Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1. Penyelamatan Berakhir Lamaran

Berangkat ke masjid dengan semangat empat-lima, dan pulang seperti nenek renta usia sembilan-lima. Itulah aku. Ya ... maklum. Ini hari kedua belas pembiasaan diri untuk rajin ke masjid demi menghapus dosa—agar kembali ke fitrah sehingga bisa setara dengan ustaz Fatih.

Sembari berjalan, sambil telapak tangan membekap mulut. Ini padahal baru isya, tetapi kantuk sudah menyerang begitu dahsyatnya hingga aku merasa hampir kehilangan kesadaran. Beruntung, suara celoteh dari sahabatku: Dania dan Caca, berhasil membuatku terus tersadar.

Tiba di depan rumah, punggungku mendadak tegap penuh waspada ketika mendapati bahwa jalanan sempit kini ditutupi hampir separuhnya oleh sebuah mobil putih mewah yang tampak mengkilap.

Bukannya aku tidak senang dengan adanya tamu, tetapi mobil ini sangat familier dalam memori. Kaku di tubuh hampir tidak bisa aku cairkan, seandainya Caca tidak membantu mengguncang tubuhku.

"Mau ikut ke rumahku ndak, Ji?"

Caca sangat mengerti dengan kondisi psikisku sekarang ini. Sebab, pekan lalu ia menyaksikan dengan jelas keributan di rumah ini yang membuat ayah sampai harus berlutut di depan seorang pria dewasa, dan ibu menangis tersedu menyaksikan semua itu. Aku tidak meneteskan air mata sama sekali, padahal jantungku terasa diiris melihat ayah dibentak hingga hujan liur mengenai wajahnya—seolah tidak memiliki harga diri.

Namun, kabur jelas bukan solusi. Setidaknya ibu harus dihibur dengan sikap tenangku. Mereka akan bersikap seolah menjadi manusia terkuat, sehingga bisa menahan air mata di depanku. Ini sedikit membantu, walau masalah itu belum kunjung selesai.

Pelukan Caca di lengan, aku lepaskan dengan lembut.

"Kalian pulang aja. Aku nggak papa." Kalimat bohong itu aku sampaikan, sembari memberi anggukan meyakinkan.

Caca awalnya enggan, tetapi Dania berhasil menyeretnya setengah paksa untuk segera meninggalkan depan rumahku. Menyisakan aku sendiri yang kini dihinggapi gemetar.

Tenang, Jihan! Tidak terdengar teriakan apa pun sekarang. Tidak ada bentakan, dan tidak ada suara permohonan ayah. Jadi, seharusnya aman.

Aku meyakinkan diri untuk terus melangkah. Sajadah yang sebelumnya aku sampirkan di pundak, kubawa ke lengan untuk dipeluk erat seolah sebagai tameng perlindungan.

Mendekati pintu rumah, aku semakin ragu, tetapi juga penasaran. Kenapa tidak ada suara bernada tinggi? Bahkan, tidak ada percakapan sama sekali.

Ingin berasumsi bahwa pemilik mobil itu mungkin ke rumah seberang, tetapi pintu rumah terbuka lebar, dengan aroma wangi yang menyengat. Jelas, ada tamu di sini.

"Assalamualaikum." Aku mengucap salam hati-hati, dengan pandangan langsung aku jatuhkan ke ruang tamu di mana ayah, ibu, dan seorang lelaki asing duduk lesehan. Di tengah-tengah mereka terdapat dua gelas kopi yang salah satunya tersisa setengah, dan satu lagi masih penuh. Tanpa kepulan asap, sehingga aku berasumsi minuman berkafein itu sudah dingin.

Ibu menatapku sendu, seolah khawatir. Aku bisa merasakan itu walau bukan pakar pembaca ekspresi. Hati-hati aku melangkah masuk, diiringi jawaban salam dari tamu asing serta ayah dan juga ibu.

Semakin masuk, lelaki yang awalnya hanya kulihat dari samping itu kian terlihat jelas. Lalu ketika aku menjatuhkan lutut di samping ibu untuk menyalami tangan orang tuaku, wajah lelaki itu sekarang terlihat jelas.

Dia bukan lelaki asing, meski senyum yang ia tampilkan di bibir terbilang baru. Aku pernah melihat pria ini, dan baru dua hari lalu—jika tidak salah ingat.

Lelaki ini yang hampir lompat di jembatan gantung penghubung desa, dan ternyata masih hidup sekarang. Aku takjub, karena ucapan duplikat dari ustaz Fatih berhasil menyelamatkan pria ini.

Tiba-tiba aku tergiur. Apakah pria ini berniat untuk memberiku hadiah begitu? Ehhem ... seharusnya banyak, jika dilihat dari mobil dan pakaiannya. Well, aku menyelamatkan nyawa yang tidak ada bandingan harganya.

"Kamu kenal sama Pak Zafran ini?" tanya Ibu.

Seolah baru tersadar dari lamunan, aku hampir memukul bibir sendiri yang kelepasan tersenyum. Gelengan pelan aku berikan pada ibu ketika tatap kami bertemu. Namanya bahkan aku baru ketahui sekarang.

"Aku mau ke kamar, Bu." Aku ingin pamit pergi, agar tidak semakin salah tingkah. Hadiahnya, biar ibu dan ayah yang terima.

Namun, aku belum menegakkan lutut secara sempurna ketika ayah berseru.

"Tetap duduk di sini, Jihan."

Baiklah, aku langsung mematuhi petunjuk ayah. Arah tekukan lutut aku ubah ke tengah-tengah. Menghadap pada si tamu secara langsung.

"Pak Zafran ini yang bantu Ayah di masa sulit, dengan memberikan pinjaman." Ayah mulai membuka ceritanya mengenai perkenalan dengan lelaki berusia sekitaran 35 tahunan itu. "Rentenir kemarin, anak buahnya."

Aku mulai menebak, apakah hadiah dari lelaki ini adalah pelunasan utang? Oh, jelas! Harusnya jika dia benar-benar memiliki jiwa balas budi tinggi, lelaki ini juga wajib membebaskan ayah dari jerat utang setelah aku menyelamatkan nyawanya.

"Kami perlu jawaban kamu, Jihan," kaya ayah lagi, "semua keputusan ada di tangan kamu."

Seharusnya, suasana dalam ruangan ini bahagia, kan? Kami akan dapat hadiah! Namun, kenapa suara ayah malah terdengar tegang, dan ibu malah tampak muram?

"Pak Zafran ... mau melamar kamu."

*

Aku seperti patung bernyawa ketika memasuki kamar, bahkan harus dibantu tuntunan ibu agar tidak menabrak dinding. Sungguh, setengah nyawa seolah hilang dari raga usai apa yang terjadi di ruang tamu tadi.

Ibu begitu sigap menutup pintu kamar, dan membantu menopang tubuhku menuju kasur sempit ukuran single untuk diduduki.

"Kamu memangnya kenal Pak Zafran dimana, Jihan? Kenapa beliau sampai mau melamar kamu? Ibu ... beneran nggak rela, Nak. Pak Zafran bahkan punya anak yang lebih cocok jadi adik kamu daripada anak sambung kamu," ucap ibu, yang secara jelas menunjukkan kekhawatiran dan ketakutan kentara.

Aku menggeleng kecil, masih kaku. Pikiranku menerawang, tatkala pandangan kosong jatuh ke dinding pembatas berbahan kayu. Mengulang memori dua hari lalu ketika aku melewati jembatan penghubung itu.

*

"Pak, mau lompat?" Itu pertanyaan atau kalimat pertama yang aku ajukan saat pertama kali bertemu dengan pria itu.

Suasana jembatan begitu sepi, karena menjelang magrib. Aku baru pulang bermain dari rumah teman di kampung seberang, dan menemukan pria tersebut.

Saat pria itu menoleh padaku, langkah kaki secara spontan mundur. Aku masih di tengah-tengah jembatan, khawatir jika terjadi sesuatu.

"Mau minum, Pak?" tawarku, sembari menyodorkan kantongan minuman es teh. "Belum saya minum. Beli di depan sana tadi."

Pria itu menggeleng sebagai jawaban. Tampak sangat frustrasi—walau aku bukanlah seorang psikolog yang ahli membaca ekspresi. Tundukan dalam kepala pria itu menjelaskan, betapa ia sangat putus asa sekarang ini.

Sebentar lagi magrib, aku seharusnya langsung pulang ke rumah sebelum hawa jembatan berubah angker. Jangkrik-jangkrik mulai berbunyi di antara semak belukar, tetapi aku masih segan untuk melalui pria itu begitu saja.

Entah keberanian dari mana, jarak sepuluh meter di antara kami, aku perkecil menjadi kurang dua meter saja. Aku ikut memandang ke sisi sebelah jembatan, sama seperti yang pria itu lihat.

Sebenarnya, tidak tahu pasti apa yang tengah aku lakukan ini. Hanya mengikuti nurani.

"Masalahnya besar banget ya, Pak?" tanyaku dengan nada berbisik, sekali lagi berhasil membuat pria itu menoleh. Kali ini, sedikit terkejut karena jarak kami—kupikir.

"Bukan urusan anak kecil, sana pergi!" pinta lelaki itu tegas, bahkan berniat menarikku untuk menjauh, tetapi saat sikapnya hampir menyebabkanku salah pijak, pegangannya di lengan bertambah erat.

"Oke, deh," ucapku, dan seketika pegangan pria itu terlepas. "Takut disangka pembunuh nanti."

Baru saja mau berlari, tetapi dengkusan geli dari pria itu membuatku menghentikan niat. Di belakang punggungnya yang luruh, aku melirik pada pria itu.

"Coba jangan lirik ke bawah aja, Pak. Ngeri. Lirik ke sekitar juga." Aku berubah pikiran, dan kini menyamai posisi di sampingnya.

Pria itu sempat terkejut, tetapi aku enggan peduli. Fokusku adalah melirik ke depan, pada matahari yang mulai tenggelam. Tampak ... biasa saja. Namun, aku ingin membuat persektif pria ini menjadi luas, seperti yang disampaikan ustaz Fatih—uhhuk.

Pipiku langsung memanas jika memikirkan nama satu itu. Ah, Jihan! Bersikap biasa, oke! Ini mode serius.

"Apanya yang lucu?" tanya pria itu, yang pasti sudah mengetahui gelagatku barusan.

"Nggak ada. Mataharinya, bagus."

Pria itu ikut memperhatikan ke depan, dan kesempatan itu aku gunakan untuk melihat sosoknya yang dewasa. Awalnya, lelaki ini tampak sangat kebingungan, tetapi secara perlahan, kerutan di keningnya mulai memudar, dan matanya berkedip secara perlahan seolah terhipnotis.

"Tarik napas panjang ...." Aku berbisik, dan secara otomatis dilakukan oleh pria itu. "Embuskan ...." Sekali lagi, dipatuhi.

Aku tanpa sengaja menerbitkan senyum, dan pria itu melirikku tajam.

"Kalau lagi ada masalah, coba rehatin pikiran sebentar, Pak. Nggak harus dengan hal ribet, cukup diam di sebuah tempat yang hening kayak di sini, Mandang matahari terbenam, sambil mikirin penyelesaian satu per satu. Satu per satu aja, jangan sekaligus. Bisa hari ini satu, besok satu lagi."

"Tahu apa kamu masalah orang dewasa?" balas pria itu, terdengar sedikit tajam.

Aku merotasi bola mata. Awalnya ragu untuk menjawab jujur agar diriku terlihat—ehhem—lebih dewasa dan bijaksana begitu. Namun, aku sebaiknya menjelaskan sumber kalimat fotocopy-an tadi agar dipercaya oleh lelaki ini.

"Dari pak ustaz."

Pria itu tidak memberikan tanggapan apa pun, selain menghadapkan arah wajahnya ke barat lagi.

"Oh iya, sama satu lagi," ucapku, yang harus jadi penutup, sebab matahari tinggal setengah. "Kalau es teh ini dimasukkin garam segenggam, gimana rasanya, Pak?"

Pria itu menoleh, bukan sekadar kepala, tapi seluruh tubuhnya menghadap padaku. Tidak ada suara yang ia lontarkan, hanya sebelas alis terangkat seolah menuntut jawaban lanjutan dariku.

"Asin, kan? Nah, coba kalau segenggam garam—" Aku membuat gelagat seolah menggenggam sesuatu, kemudian bertindak seakan melemparkan isi genggaman tadi ke sungai di bawah jembatan. "Rasa sungainya bakalan gimana, Pak?"

"Tetep rasa tai."

Aku memukul jidat, lalu mendengkus geli. Tetap tertawa atas jawaban itu.

"Iya, iya. Tetep rasa itu. Nah, kesimpulannya apa?"

Pria—ingin kusebut kampret—ini hanya diam saja, mengangkat kedua bahunya tidak acuh. Padahal, dalam ceramahnya ustaz Fatih di setiap pengajian antara ba'da magrib dan sebelum isya, para jamaah seru banget saling sahutan memberi jawaban.

Sementara pria ini? Triplek.

"Jadi kesimpulannya ... garam itu anggap masalah. Kalau diproses di kondisi pikiran yang sempit kayak es teh ini—" Aku mengangkat minumanku ke depan, "—Bakalan berasa banget asinnya. Kalau diterima dengan kepala lapang kayak sungai ini, efeknya nggak bakalan terasa banget. Gampang diselesaiinnya, cukup tunggu waktu aja. Kayak aliran sungai ini." Aku menjelaskan dengan senyum ceria, agar menular pada pria itu.

Namun, senyum yang ia munculkan hanya segaris kecil, satu senti, itu pun di sudut bibir kanan saja sehingga menyerupai sebuah seringai kecil.

"Terima kasih," ucap pria itu, lalu dalam sekejap, minuman es teh tadi sudah berpindah tangan padanya. "Sana pulang. Katanya jembatan ini ada penunggunya."

"Bapak bakalan jadi salah satu penunggu jembatan kalau lanjut lompat tadi," balasku, kemudian berlari meninggalkan tempat ini.

Mom to the push! Mampus! Aku bisa ketinggalan saf paling depan di masjid kalau telat sampai di rumah! Auto sulit milih saf yang segaris lurus langsung dengan imam kalau begitu—ustaz Fatih.

Ahhay! Dasar, Jihan!

*

Aku menunduk dalam, tidak pernah menyangka bahwa hasil pertolongan hari itu malah membawaku dalam situasi serumit ini. Kami bahkan tidak diberi pilihan, kecuali jika aku yang menolak langsung—tetapi apa seberani itu? Di tangan pria itu, ayah bisa saja langsung berlutut memohon padanya, ibu menangis, dan aku hanya bisa memeluk lutut di belakang pintu untuk mendengarkan segala keributan.

Jika aku menerima, ayah-ibu tidak akan menderita lagi, tetapi sebagai gantinya, aku yang seumur hidup pria itu harus menanggung segala sakit hati seorang diri.

Aku ... bingung.

Kepalaku tertunduk dalam, tidak menangis, tetapi merutuk diri sendiri dengan saling memainkan jemari di atas pangkuan. Usapan ibu terasa di punggung, tetapi sama sekali tidak membantu menenangkan kali ini.

Pikiran aku coba peras sekuat mungkin agar bisa menghasilkan ide, supaya pria itu yang membatalkan rencananya sendiri tanpa perlu aku tolak, tetapi bagaimana?

Hm ... jika ucapan tiruanku saja bisa sangat berpengaruh, maka seharusnya aku dapat berbicara lagi secara intens pada pria itu agar bisa membujuknya menarik kembali lamaran ini.

Ya, itu ide terbaik untuk saat ini. Tubuhku berdiri menjulang, membuat ibu mendongak bingung.

"Aku bakalan selesaiin masalah ini, Bu!" ucapku penuh keyakinan.

Meninggalkan ibu seorang diri di kamar, aku penuh percaya diri muncul di ruang tengah lagi. Ayah terlihat setengah membungkuk, sepertinya memohon pada pria itu. Kegiatan mereka terhenti begitu saja ketika aku muncul.

"Mau bicara empat mata, boleh, Pak?" tanyaku pada pria itu, sembari melirik ayah dengan pejaman mata meyakinkan.

"Boleh," jawab pria itu sembari bangkit dari posisi duduk bersila.

Kami berjalan ke luar, dan berhenti di depan teras. Berkat bantuan mobilnya yang terparkir di depan, berhasil membatasi pandangan tetangga dari depan. Aku menoleh ke belakang, demi melihat ayah yang masih mengintip di jendela kayu.

"Saya baru tahu nama Anda tadi," ucapku lirih, sebagai pembuka. Awalnya menatap lurus ke depan, tetapi kemudian aku beralih pada pria di sampingku ini. "Kenapa secara mendadak mau lamar saya?"

"Karena kamu berhasil membuat saya berubah pikiran di jembatan itu."

Aku mengibaskan tangan, hendak melupakan kejadian sialan itu yang membawa masalah rumit datang ke sini.

"Itu cuman kalimat jiplakan, dari ustaz di masjid deket sini. Kalau mau dapat nasihat lagi, rajin aja datang ke masjid, rutin tiap malam Selasa dan malam Rabu, diadakan pengajian, usai sholat magrib. Saya ... sebenarnya nggak bantu sama sekali. Saya cuman nerusin ucapan ustaz itu," kilahku, ingin menyadarkan pria itu bahwa seorang Jihan yang mantan gadis bandel ini sama sekali tidak sebijaksana itu, agar pria ini bisa berubah pikiran. "Atau, perhatiin matahari sore aja. Itu jauh lebih menenangkan daripada saya. Saya orangnya meledak-ledak, hobi shopping nggak terkendali. Karena perbedaan usia gini, saya tinggal nunggu Anda meninggal biar bisa ambil semua harta Anda, dan lunasin semua utang semua orang. Jadi, jangan ngadi-ngadi deh!"

"Awalnya, saya pikir memang matahari sore yang bikin saya tenang dan mulai berpikir jernih. Tapi, bosanin juga. Saya tiap hari lihatnya selama 35 tahun. Saya juga mau lompat menghadap barat, jadi ... saya mikir—terutama kemarin sebelum saya ke sini—saya ternyata bukan tenang karena matahari sore. Sedikit dibantu memang sama kalimat kamu, tapi sepenuhnya ... alasan saya bisa berubah pikiran, karena ketenangan itu saya dapat dari bicara sama kamu."

Tunggu, kalimatnya terlalu panjang. Keningku berkerut dalam mencernanya, dan bermodalkan cahaya temaram dari dalam rumah yang keluar melalui celah jendela, pria itu mungkin melihat ekspresiku sehingga memperjelas kalimatnya.

"Saya butuh kamu buat jadi sumber ketenangan saya. Silakan, kamu bebas membuat pilihan apa pun—"

Aku hampir mengatakan ingin menolak lamaran ini, tetapi dengan cepat pria itu melanjutkan kalimatnya.

"—Kecuali menolak lamaran saya ini. Kamu, harus, menikah, dengan saya."

Skakmat!

*

Katanya, semua keputusan ada di tanganku. Namun, aku bahkan tidak dibebaskan untuk menolak lamaran, sehingga ... jadilah. Aku terpaksa harus 'dijual' dalam bentuk pernikahan oleh ayah-ibu, agar bisa melunasi utang.

Setiap ada perencanaan pernikahan, Zafran akan datang untuk meminta pendapat dari ayah-ibu sebagai calon mertuanya—yang sial—usia mereka bahkan hanya beda beberapa tahun saja jika dibandingkan umurku yang selisih belasan tahun. Seperti pagi ini, lima hari setelah lamaran dadakan kemarin.

"Teman kamu ada berapa, Jihan? Sama anggota keluarga kamu, rekan keluarga kami, dan lainnya. Undang mereka semua. Saya punya tamu 520 orang, bisa genapkan jadi 1000 orang atau lebih dari keluarga kamu. Saya pastikan bisa meng-cover mereka semua—"

"Nggak usah mewah, Pak." Aku membalas cepat, bahkan mungkin tergolong memotong kalimat pria itu. Persetan jika aku bahkan mendahului ayah berbicara. "Saya cuman mau pernikahan sederhana, kalau bisa undang 2 orang aja sebagai saksi, penghulu, sama pihak KUA." Karena saya malu berdiri di samping aki-aki tua!

Oh ya Allah—aku mendesah berat saat menyebutkan itu dalam hati—inginku mengejar akhi Fatih, tapi malah dapat aki-aki bernama Zafran. Astagfirullah.

"Kenapa? Kamu masih gadis, harusnya dapat pernikahan yang mewah, jadi Putri sehari. Itu nilai kecil buat saya, membuatkan kamu pernikahan mewah di gedung, sewa WO, dan lain sebagainya. Saya sangat mampu, Jihan."

Aku menggeleng pelan, tidak suka tawaran itu. "Uang 'mampu'nya dari mana, Pak? Hasil bunga utang? Nggak usah kalau gitu. Saya nggak suka pakai uang hasil riba."

Langsung, Zafran menegakkan punggung hingga menempel di sandaran kursi usai mendengar kalimatku yang mungkin terdengar tajam. Efek dari hal itu, ayah menatapku tajam, sementara ibu melirik khawatir.

Persetan, cuih! Lelaki itu saja seenaknya mengajak nikah anti-tolak, maka aku juga bebas mengatakan apa pun.

Suasana di rumah sempitku berlangsung tegang dengan atmosfer tidak nyaman. Khususnya ayah, ibu—keduanya tegang. Zafran masih tenang, dan aku balas dengan tatap malas. Namun, jujur. Aku gugup usai mengatakan itu, dan ... sial! Zafran mendadak melirik ke kakiku yang secara cepat mengetuk lantai.

Tubuhku langsung berubah kaku.

Menyadari sikap kami yang aneh, ayah dan ibu juga melirik, mengirimkan perasaan tidak nyaman untukku. Segera, aku memalingkan wajah ke arah lain, seolah tidak peduli hanya demi menyamarkan perasaan gugup dalam hati selama menunggu respons mendebarkan dari si tamu.

"Baik kalau begitu," kata Zafran dengan nada rendah. Aku, ayah, dan ibu segera melarikan fokus padanya. "Kita akan menikah di KUA, secara gratis. Bagaimana?"

Aku tidak mengiyakan, jadi diwakili ayah untuk menjawab saran dari pria tersebut. Huh, padahal yang aku inginkan adalah tidak adanya pernikahan ini saja!

"Pernikahannya rencana mau saya adakan bukan empat nanti, ada saran tanggal, Pak?" tanya Zafran.

Aku segera melirik ayah dengan mata menyipit, memperingatkan. Agar beliau mengajukan tanggal di akhir bulan, sehingga aku punya waktu dua bulan untuk ... merencanakan kabur, mungkin?

"Tanggal 1, Pak, bisa."

As—

Ayah, astagfirullah, kenapa ... malah mengajukan tanggal satu? Aku menghela napas kasar, sengaja agar memberikan pesan terbuka pada ayah bahwa aku benar-benar kecewa dengan keputusan tersebut.

"Baik, Pak. Tanggal satu, ya? Saya bakalan sibuk beberapa hari ke depan, tapi saya bakalan sempatkan untuk selalu mampir bahas masalah persiapan dan mungkin keperluan data-data milik Jihan," ucap Zafran, sembari berdiri tegap, disusul ayah, ibu, lalu aku secara malas.

Ayah dan pria asing itu saling bersalaman, sementara untuk ibu, ia hanya menyalami dengan mempertemukan dua telapak tangan depan dada. Pun denganku sebenarnya, Zafran memberikan salam seperti ke ibu, tetapi tatapnya sangat dalam padaku.

Ingin adu tatap? Gasskeun!

Aku ikut memicingkan mata ke arah Zafran, yang langsung menunduk dengan senyum di bibirnya. Tampak geli, entah untuk alasan apa. Aku sama sekali tidak menyembunyikan ekspresi mencibir untuk pria itu.

"Saya pulang dulu, permisi," kata Zafran. "Kamu jangan ke mana-mana sampai pernikahan kita, ya?" Pria itu lagi-lagi melirikku dengan senyumnya.

Cih, mau memperlama waktu di sini?

"Wa alaikumussalam," balasku datar, enggan menjawab pertanyaan barusan. Sekaligus bentuk pengusiran untuk pria itu.

Hasilnya, berhasil. Pria asing—sialan—itu tersenyum sendu sembari meninggalkan rumah.

Sekarang, saatnya mempertimbangkan cara kabur dari pernikahan ini.

Gimana bab 1 ini?

Lanjut : Senin-Selasa

Sebagai manusia yang selalu lalai akan jadwal, mari kita sama-sama mendoakan agar Es Pucil bisa memenuhi jadwal kali ini.

Aamiin~

😶

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro