Dua Puluh Tiga
Tema: "Buat cerita yang diawali dengan kalimat terakhir cerita ke-5. Bagi yang tidak mengerjakan tema hari ke-5, silakan menggunakan work peserta lain, jangan lupa memberikan credit."
Crime, thriller, action
Cerita ini adalah part 3 dari cerita hari ke-9 dan ke-22
1017 kata
"Mau ikut, tidak?" Napas Natala berembus berat saat ia bertanya.
Aku mengedarkan pandangan sejenak. Jalanan sepi, padahal kalau hari-hari biasa di rentang jam seperti sekarang—pukul sebelas lebih—transportasi masih beroperasi. Sementara toko, kafe dan sejenisnya sudah ditutup. Kuduga, pasal berita tentang seorang pembunuh yang kabur dari penjara itu adalah penyebabnya. Orang-orang kepalang takut keluar rumah barang sedetik, sebab itulah aku dan Natala bagai dua manusia cari mati.
"Kau tertembak," kataku, masih memapah badannya di sisi kanan. "Kita harus istirahat. Lagian, kita akan ke mana sekarang?"
Sudut netra hitam Natala bergulir ke arahku. Sungguh hebat dia belum limbung ke aspal. Padahal, wajahnya pucat pasi dibingkai peluh, tambah lagi sisi perutnya terus mengalirkan darah. Meski telapak tangan Natala menutupnya, kuduga itu tak banyak membantu.
"Ke mana saja asal jangan di jalanan begini. Namun, satu hal yang perlu kau tahu," paparnya pelan, napasnya agak berat. "Aku tidak akan mengorbankan diri untuk yang kedua kalinya."
"Kau memang gila," kataku merespons. Natala berjengit sampai aku sedikit tersentak, lalu buru-buru aku mengeratkan lengan di bahunya. "Kenapa, sih, malah keluar dari kolong meja?
Natala lagi-lagi mengembuskan napas berat bagai kuda habis maraton. "Kau pikir siapa yang ingin mati saat pacarnya terang-terangan menyuruh psikopat untuk membunuhnya?! Ah—" Dia mendesah sebab nyeri.
Aku bergidik memandang luka di sisi perut Natala, kubangan darah memenuhi sampai ke punggung tangan pemuda itu. Aku lalu mengerling ke dia sebagai upaya mengindahkan pikiran soal darah. "Siapa yang duluan mendorongku?!" kataku membela diri, "untung saja pelurunya saat itu meleset dan aku tidak mati! Kau tahu betapa takutnya aku saat itu?!"
Dia tidak menjawab selama sekian detik. Bagus. Gunakanlah dua puluh detikmu itu sebagai sesi perenungan dan penyesalan atas perbuatanmu. Enak benar dia menyudutkanku begitu, dia kira nyawaku ada sembilan.
"Jadi, kau mau ikut denganku?" tanya Natala mengulangi.
"Hei," kataku, "sedari tadi aku yang memapahmu, bisa-bisanya kau yang memutuskan kita akan ke mana."
Aku mengeluarkan ponsel di saku celana. Untung saja aku sempat mengamankan benda ini sementara tasku raib di kafe keparat itu. Sisi kiri layarnya retak menyedihkan, tetapi, jemariku tetap berusaha bergerak menekan tombol panggilan pada polisi dengan susah payah. Di saat-saat pergolakan kesabaran itu, suara letusan pistol di belakang kami membuat terperanjat.
Aku dan Natala sempat menoleh. Di kejauhan, psikopat buronan itu, dalam balutan pakaian oren khas penjara, berlari ke arah kami. Ia beberapa kali menargetkan moncong senjatanya ke arah kami, tetapi sepertinya pelurunya sudah habis saat adu tembak dengan kami di kafe sebelumnya. Syukurlah, aku dan Natala bisa gunakan itu untuk berlari.
Meski Natala terseok-seok.
"Ponsel biadab!" Aku menyumpah lantang. "Kenapa tidak berguna sama sekali!"
Aku masih memapah badan Natala meski cowok itu melarangku, tetapi aku tetap berkeras akan melakukannya. Kataku, salah satu di antara kami berdua atau keduanya bisa saja mati jika sedikit melakukan kecerobohan. Bodo amat Natala tersinggung. Aku ingin hidup.
"Ponselmu ke mana?!" teriakku disela-sela langkah.
"Serius, Aime!?" Natala berusaha sabar kendati pun suaranya agak tersendat. "Kau menanyakan ponsel setelah aku adu jotos dengan psikopat gila itu?! Mana aku tahu ponselku ke mana! Entah terlempar di kafe tadi atau diambil buronan kampret di belakang itu!"
Bunyi sirine mobil polisi berkumandang. Di kejauhan di depan, kerlap-kerlip lampunya menciptakan secercah rasa harapan di dalam dadaku. Kuduga, ada warga sipil yang menyadari perkelahian kami di kafe tadi hingga dia menelfon polisi. Mobil itu mendekat dan dalam jarak lumayan jauh aku sudah melambaikan tangan putus asa. Aku terisak diam, tetapi cepat-cepat kuusap air di ujung mataku agar Natala tidak menyadarinya.
"Pak, tolong!" Aku berteriak. Kali ini benar-benar terisak tanpa bisa kutahan. Biadab denganmu Natala kalau kau tertawa melihatku menangis. "Psikopat gila itu hampir membunuh kami!"
Saat mobil polisi berhenti, mereka menurunkan kaca pintunya. Ada satu polisi berumur kukira kurang setengah abad di dalamnya. Kumis polisi itu lebat hampir menutupi mulut. Bawah matanya hitam legam seakan tidak pernah menemukan waktu untuk tidur. Dia menguap saat menatapku—Nah, benarkan.
"Tolong katakan ini bukan prank." Itu adalah kalimat pertama yang ia katakan saat meresponsku.
Aku dan Natala bertatapan. Natala mengangkat telapak tangannya yang berdarah, sudah cukup menjelaskan dalam tatapan bahwa luka tembak di sisi perutnya itu bukan air sirup yang sengaja ditumpahkan begitu saja.
"Darah palsu?" tanya polisi tua bangka itu.
"Brengsek," kataku pelan sekali. "Apakah aku harus mencungkil peluru yang bersarang di perutnya supaya kau percaya?"
Polisi itu kepalang tenang untuk ukuran masalah yang sedang melanda kota. Dia bahkan menguap lebar sekali sampai kepalan tanganku gatal ingin bersarang di mulutnya. Tangan polisi itu bersedekap, "Dik, semalaman ini, aku sudah tiga kali ditelfon orang kota yang katanya melihat pembunuh itu—apa namanya yang kau sebut tadi? Sikompet? Sikempet?"
"Psikopat." Natala membenarkan meski kesal. Suaranya tampak tidak stabil.
"Nah itu. Kau tahu lanjutannya? Aku datang di lokasi tujuan, tetapi tidak ada siapa-siapa di sana selain remaja-remaja kolot yang melempariku dengan bungkusan darah palsu, telur busuk, air terasi!" Wajahnya mengerut, "Bayangkan—sudah tiga kali. Ini yang keempat dan kalian benar-benar totalitas mengerjaiku. Setelah ini apalagi? Tepung gandum?"
"Kalian berdua, sudahi pacarannya di jalanan begini. Pulanglah ke rumah, Dik. Sekarang kondisinya lagi tidak aman untuk keluar rumah tengah malam. Tidak aman di sini, pulang saja." Polisi itu melanjutkan dengan nada super lembek seperti bicara melantur sebab kantuk.
Keningku dan Natala berkerut saat kami berdua bertatapan. Aku menoleh ke belakang dengan panik, di sana tidak ada siapa-siapa. Psikopat gila itu tidak ada di sana.
"Aku tahu benar perasaan kalian tentang kekacauan yang terjadi, tetapi janganlah bikin kami—dari kepolisian—jadi tambah kesusahan," tambahnya. Dia menguap sekali lagi, lalu meregangkan ototnya. "Kusarankan kalian berdua pulang. Pacaran di rumah saja, toh lebih aman."
Dia menghidupkan mobil, mematikan sirine, tetapi sebelum benar-benar menginjak pedal gas, polisi itu mengeluarkan sebagian tubuhnya melalui pintu, kemudian mengusap pucak kepala Natala. "Dik, aktingmu lumayan."
Lepas itu, dia pergi dengan mobilnya. Sementara, aku dan Natala masih bertatapan dalam diam, berusaha merespons segalanya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro