Dua
Tema: "Liburan bersama keluarga."
Mystery, thriller, crime
878 kata
Kami tiba di puncak gunung ketika sunset sedang indah-indahnya. Yellah—adikku—biasanya paling senang memotret pemandangan kala sang surya tenggelam. Setiap mendaki gunung, atau ke mana pun kami berada, ia selalu tak lupa menjepret apa pun yang berhubungan dengan langit.
"3.805 mdpl," celetuk Ayah, melihat altimeter dalam genggaman tangan.
Dalam beberapa saat, peluhku turun dituntun gravitasi. Kening dan pelipis basah. Badanku kelelahan. Aku mendudukkan diri pada rumput tebal yang hijau. Sesaat, berangsur menetralkan detakan jantung.
Ayah kemudian menongak padaku. Guratan pada wajahnya mengerut seakan melupakan—atau memikiran—sesuatu. Gesturnya membuatku panik dan khawatir. Setelah Ayah celingukan ke sekitar, memperhatikan suasana puncak gunung yang kentara tropis, lebat dan sepi, barulah aku sadar, jika kami naik ke sini bertiga, tetapi hanya dua orang yang tiba.
***
"Ayah bilang jaga adikmu!"
Kami menuruni setapak yang lumayan terjal dengan segera. Berkali-kali Ayah kuat menyumpahiku sementara kakinya bergumul di antara petanahan yang lembek. Bukan salahku. Ini ide Yellah yang ingin mendaki di saat remaja-remaja seumurannya yang lain liburan ke pantai, rumah sodara, jalan-jalan. Berbeda dengan mereka, destinasi liburan yang kami lakukan adalah naik gunung.
"Jika sampai terjadi apa-apa pada Adikmu, awas kau, Sazan," ancamnya.
Pria itu mungkin sudah lupa, jika sebagian besar pemicu ide ini juga bersumber darinya. Kendati kami sekeluarga memang hobi mendaki, tetapi bukan seenak kepala lututnya Ayah menyalahkanku begitu saja. Seakan-akan aku yang mengajak mereka berdua, padahal sebaliknya.
Sementara matahari semakin turun, hari menggelap dan primata mengisi udara. Itu pertanda buruk. Aku dan Ayah tiba di pos 5—pos paling dekat dari puncak gunung—tetapi tak ada seorang pun di sana. Tidak ada Yellah.
"Yellah!" Ayah berteriak gusar. Diusapnya wajah keras-keras seakan menumpahkan segala emosi di sana. "Yellah!"
Hanya ada lima pos untuk pemberhentian pendaki sebagai tempat istirahat, seingatku, di pos dua saja yang ada satu orang pemandu—pria umuran Ayah dengan perut buncit. Jika kami ke sana, artinya aku dan Ayah mesti turun lebih jauh lagi. Sebelumnya, aku menerima saja ketika pria pemandu itu mengajukan diri untuk menemani sampai ke puncak, sebagai upaya tidak terjadi hal seperti sekarang, tetapi Ayah berkeras jika liburan ini hanya untuk kami bertiga. Aku, dia dan Yellah saja.
"Kita harus turun!" tegas Ayah, "Kita harus turun di pos 2!"
"Ayah ...." Lidahku kelu. Lelah. Rasanya aku kesusahan melanjutkan kalimat.
"Ini semua gara-gara kau, Sazan!" Dibantingnya tas ransel ke tanah. Ayah membawa langkah kakinya ke arahku. "Jika kau memperhatikan adikmu, ini semua tidak akan terjadi! Sekarang lihat apa yang telah kau lakukan!"
Perawakan ini biasanya sering dia lontarkan pada Yellah dari pada aku. Menapak tilas memori, aku sendiri telah lupa kapan terakhir Ayah marah begini. Semuanya berangsur menghilang semenjak dia menikahi ibu tiri yang memiliki satu anak gadis bernama Yellah. Semua yang sering dia lakukan padaku ia lampiaskan pada Yellah. Sekarang, masa lalu itu terulang lagi.
"Bukan salahku ...." Suaraku bergetar, "Yellah hilang ... itu bukan kesalahanku ...."
Ayah mendekat. Gurat wajahnya jelas sekali bahwa ia sedang berang. Kedua kening terpaut dan rahangnya mengeras. Saat ia melayangkan telapak tangan pada wajahku, aku telah terpejam rapat. Menunggu tamparan itu memberi rasa panas pada tulang pipi, tetapi semuanya berhenti. Ayah, dia meraung berusaha menahan emosi. Berbalik badan tanpa bisa kuketahui sorot netra di sana.
Hari semakin menggelap ketika kami sampai di pos 2. Kakiku terasa kutung dan mati rasa. Tubuhku seperti banyak kehilangan energi. Ayah sendiri, masih berjalan tanpa sepatah kata pun sejak kejadian sebelumnya. Kami tiba di pondok kecil yang merangkap sebagai tempat istirahat para pendaki. Di sana, alih-alih menemukan pria pemandu, kami malah menemukan mayatnya. Tergeletak di lantai kayu ulin dengan posisi telungkup. Punggungnya sobek, beberapa jari pria itu terlepas. Darah kental begitu banyak menggenangi area sana sampai membuatku hengkang dari pos itu dan mengeluarkan sisa daging panggang tadi pagi di bawah pohon.
"Apa yang terjadi di sini?!" Ayah keluar dan segera menghampiriku. Senter di tangannya masih menyala ke sana-kemari. "Siapa yang melakukannya?!"
Andai aku tahu, sambungku dalam hati.
Kami tidak ada tujuan lagi untuk mencari kemana posisi Yellah, selain tak begitu mengenal secara spesifik gunung yang kami daki, masalah yang sedang aku dan ayah alami sekarang telah masuk ke ranah ... pembunuhan. Kriminal dan mestinya melibatkan polisi.
Sekitar jam sembilan malam, Ayah usai menelfon polisi. Para penegak hukum itu sempat beradu mulut dengan Ayah sekitar lima menit sebelum pada akhirnya mengatakan akan mengirimkan bala bantuan, tim SAR, medis, dan beberapa sukarelawan. Lepas itu, aku dan Ayah beranjak turun satu pos lagi guna menjangkau tempat istirahat paling dekat dengan rute masuk mendaki—pos 1.
Pukul sepuluh, polisi, sekompi tim SAR dan lainnya tiba, segera melakukan pencarian. Sebagian naik ke puncak lagi, sebagian masuk ke hutan sekeliling jalur pendakian.
Seakan tak lebih buruk, cuaca ikut andil mengacaukan keadaan. Hujan turun kepalang lebat hingga pencarian sempat dihentikan. Selama empat jam berikutnya beberapa regu pencarian turun ke pos 1—yang sekarang didirikan dua tenda di dekat pondok pos—dan melapor menemukan sebuah kamera rekaman berisi potret gambar dan video buram, di sudut terjauh jalur pendakian antar pos 4 dan pos 5, yang tampaknya diambil dalam kondisi cekatan, panik dan berlari—atau apa pun penyebabnya.
Satu hal yang pasti; kamera itu milik Yellah.
do'akan ya, semoga nanti dapet tema yang sesuai, biar Sazan, bapak e, tim SAR, regu polisi dan antek-anteknya berhasil nemuin Yellah. ༎ຶ‿༎ຶ
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro