Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Dua Puluh Satu

Tema: "Masuk ke web https://www.generatormix.com/random-genre-generator, masukkan angka 6 lalu klik generate. Buatlah tulisan dari salah satu genre yang muncul. Max 1500 kata."

Action, thriller, comedy (kayaknya)

cerita di bawah adalah part 2 dari flash fiction hari ke-9

1052 kata

Pelurunya meleset.

Aku dan Natala menunduk bersamaan saat orang itu menarik pelatuk. Kami masuk ke kolong meja yang sempit. Tubuhku menegang dan tatapan panik yang dihujamkan Natala padaku membuatku semakin khawatir dan takut. Dalam tatapan itu, kami saling bertukar pendapat dalam satu hal. Karena kami tahu, salah satu di antara aku dan dia harus keluar sebagai umpan.

"Keluar," bisiknya pelan. "Aime, kau mati tidak masalah. Hidupmu tidak berat. Lihat aku-kuliah, kerja sampingan untuk membiayainya dan sekolah adikku-"

"Kau pikir cuma kau yang punya masalah?" Aku memotong, "Hidupku tertekan, Nat. Tahun depan, aku harus lulus dengan nilai terbaik dan mendapat gelar sarjana-"

"Ibuku sakit keras di rumah dan Ayahku entah ke mana rimbanya-"

"Ayahku keras dalam mendidikku supaya aku bisa masuk Harvard! Bayangkan beratnya tekanan yang dia berikan padaku! Kau saja yang jadi umpan-"

"Adikku masih umur delapan tahun dan dia belum bisa cari duit sendiri-"

"Aku juga kerja! Freelancer!"

"Oke-oke," pungkas Natala, kedua tangannya terangkat depan dada. "Oke, aku yang jadi umpan."

Kutatap netra hitam Natala sejenak. Mencari satu titik kebohongan di sana. Aku bukannya egois, ya. Ini soal hidup dan mati. Lagian, Natala itu cowok dan menyandang status sebagai pacarku-kok bisa, sih, aku pacaran dengannya?-dalam tiga bulan terakhir. Bisakah dia setidaknya bersikap gentle layaknya seorang lelaki? Misalnya seperti di film-film hollywood, Natala menyelamatkanku dengan cara yang keren; melompati meja, berguling lalu memiting leher orang gila di ambang pintu itu.

Bunyi letusan pistol terdengar berdesing. Pelurunya mengenai wadah tisu di meja kami. Aku menegang sejenak dan dalam hati bersumpah agar Natala segera cepat menumbalkan diri sebagai umpan. Lepas itu, aku bisa kabur. Sebut aku pacar egois yang mengorbankan pacarnya, tetapi jika kau yang berada di posisiku, penggal kepalaku jika kau tidak melakukan hal serupa.

Satu tangan Natala memegang bahuku. "Aime," katanya, "aku tahu kau sangat mencintaiku sepenuh hati, begitu pula sebaliknya. Makanya ... aku mengorbankan dirimu."

Natala mendorongku keluar.

"Cowok Bajing-"

Aku melompat ke kursi sebelah sampai lenganku tergores meja. Nyerinya luar biasa mengenangi jiwa. Demi apa pun, jika ini berakhir aku berjanji tidak akan pernah pergi ke tempat yang memiliki properti meja. Orang itu tampak menatapku. Sekilas, rona pada bawah matanya agak gelap dengan paduan bola mata sedikit menonjol, seolah bagian itu kena katarak atau semacamnya.

"Di sana!" teriakku keras-keras. Persetan dengan moncong pistol mengarah ke mana. "Di bawah meja! Tembak saja selangkangan pemuda bajingan itu!"

Posisiku telungkup membelakangi Natala. Saat aku bergerak menyeret tubuh perlahan, aku tidak tahu kondisi di belakangku sebab sibuk menyelamatkan diri. Pelan-pelan aku bergerak sambil menahan napas. Dengan ketepatan menggapai ubin, aku merangsek masuk ke kolong meja. Duduk dan menghadap ke belakang.

Aku dan Natala bertatapan. Sejenak, dapat kulihat sorot kepanikan di sana. Pada wajah brengsek Natala, aku bersumpah semoga peluru dari moncong pistol psikopat gila itu berciuman dengan dahinya. "Semoga kau cepat mati," bisikku mengerling padanya.

Langkah kaki tanpa alas semakin mendekat. Meninggalkan jejak becek di ubin dari telapak kakinya yang kotor serta jari kuku yang seolah berminggu-minggu tidak pernah dipotong. Sungguh perpaduan yang mengerikan. Aku ingin mengeluarkan semua isi perut dan segelas medium espresso yang kuminum sebelum ini.

Saat langkah berat itu berada tak jauh dari meja kami yang bersisian, Natala-entah dalam pengaruh setan apa-segera keluar dari bawah kolong dan menerjang psikopat buronan bersenjata itu. Aku refleks berteriak menyerukan nama Natala berkali-kali, melupakan rasa kesal sehabis menyumpahinya dan adu nasib yang kami lakukan barusan.

Pistol kehitaman terlempar di ubin depanku. Tepat di depan mejaku. Natala berteriak menyuruhku lekas keluar dan menembaknya. Aku luar biasa dilanda panik dan takut. Sekujur badanku bergetar. Buku jariku tiba-tiba saja melemas dengan sendirinya.

"Cewek brengsek!" Natala berteriak, "Ambil pistolnya goblok!"

Aku bego betul. Napasku malah berembus tak teratur. Tangan kananku bergerak maju mundur dengan keraguan dan kepanikan melumat secara utuh. Seumur-umur, tak pernah aku menggunakan pistol. Jangankan menembak, cara memegangnya saja aku tidak tahu. Sial. Sial. Sial. Sialan kau Natala. Semua ini salahmu!

"Kau yang brengsek!" Aku balas meneriakkinya (hebat, kan, tanganku tak mampu menggapai pistol, tetapi mulutku lancar menyumpahi Natala). "Dasar cowok bajingan! Pacar macam apa kau menyuruhku pegang senjata-"

"Aime!" Di balik meja, suaranya tambah mengeras. "Kalau aku mati lalu menjadi hantu gentayangan, kau adalah orang pertama yang akan kudatangi!"

Tanganku yang hendak tergerak menggapai pistol langsung urung. Aku semakin mundur ke dalam kolong meja. Menatap bayangan pergumulan Natala dan buronan psikopat itu. "Bagus!" teriakku, "matilah sana dan jadilah hantu!"

"Aime!" balasnya. Natala sepertinya benar-benar berapi. "Pistolnya-"

Aku memberanikan diri. Kudorong diriku semakin bergeser maju. Tanganku luar biasa kaku saat memegang pistol. Namun, lebih kaku bagai patung mati saat menyaksikan Natala yang berpelukan dengan buronan psikopat itu. Nah, ini bukan berpelukan romantis ala remaja kasmaran, tetapi lebih ke berpelukan mempertahankan hidup dan mati. Posisinya, Natala bagai menaiki pohon.

Aku bodohnya minta ampun, jadi ketika menembak posisinya betul-betul salah sasaran. Padahal sudah kufokuskan membidik pantat Natala dengan tepat. Namun, pergerakan mereka bagai penari balet. Peluruku mengenai satu lampu di atas kepala mereka. Sedikit cahaya padam, nuansa Encaffee agak gelap.

Natala menggunakan keberuntungan itu untuk melompat. Ketika sampai di ubin, ia langsung menerjang dada buronan psikopat itu sampai dia terjengkang jatuh. Saat itu terjadi, aku berdiri kaku seperti batang pohon mati.

Belum sempat aku melakukan apa-apa, Natala-dalam langkah pincang-menyeretku keluar. Benar-benar keluar dari kafe keparat ini.

Di luar, kami berlari menyusuri jalanan yang sepi. Dalam diam, aku tak bisa berkata-kata menatap Natala yang tangannya mengalung ke punggung leherku, sementara telapak tangannya yang lain menutupi luka tembakan di perut sisi kiri.

"Aku menyelamatkanmu," katanya. Luar biasa hebat, perutnya bolong dan dia masih mampu bicara seolah yang barusan terjadi hanya angin lalu. "Aku menyelamatkanmu, Aime."

thriller-nya ga berasa, yak? I know .... saya tau, kok '-')b

pengennya lanjutin ceritanya Sazan yang kehilangan adiknya di hari ke-2, tetapi itu kayaknya bakal panjang dan saya nggak mampu ngebut dalam semalam (atau beberapa jam, yak, sekarang, sebelum detlen). Tambah lagi, itu kasusnya agak dibumbui crime, polisi-detektif. Riset lagi. Maka, agar waktu saya nggak banyak kebuang, saya pake cerita Aime dan Natala aja yang terbilang ringan. Ehek.

yo '-')b //terbantai

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro