Enam
Tema: "Buatlah cerita dari trope romance sesuai dengan bulan kelahiranmu—OFFICE ROMANCE."
Romance (kayaknya), office life
1205 kata
"Joanne, jangan lupa membersihkan ruangan saya hari ini. Saya tidak ingin melangkah di atas debu seperti orang biasa."
"Baik, Pak, saya akan segera ke sana."
"Ingatlah, saya tidak mentolerir kotoran. Kalau tidak, kamu akan dipecat dalam sekejap."
"Saya akan melakukan yang terbaik, Pak."
"Pastikan begitu. Sekarang, silakan lanjutkan pekerjaanmu, saya butuh energi untuk terus bercahaya."
Sebenarnya, aku ini cuma menahannya. Serius. Aku punya latar belakang atlet silat waktu SMA, kupikir pitingan di tempurung kepala Pak Adam akan membuatku lega. Narsistik tingkat dewanya betul-betul mengalahkan artis.
Adam Harigan, begitu namanya. Seorang pria usia tiga puluh tiga, perawakannya tinggi kekar, kaki panjang, jawline tegas dan bola mata tajam. Namun, yang menjadi ciri khas boss Glorious Inc itu adalah sunggingan senyum miringnya. Nah, saat kusebut begitu, bukan berarti dia ini menawarkan ekspresi bagai CEO wattpad impoten yang pedofil, tetapi senyum percaya diri—maksudku, kelewat pede yang jika temanku yang melakukan itu akan kuhajar habis-habisan.
"Makin ganteng, gak, sih dia?" Adeline mencondongkan kepala di bilikku. "Ih, sumpah. Pak Adam makin hari makin tampan."
Keningku terpaut memperhatikan punggung Pak Adam yang baru saja lenyap di balik pintu kaca. "Tolong jangan bahas pria itu depanku. Sungguh, Del." Aku berusaha sabar.
"Kenapa sih? Lagian, jabatanmu itu istimewa banget tahu?! Banyak cewek-cewek yang menantinya—nah, sampai di sini, kau beruntung dan mestinya percaya diri, Jo. Siapa sih yang tidak mendambakan berdekatan dengan Pak Adam?! Apalagi sampai masuk kantornya yang mewah?!"
Aku melototinya. "Aku, Del, aku." Lalu tanganku fokus merapihkan berkas-berkas manajemen bulan lalu. "Menjengkelkan sekali manusia satu itu."
Adeline memangku wajahnya di bilikku, lalu ber-akting seperti artis paling tersakiti sedunia. "Tapi sayang banget," katanya sambil merendahkan suara, "Pak Adam itu homo."
Aku nyaris menelan lidahku sendiri. Tersentak. "Eh?"
Adeline mengedarkan pandangan mengamati karyawan yang rupanya semuanya menoleh pada kami. Aku dan dia diam seribu bahasa. Kikuk. "Maaf gays, Joanne lagi menstruasi."
Aku segera melototi Adeline sambil memasang tatapan akan-kupiting-ginjalmu-habis-ini. Gadis berambut pirang merah itu mengangkat bahu lalu nyengir dan berbisik, "Jangan sampai ada yang mendengar ucapanku barusan." Lalu kepalanya terangkat. "Ih, Joanne udah hampir keluar. Sana cepat ke toilet. Huss-huss. Nih, tutupin pakai buku kalender."
Demi apa pun, setelah pulang dari sini aku sungguhan akan memiting ginjal Adeline.
Mau tidak mau aku berakting seperti kadal kegatalan. Aku menutupi bagian belakangku dengan buku kalender. Sambil tersenyum bodoh, aku berjalan menyeret tubuh menuju pintu keluar, sambil berpikir apakah pernyataan Adeline tentang Pak Adam itu benar.
***
Ruangan Pak Adam tak begitu jauh. Tinggal lurus melewati meeting room serta ruang kepentingan lain, setelah menemukan tulisan bordir 'Direktur Eksekutif' di atas pintu, maka itu adalah kantornya. Ketiba tiba dari sana, aku mempersiapkan mental demi menghadapinya.
Aku mengetuk pintu.
"Permisi, Pak Adam."
Sampai semenit tak ada yang terjadi. Aku mengetuk lagi. "Permisi, Pak, selamat siang—"
Aku sudah mengumpulkan tenaga untuk membuka pintu, tetapi dalam sedetik yang tidak terduka, intu menjeblak di buka lebih dulu dari dalam. Tahu, apa yang selanjutnya terjadi? Aku terjerembab di lantai ubin yang dingin dan Pak Adam sama sekali tidak mengubrisku. Mantap. Bukannya aku berharap untuk ditangkapnya atau apa pun, tetapi bisakah dia beri aba-aba dulu ketika membuka pintu?!
"Kamu ngapain di bawah sana?" tanya Pak Adam tanpa bersalah.
Aku menarik dan mengebuskan napas gemas. Lagi debus, Pak. "Maaf, Pak."
"Ya. Aku kesini tidak menyuruhmu memberiskan lantai pakai bajumu itu," katanya begitu saja. "Nah, aku minta kau untuk membereskan scedule di meja itu untuk kebutuhan meeting besok. Sekalian, kamu atur juga jadwal pertemuanku setelahnya, misalnya dengan klien dan lain-lain. Nah, setelahnya, kau buatkan aku kopi. Atasanmu ini butuh energi untuk terus—"
"Baik, Pak." Aku buru-buru memotong sebelum mendengar kelanjutannya.
"Hm, baiklah," jawabnya, "kerjakan tugasmu dalam satu jam."
Eh? "Maaf, Pak."
"Ya, ada apa?"
"Saaf sebelumnya, sepertinya, menurut saya satu jam itu berlebihan, Pak. Saya bisa mengerjakannya dalam dua puluh sampai tiga puluh menit. Lagian, sekitar setengah jam lagi sudah waktunya pulang. Bapak sendiri sudah menyuruh saya kerja lembur kemaren lusa—dan harusnya, sekarang jadwalnya saya ... udah gak lembur lagi?"
Kening Pak Adam terpaut sesaat sebelum keluar. "Oh, begitukah?"
Aku mengangguk. "Iya, Pak."
"Oke. Tetap satu jam."
***
Sebenarnya, ini sudah lewat satu jam lebih. Pukul dua tadi seharusnya aku sudah santai-santai di rumah sembari tiduran dan nonton Netflix. Namun, kenyataannya sampai jam tiga lewat lima menit aku belum juga keluar-keluar dari ruangan Pak Adam. Aku pikir, hanya segelintir karyawan yang lembur saja masih mengembankan kewajibannya dan juga beberapa petugas kebersihan yang sesekali lewat di depan.
Pak Adam aku pikir memang sengaja melakukannya. Pasalnya, setelah aku menyelesaikan satu tugas, dia akan menambahnya dengan yang lain. Setelah aku selesai dengan tugas yang lain itu, dia buru-buru cari sesuatu yang lain untuk mendekamku lebih lama di sini. Mulai dari yang wajar-wajar saja seperti menyalin data (yang sebenarnya sudah kulakukan kemarin, tetapi sepertinya beliau lupa), lalu menyusun jadwalnya, sampai ke yang kurang ajar seperti membersihkan kaca kantornya.
"Sudah selesai, Pak." Aku memberitahu pada Pak Adam yang sedang duduk di bangku kerja. Kakinya menyilang naik ke atas meja, sementara tengah membaca koran.
Matanya menyipit sesaat. Mengamati ruangan. Aku tahu kalau dia lagi-lagi cari alasan lain supaya aku masih lama di sini. Aku tidak memahami motif Pak Adam menyuruhku mengerjakan tugas yang sebenarnya bukan tugasku. Entah apa dipikirannya itu.
"Hm," dia berdeham panjang, tetapi pelan. "Ad—"
"Saya mau pulang, Pak." Kalimat itu keluar dari mulutku secara ringan. "Maaf, saya tidak bermaksud untuk membantah Bapak, tetapi sekarang mestinya—"
"Oke, kamu boleh pulang."
Eh?
Dia bangkit mendekat, lalu memegang kedua pundakku bermaksud menuntunku ke pintu keluar. "Terima kasih, Joanne," katanya saat kedua kakiku sampai di ubin lantai lorong masuk pintu ruangannya.
"Sama-sama, Pak." Aku mengucapkannya setengah hati.
"Kamu kelihatannya tidak senang, ya." Pak Adam berkomentar.
Lantas membuatku mendongak. "Senang, kok, Pak. Saya bahagia sudah mengerjakan tugas saya selama satu jam tiga puluh menit tadi—"
"Oke," potongnya. "Kamu tahu, kan, kalau wajah saya bisa meningkatkan kebahagiaan?"
Tiba-tiba saja lingkar perutku terkocok di dalam sana. "I-iya, Pak. Itu benar."
Pak Adam kemudian melanjutkan, "Coba tatap wajah saya selama satu menit."
Aku merinding. Pelan-pelan, aku mendongak menatap wajah Pak Adam. Dadaku bergetar. Fitur wajahnya kelihatan sempurna—aku berkata jujur, tetapi bukan berarti aku suka padanya, ya. Hanya memuji. Hidung Pak Adam juga keren banget. Bibirnya tipis, kumisnya pun demikian.
"Bagaimana?" tanyanya.
Aku tidak tahu harus menjawab bagaimana. Orang di depanku ini benar-benar tidak ketebak. Aneh.
"Sudah, Pak." Aku berkata sinting.
"Baiklah, kamu boleh pulang sekarang."
"Terima kasih, Pak." Jantungku berdesir hebat. Pompanya tampak kencang sekali sampai-sampai tungkai kakiku terasa gemetar. Dalam hati, debarnya membawa perasaan aneh di kepalaku.
Ketika aku melangkah menjauh, Pak Adam menginterupsi, "Joanne," panggilnya.
Aku menoleh, wajahnya tampak mengerut. Berkali-kali memandangku, lalu beralih ke yang lain. Penafsiranku, seperti ia akan mengatakan sesuatu tetapi, entah mengapa tidak jadi-jadi.
"Kamu sibuk malam ini?"
Dadaku tiba-tiba didesaki sesuatu yang aneh. Aku bergeming bagai orang bodoh sembari memandanginya sesaat. "Saya—"
"Oke. Terima kasih. Kamu boleh pulang." Dia segera masuk kantor dan menutup pintunya rapat-rapat.
Ini orang kenapa, sih?
ini sebenernya genre sejuta umat, tetapi masalahnya saya bebal ngetik romance tanpa ngakak dan malu sendiri. maka inilah hasilnya yg saya ketik mengejar detlen '-'
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro