. Tanganku bergerak menjamahnya. Mengamati dengan saksama tak lupa memindai harganya. Dan yang menyenangkan adalah, harga tas itu tidak membuatku merasa tercekik. Harga dua ratus ribu sepanjang pengamatan tadi menjadi harga tas termurah di toko Pasha. Kurasa tas tersebut cocok sebagai hadiah untuk seorang Shaula.

"Itu seperti kamu," Suara Alde secara tidak terduga terdengar sangat dekat mengomentari tas yang sedang kupegang dengan erat.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro