Bab 2- Bad Husband
My wife, sorry, i'm still not perfect to be your priest
--Untukmu, Pelengkap Imanku---
------------------------------
Aku mengusikan badan ketika Alarm diponselku berbunyi, aku memang sengaja memasang alarm jam 02.30 pagi. Ada jadwal penerbangan pagi hari ini. Aku tidak mau telat.
Aku mengarahkan tubuhku menghadap samping, mataku langsung menangkap sosok istriku yang sedang tertidur pulas, wajahnya begitu tenang, walau matanya sedikit sembab. Setiap kali melihatnya seperti ini, aku benar-benar merasa bersalah. Aku marasa tak berguna menjadi seorang suami. Bahkan, aku sempat berfikir, setelah lama kami menikah, apa yang telah aku berikan padanya? Apa yang telah aku berikan untuk membuatnya bahagia?
Menurutku, aku belum bisa membahagiakannya, aku hanya mampu membuatnya menangis, membuatnya matanya menjadi bengkak.
Tangaku terulur mengusap rambutnya, 5 detik selanjutnya, aku beranjak dan bergegas untuk bersiap.
Setelah semuanya sudah siap, aku bergegas untuk berangkat. Tapi mataku terus menatap wajah Vania yang sedang tertidur. Aku bahkan tak tega membangunkannya pagi-pagi buta seperti ini, dia terlihat lelah. Aku sudag memberitahukannya kalau hari ini aku ada dinas, dan dia sempat berpesan padaku agar membangunkannya ketika aku akan berangkat. Tapi aku benar-benar tak tega. Aku tak ingin menganggu tidur pulas Vania yang bahkan jarang aku jumpai, biasanya Vania tak pernah bisa tidur nyenyak.
Aku mengambil secarik kertas dan menuliskan pesan untuknya.
Sayang, maaf Mas nggak membangunkan kamu, kamu sedang tidur pulas, Mas nggak tega. Mas cuma minta doa dari kamu, semoga Mas diberi keselamatan oleh Allah, dan bisa pulang kerumah dengan selamat juga.
I Love You, Makmum Shalatku,
Dari Imamu
Aku menaruh kertas itu dinakas, berharap Vania bisa mudah membacanya. Aku mengecup sekilas puncak kepalanya yang sedang terlelap.
"Mas sayang kamu," gumamku.
Detik selanjutnya, aku langsung bergegas menuju bandara, tapi sebelum itu, aku mampir ke kamar anak anakku, Alano, Alain, dan Adrian. Aku mengecup puncak kepala mereka satu persatu. Selain kepada Vania, aku juga merasa sangat bersalah karena tak bisa menghabiskan banyak waktu dengan mereka. Sempat berpikir, Ayah dan suami macam apa aku ini? Bahkan membagi waktu dengan keluarga saja aku keteteran. Dan aku hanya berharap, semoga istri dan anak-ankku mengerti dengan profesi yang aku jalani.
****
Bandar Udara Soekarno-Hatta
"Captain!!" Teriakan itu terdengar nyaring ditelingaku, siapa lagi kalau bukan lelaki mulut cempreng, Pian. Setiap hari kerjaanya membuat telingaku terasa sakit.
"Apa, Yan?"
"Ish, kenapa muka lo ditekuk gitu sih? Lo lagi ada masalah ya?" Terka Pian, aku mengelak, walau sebenarnya benar. Aku lagi dilanda masalah yang sangat membuatku bimbang.
"Nggak. Gue cuma kurang tidur aja," dusta ku. Allah, maaf, hamba berbohong.
"Yakin? Bukan karena ada masalah sama Vania, kan?"
"Kaga. Udah lo jangan kepo. Mending kita masuk, bentar lagi kita berangkat."
"Iya, iya."
Hari ini aku akan mengendarai pesawat Boeing 777X dengan tujuan Yogyakarta. Aku sebisa mungkin harus menetralkan pikiranku, terutama masalah yang aku hadapi, aku tak mau jika masalahku ini akan membahayakan ratusan nyawa yang aku bawa. Lelah memang, tapi ini lah resikonya, konsentrasi tinggi diutamakan disini. Tapi tak apa, karena aku yakin, lelahku ini akan menjadi lillah nantinya.
***
Bandar Udara Internasional Adisutjipto, Yogyakarta.
Waktu istirahat tiba, aku dan Pian bergegas mencari resaturant terdekat untuk mengisi perut. Karena setelah ini masih ada penerbangan lainnya.
Kami mengunjungi salah satu resaturant benuansa tradisional. Setelah kami memesan, tak lama Pian pamit untuk ke toliet, tinggalah aku sendirian disini. Daripada bosan, aku mengeluarkan ponsel, beberapa pesan tak terbaca terlihat menumpuk di bilah notifku. Dan itu semua dari Vania.
Aku membuka pesannya.
My Wife:
04.30
Mas
04.32
Mas kenapa gak bangunin aku sih?
04.33
Kan aku bisa nyiapin baju buat Mas, siapin sarapan juga buat disana
05.30
Mas sarapan apa?
07.30
Udah makan belum?
Me:
13.00
Maaf, Van. Mas baru baca pesan kamu, Mas udah sarapan kok. Dan sekarang lagi makan siang. Kamu sendiri lagi apa?
Tak ada jawaban lagi dari Vania, sepertinya dia sedang sibuk. Ya ini memang resiko, aku harus bisa menahan rindu berkumpul dengan keluarga, dan, komunikasi kami juga terbatas. Aku dan Vania paham akan itu.
Detik selanjutnya, seorang perempuan datang mengahmpiriku dan duduk di kursi sebelahku. Aku kaget, dan menjaga jarak darinya.
"Sendirian aja, Mas?" Tanyanya, perempuan itu sangat menor dengan make-up yang sangat berlebihan. Ditambah dengan pakaian yang menurtku tidak sopan, membuatku enggan berlama-lama dekat dengannya.
Aku diam, dan cuma menganggukan kepala.
"Mas ini Pilot ya? Wahh keren banget. Udah ganteng, Pilot pula." Pujinya. Aku tak tahu apa niat dari wanita ini, yang jelas, aku benar-benar tak nyaman. Aku takut terjadi fitnah.
Dia semakin mendekatkan tempat duduknya denganku, mempersempit jarak antara aku dengannya.
"Mas, kok makin jauh sih duduknya? Saya kan mau kenalan sama Mas,"
Astagfirullah, wanita macam apa dia ini yang tak bisa menjaga etikanya, bahkan kepada lelaki.
Bahkan aku semakin ingin jauh-jauh darinya.
"Mas, saya ngajak ngomong, kenapa Mas diam aja ihh?" Desahnya.
"Maaf, Mbak. Kita bukan muhrim, lagipula saya takut terjadi fitnah, memang seharusnya kita berjauhan seperti ini. Hanya istri saya yang punya hak duduk dekat dengan saya," kataku tegas. Aku tak ingin menyakiti hati wanita itu, tapi kalau tidak dengan cara ini, aku takut dia akan berbuat yang lebih dari ini.
"Mbak sudah tidak punya urusan lagi kan sama saya? Mbak boleh pergi dari meja ini, nggak enak dilihat sama yang lain."
Wanita itu hanya diam sambil menatapku tajam. Merasa ditatap tajam, aku langsung memanglingkan pandangan.
"Baiklah, sepertinya Mbak betah dengan meja ini, kalau begitu, biar saya yang pindah," kataku sudah tak mau meikiran perasaan dia lagi.
Aku sedikit merasa bersalah, karena telah menyakiti hati seorang wanita, bahkan mungkin, dosaku sudah menumpuk karena sering juga membuat Vania menangis. Aku benar-benar lelaki tak berguna.
Allah, maafkan hamba, ampuni hamba, karena hamba sering kali membuat sayatan di hati makhluk mulia ciptaanmu.
****
Larut malam aku baru sampai di rumah, semuanya sudah sepi, selalu saja begini, ketika aku berangkat, aku tak sempat bercengkrama dengan istri dan anakku, dan ketika pulang juga sama, mereka sudah tertidur dengan pulas.
Sempat sesekali aku putus asa, karena tak bisa menghabiskan banyak waktu dengan keluarga seperti yang lainnya. Tapi memang ini keputusanku, dan aku harus menerimanya dengan lapang dada.
Aku membuka pintu kamar, Vania terlihat tertidur pulas disana. Aku perlahan mendekatinya, membenarkan posisi tidrurnya, menyelimutinya, lalu terakhir mengecup puncak kepalanya. Beribu maaf aku selalu ucapkan dalam hati karena masih belum bisa membuat wanita yang sedang tertidur pulas dihadapanku ini bahagia. Tapi aku percaya, suatu saat nanti, Allah akan memberiku kebahagiaan yang tiada tara. Aku hanyalah manusia yang mencoba istiqomah menjalani takdir darinya. Tanpa banyak mengeluh dan sebagianya.
Sering kali aku bersedih ketika melihat wajah Vania, wajah yang selalu terlihat tegar namun didalamya menyembunyikan kesedihan yang amat mendalam. Vania memang pintar menyembunyikan kesedihannya, dia selalu terlihat biasa saja, seolah tidak ada beban dalam hidupnya.
Aku memang pria bodoh, sesulit itukah meninggalkan dunai penerbangan? Padahal itu demi kebahagiaan istriku juga, padahal aku tau betul bahwa kebahagiaan istri akan menjadi kebahagiaan suami juga. Begitupun sebaliknya. Dan itulah yang akan membuat bahtera rumah tangga semakin kuat.
Tapi egoku terlalu besar, aku belum bisa, tidak mudah merelakannya begitu saja. Allah, kenapa kau berikan hamba dua pilihan yang amat berat? Dan, kenapa dengan mudahnya kau membiarkanku berbuat dosa dengan menyakitu hati istriku?
****
Wahai Tuhanku,
Aku bukanlah ahli surga
Tapi aku tak kuat dengan api neraka
Karena sesunguhnya engaku maha pengampun dosa-dosa besar
Maka karuniakanlah kepadaku tobat dan ampunilah dosaku
Dosaku bagaikan tumpahan pasir dipantai
Sedang dosaku kian bertambah
Sementara umurku setiap hari berkurang
Entah bagaimana aku memikulnya,
Sedangkan dosaku selalu bertambah
Tuhanku,
Hamba-Mu yang hina ini telah datag padamu
Mengakui dosa-dosa dan mennyeru memohon kepadamu
Ampunilah dosaku,
Karena hanya engkau yang maha pengampun
Namun jika engaku tolak,
Entah kepada siapa lagi aku memohon selain kepadamu.
----------------------------
Tbc
Baru pertama ini saya nulis pake POV laki-laki. Rada kaku sih😅 semoga suka deh.
Respon bagus, up cepet.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro