Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Useless - 4

Part 4

Tanpa menunggu detik menjadi menit, jemarinya dengan tangkas membalas pesan yang baru saja selesai dibacanya. Masih sambil tersenyum. Masih belum berhenti tersenyum.

Gor Resenda. Kenapa?

►Main yuk, bosen nih di rumah.

Yuk, di mana?

►Kafe Yonza?

Oke. Buruan!

Grinaria Sasha, lebih akrab dipanggil Sasha. Baru-baru ini ia menggali hobi baru. Selain hobi menulis-seperti puisi, pantun, dan cerita-sejak duduk di bangku SD, ia juga baru bergabung dengan dunia renang. Bahkan, ia terjaring dalam klub renang pilihan, Fifown. Ya, satu klub dengan Yazi.

Ini adalah impiannya sejak pertama kali ia mengenal Yazi.

Yazi?

Kenapa ia harus berharap pada Yazi? Memangnya tidak ada laki-laki lain yang jauh lebih baik? Mengapa harus Yazi? Bukahkah ia sudah tahu sendiri bagaimana sikap lelaki tadi? Mungkin benar kata orang jika cinta itu buta dan tuli.

Sasha lahir dari keluarga yang sederhana. Rumahnya hanya berlantai satu. Tidak banyak barang elektronik selain televisi, kipas angin, magic jar, dan juga kulkas. Juga tiga ponsel untuk perorangan. Jika menginginkan sesuatu pun harus pergi dulu ke luar. Hanya memiliki dua sepeda motor dan satu sepeda ontel.

Salah satu sepeda motor-yang biasa digunakannya ke sekolah-masih belum lunas. Bahkan baru dua kali angsuran yang jumlah keseluruhan harus lunas dalam waktu setahun. Ayah Sasha bekerja sebagai supervisor. Sedangkan Ibunya hanya mengurus rumah tangga. Menyiapkan ini dan itu untuk keluarganya.

Sasha bersekolah di SMA Bahari, sekolah favorit kedua setelah SMA Adiguna. Ia mengambil jurusan MIA sesuai kemauan orang tuanya. Ia berusaha yakin jika apa pun yang dipilihkan orang tua, akan mendapatkan hal yang baik pula. Ya, walaupun tidak semua.

Tetap saja ada rintangan yang menghadang. Seperti tugas-tugas yang berhamburan, jadwal ulangan yang bertaburan, dan spechless dengan kelakuan teman-temannya yang sangat individualis.

Tak ketinggalan pula dengan bagaimana setiap individu itu bisa menyikapi dengan baik. Bahkan sugesti pun juga cukup berpengaruh terhadap hal apa yang akan terjadi. Sasha sudah pernah membuktikannya sendiri.

***

Kebisingan terdengar nyata di ruangan berukuran sedang ini. Meja-meja di sana dibanjiri beragam orang, juga makanan dan minuman di atasnya. Sebagian dari mereka ada yang sibuk bercakap-cakap. Sisanya asyik menikmati makanan dan ada pula yang melangsungkan kedua aktivitas secara bersamaan maupun bergantian.

Tidak ketinggalan dengan para pelayan yang lengkap dengan seragam kerja. Mereka berjalan mondar-mandir membawa nampan berisi beragam makanan juga minuman. Ada pula yang mencatat, melaporkan, dan mengambil pesanan.

Kafe Yonza selalu menjadi tempat favorit bagi muda-mudi masa kini termasuk Sasha dan juga Izana Tarisa, yang juga atlet renang. Hanya saja gadis itu selalu minta dipanggil Iza-daripada Zana-lebih dulu bergabung dengan klub renang. Jauh sebelum Sasha turut bergabung. Tidak salah lagi, ini adalah tahun kelimanya bergabung dengan tim tersebut.

Meski rumah Sasha dan Iza terpaut jauh, namun tidak jarang keduanya bertemu pada suatu waktu. Iza mengambil jurusan IIS (Ilmu-Ilmu Sosial) di SMA Adiguna. Di sekolah yang sama dengan Yazi. MIA lebih banyak tugas, rumus bejibun dan ngitung sampai botak, males aku, begitu alasannya mengapa memilih jurusan IIS.

Mereka biasa menghabiskan waktu dengan mengobrolkan berbagai topik. Sesuatu yang juga membuat mereka lupa 'jalan pulang'. Terlebih lagi nuansa kafe Yonza sangat mendukung dengan gaya arsitektur bangunan Jepang. Kotatsu dan juga hotpot siap menemani.

Meski gaya restoran ala Jepang, namun harga makanan dan minuman cukup terjangkau. Terlebih lagi ada paket khusus untuk pelajar. Tidak heran jika kafe ini selalu dibanjiri pelajar sejak sore hingga malam.

"Sha, kamu ngapain di GOR? Sama siapa? Berapa lama?" tanya Iza. Kemudian bertumpu pada kedua tangan di atas meja. Gadis berambut-sebahu-sedikit pirang itu selalu bersepatu kets. Ia bahkan tidak pernah absen dengan sepatunya acap kali pergi ke mana-mana. Tubuhnya tinggi dan sedikit lebih berisi daripada Sasha.

Gaya tomboi-lengan baju yang dilipat dan juga sering memakai jaket berpenutup kepala-tidak pernah ditinggalkannya. Apalagi didukung dengan suaranya yang serak. Dan sekarang, jaket berwarna hitam dengan penutup kepala sedang digunakannya.

"Kepo!" celetuk Sasha singkat seraya menarik penutup kepala Iza ke depan, lalu tersenyum girang.

Nggak semua hal harus diceritakan, Za, hehe. Ada baiknya hal itu perlu disimpan sendiri dalam hati. Sampai suatu saat ketika semuanya terasa tepat, maka semua orang juga akan tahu, gumam Sasha senyum-senyum sendiri.

"Kan, kan, jail banget!" cibir Iza seraya menghalau tangan Sasha. "Hmm gini sekarang? Oke aku pu-"

"Silakan," sela Sasha kemudian menjulurkan lidahnya.

"Pu ... esan minum Mas, Mbak," sambung Iza cepat-cepat seraya melambai-lambaikan tangan ke arah pelayan. Sasha tersenyum geli. Ia merasa heran dengan Iza yang paling bisa saja.

Sasha menggeleng-geleng melihat tingkah Iza. "Paling bisa deh ngeles." Gadis tomboi itu selalu bisa menyediakan beribu alasan untuk mengalihkan maksud yang sebenarnya.

Iza bertopang dagu menggunakan tangan kiri. "Sama siapa sih?" Lagi-lagi Iza melontarkan pertanyaan yang sama. Raut wajahnya terlihat serius. Seolah memaksa Sasha untuk mengatakan yang sejujur-jujurnya. Ia tidak suka dibuat penasaran. Iza tidak mau mati penasaran. Semuanya harus jelas-sejelas-jelasnya.

Sasha menopang dagunya dengan kedua tangan. "Yazi," jawab Sasha seraya tersenyum manis. Seolah tidak ragu dan malu untuk menyebutkan nama itu. Seakan semuanya akan baik-baik saja seandainya semua orang tahu seperti apa Yazi dan bagaimana dengan fisik Sasha sendiri yang jauh dari kata sempurna.

"Ya ... zi?" ulang Iza dengan ragu-ragu. Keningnya mendadak berkerut setelah mendengar jawaban dari temannya. Merasa tidak percaya jika Sasha akan pergi bersama Yazi. Bahkan selama berkedip, alisnya juga masih bertautan. Sasha hanya mengangkat kedua alisnya dengan cepat dan senyumnya masih terjaga.

Iza menurunkan tangan kiri dan berganti dengan mencondongkan badannya. "Jadi, kamu beneran suka sama Ya-" Sasha buru-buru membungkam mulut Iza. Tidak bisa dibayangkan bagaimana jika ia menyimpan rahasia besar. Mungkin dalam hitungan detik, semuanya terbongkar.

"Bisa diem nggak? Lihat tuh! Jadi dilihatin, kan! Ih!" Mata mereka melirik ke segala penjuru. Dan benar, semua orang di kafe ini sedang melihat ke arah mereka. Mulai dari tatapan heran, sinis, bahkan sampai membunuh.

"Maaf," ujar Sasha sambil tersipu malu. Iza berusaha melepaskan tangan Sasha yang menyulitkannya berbicara. Setelah berhasil lepas, Iza tersenyum ramah pada semua orang. Padahal dengan sikap seperti itu, Iza semakin membuat Sasha malu.

Tidak lama kemudian pelayan menghampiri dan segera mencatat apa saja yang dipesan oleh Iza, si jago makan. Untungnya ia juga berolahraga. Jika tidak, tidak bisa dibayangkan seberapa besar tubuhnya.

***


Kotatsu : Meja kecil dan rendah dengan penghangat kaki.

Hotpot : Plat pemanas yang diletakkan diatas meja dan langsung disajikan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro