Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

05. Karena Kita Keluarga


Besok, kita akan pergi ke mana?
― C.

ーーー

11 Januari 2023

Sunyi. Rumah yang dulu penuh suara kini sangat sunyi. Semua anggota rumah sibuk pada pikirannya masing-masing. Padahal biasanya tanggal 11 Januari adalah hari yang penuh dengan tawa, bahagia, dan sejenis lainnya. Namun, khusus tahun ini dan tahun sebelumnya; 11 Januari hanyalah hari biasa yang kedudukannya sama dengan hari-hari lainnya.

Pria berusia empat puluh tahun itu keluar dari ruangannya dengan pakaian rapi seolah sudah siap melangkahkan kaki keluar rumah. Sejenak, dia menatap anak sulungnya yang hanya diam di sudut ruang tengah dengan buku bacaannya. Pria itu menghela napas pelan sebelum dirinya benar-benar memegang gagang pintu keluar.

"Aya, selamat ulang tahun yang ke-22."

"... Iya."

Aneh rasanya. Seingat Solar, perayaan ulang tahun Cahaya tidak pernah seperti ini sebelumnya. Lantas, mengapa kali ini terasa sangat berbeda dibanding tahun-tahun sebelumnya? Tahun sebelumnya pun mereka sudah mengetahui rahasia Solar tapi tetap merayakannya dengan 'cukup' meriah.

"... Kamu mau apa?"

Bukannya dijawab, Cahaya malah melontarkan pertanyaan pada Solar. Dia menutup bukunya dan menatap ke arah sang ayah. "Papi mau ke mana?"

Pertanyaan Cahaya itu dibalas dengan tatapan lelah Solar. Dia mengabaikan pertanyaan Cahaya, membuka pintu keluar, dan memakai sepatunya. Ada jeda sekitar empat sampai lima detik sebelum Solar kembali menoleh ke arah sang anak yang sudah balik membaca buku; karena berpikir pertanyaannya tidak akan dijawab.

"Rumah sakit. Kamu mau ikut?"

Mendengar ucapan Solar, mata Cahaya melebar. Dia mengerjapkan matanya beberapa kali karena tak percaya; mencoba memberi kode kepada Solar untuk mengonfirmasi ucapannya sekali lagi.

"Papi serius."

"... Atas dasar?"

"Kamu memang sudah berhak tau. Toh, sekarang umurmu sudah dua puluh tiga."

"... Papi yakin?"

"Pernah Papi buat keputusan tanpa rasa yakin?"

Ucapan Solar membuatnya terdiam. Mengingat siapa ayahnya, Cahaya tidak bisa mengelak atau menolak faktanya. Solar adalah tipe orang yang membuat keputusan dengan tiga langkah selanjutnya di depan.

"... Kalo gitu, Aya mau ikut."

Solar mengangguk, "Siap-siap a―"

"―mami juga mau ikut, boleh?"

Omongan Solar dipotong oleh seseorang yang datang dari balik pintu kamar. Itu istrinya, [Name]. Kali ini, tidak ada senyum di paras cantiknya, benar-benar netral tanpa ekspresi.

"... Buat apa?"

"Ya aku istrimu. Aku juga berhak tau, justru malah lebih dari Cahaya, Solar."

"...." Solar menghela napas pelan, kalau sudah seperti ini mau bagaimana lagi? Lantas, dia mengiyakan ucapan [Name] dengan sedikit tambahan kalimat, "Ajak Cher sekalian."

Pada tanggal 11 Januari 2023, segala kepingan puzzle itu mulai tersusun. Tersisa satu kepingan lagi untuk menuju akhir. Entah itu akan menjadi kepingan yang membahagiakan atau malah membuat mereka menangis terisak-isak.

_____

1 Januari 2024

"Cher, Kakak mau ngomong."

Kala namanya dipanggil oleh sang kakak, Cher merasakan bulu kuduknya merinding. Dia sudah tahu, ini pasti ada hubungannya dengan tulisan yang ia tumpahkan ke dalam buku kecil untuk dibaca oleh Cahaya. Namun, bukan Cher namanya kalau tidak mengiyakan segala ucapan ataupun tindakan Cahaya (selama tidak merugikan orang lain).

"... Bahas apa dulu?"

"Yang kamu tulis ... Kakak nemu di atas meja."

"Itu memang buat Kakak."

"... Kamu serius?"

Sorot mata Cahaya pada Cher terlihat penuh dengan rasa berharap agar Cher berbohong. Namun, perempuan yang bersangkutan hanya menghela napas dan mengangguk.

"... Maaf." hanya kata itu yang berhasil keluar dari mulut mungil Cher. Sisanya, dia tidak tahu harus berkata apa lagi.

"Papi ada nulis surat buat kamu juga?"

"Ada,"

"Isinya?"

"Nggak beda jauh dari kalian."

Cahaya menghela nafas panjang, dia menatap Cher dalam sebelum maju mendekati sang adik sampai tangannya mampu meraih bahunya. "Cher,"

"... Iya, maaf. Aku tau Kakak kecewa karena aku milih sembunyiin semuanya...."

Padahal, Cahaya baru memanggil namanya. Namun, adiknya ini sudah membuat kesimpulan akhir. Astaga, Cahaya jadi ingin tertawa karena merasa lucu.

"Siapa yang bilang Kakak kecewa?"

"... Huh?"

"Kakak belum ngomong apa-apa, loh."

"Yaa tapi harusnya Kakak marah."

"Buat apa? Karena kamu rahasiain semuanya?"

"Iya." lantas, Cahaya melepaskan kekehan kecil dari mulutnya. "Masa karena gitu doang Kakak kecewa? Toh, kamu rahasiain karena kamu tau Papi pasti gamau kan yang lain tau?"

Lagi, dugaan Cahaya diangguki oleh Cher.

"Kalo gitu, nggak ada yang harus disesali. Nggak perlu ada kata maaf. Kita berdua di sini sama-sama korban dari bentuk egois dua orang dewasa."

Benar, Cher menyetujui ucapan Kakaknya. Mau bagaimanapun juga, mereka berdua adalah korban. Korban atas bentuk egois dua orang dewasa.

"... Maaf, ya."

"Kamu minta maaf terus lama-lama Kakak nggak ngomong sama kamu, nih."

"... Heh!"

__________

11 Januari 2024

"Selamat ulang tahun, Cahaya." suaranya terdengar lirih, penuh kesakitan. Namun, pesan dan rasa antusiasnya bisa Cahaya rasakan. Lantas, Cahaya tersenyum tipis. Pemuda itu mengangguk berterima kasih sebelum berjalan mendekati ranjang inap yang sedang ditempati oleh pria kepala empat itu.

"Makasih, Papi."

"Ada yang Aya mau untuk ulang tahun yang ke-23?" Solar terkekeh, "Papi mau ngewujudin apa yang Aya mau di tahun ini, karena di tahun selanjutnya Papi belum tentu bisa ikut ngerayain." Ujaran Solar tadi hanya dibalas senyum oleh Cahaya.

Laki-laki kelahiran Januari itu duduk di kursi yang telah disediakan. Tangan kanannya perlahan berjalan menuju tangan kanan sang ayah yang berteman dengan infus.

"Kalo misal Aya mau Papi ngerayain ulang tahun Aya lagi di tahun 2025, kira-kira bakal Papi wujudkan, nggak?"

Lantas, Solar tertawa pelan. "Boro-boro, Papi aja nggak yakin Cher ulang tahun nanti Papi masih ada." Niatnya untuk menghibur, tapi perkataan Solar tadi justru malah mengundang rasa gelisah Cahaya.

"Yang realistis dikit dong, Aya."

"Ya memang itu kurang realistis?"

"Iya. Kurang banget."

"Haih..."

Sebelum Cahaya sempat menyelesaikan pikirannya tentang kado apa yang dia inginkan, pintu ruang inap digeser oleh dua perempuan di keluarganya, sang ibu dan sang adik. Terlihat jelas mereka membawa sebuah kotak kue besar untuk ulang tahun Cahaya yang ke dua puluh tiga.

"Kak Aya, hepibesdey!"

"Aneh banget hepibesdey-an di rumah sakit begini. Kenapa nggak di rumah aja sih?" Komentar Solar yang mengundang gelak tawa milik [Name].

"Kalo rayain di rumah, kamu gimana? Kan Cahaya maunya ngerayain berempat."

[Name] membuka kotak kue ulang tahun di atas meja dengan anak perempuannya yang membantu, sedangkan Cahaya masih tetap di tempatnya sembari menggenggam tangan kanan Solar. Perlahan, Cahaya mulai merasakan bagaimana dinginnya tangan Solar.

"Aduh... jadi bau kue ruangannya."

"Diem kamu, Lar!"

Setelah itu juga, Solar langsung diam. Membuat Cahaya dan Cher terkekeh geli. [Name] ini memang galak, ya. Hanya saja galaknya itu bukan sembarang galak, tapi juga terselip rasa perhatian di dalamnya.

Selesai kue dibuka dengan lilin dinyalakan di atasnya, [Name] langsung memberikannya pada Cahaya agar bisa ditiup; yang mana tentunya Cahaya mengerti dan berjalan mendekati kue.

"Ini make a wish dulu?"

"Lah, emang masih percaya begituan?"

"Lu bisa diem aja gak, Lar?"

"Gue cuma nanya??"

Selagi keduanya beradu mulut, Cher mendekati Cahaya dan berbisik di telinganya. "Udah, make a wish aja, Kak." lantas, ucapan Cher itu diangguki oleh Cahaya.

'Semoga, ada keajaiban di mana Papi bisa bertahan lebih lama lagi. Seenggaknya sampai Cher menikah; biar Cher bisa ngerasain kayak yang lainnya. Rasa seperti: bagaimana rasanya menikah didampingi ayah sebagai walinya.'

Bahkan sampai di umur dua puluh tiga pun, yang dipikirkan oleh Cahaya adalah masa depan adiknya.

Setelah membuat permohonan, Cahaya meniup lilinnya dan tersenyum. Dia mengambil pisau plastik yang sudah sepaket dengan kuenya dan mulai memotong.

"Mami sama Papi nggak mau kuenya?"

"Loh, Aya udah tiup lilin?!"

"Makanya jangan berantem mulu! Kasian itu Papi udah sakit-sakitan masih berantem sama Mami."

Astaga.

________

Sudah kelar semuanya. Cahaya dan Cheryna balik pulang ke rumah, sedangkan [Name] berada di ruang inap menemani Solar. Dia akan menginap untuk beberapa hari ke depan; biar kalau ada apa-apa, [Name] bisa dengan sigap menolong.

"[Name]," kala keadaan sedang hening, Solar memanggil nama istrinya, yang mana panggilan itu disahuti dengan gumaman tak jelas.

"... Maaf, ya."

Mendengar ucapan sang suami, seluruh fokus [Name] langsung menuju pada dirinya seorang. Dia mengerutkan keningnya bingung, meminta penjelasan dari Solar atas permintaan maafnya itu.

"Apa? Buat apa?"

"Segalanya. Semisal kita gak nikah, kamu nggak perlu ngerasain kayak gini."

"...."

"Pernah nggak sih nyesel karena nikah sama aku? Nggak, aku yakin pernah. Karena kita sering berantem tanpa alasan yang jelas. Apalagi dulu aku sempet nggak nerima keberadaan Cahaya. Aku selalu diam tiap ada masalah sama kamu. Jujur, dua puluh empat tahun kita menikah, komunikasi kita itu kurang. Lebih tepatnya, aku yang mengurangi komunikasi kita."

Solar menyudahi kalimatnya. Nampaknya, masih ada yang ingin dia ucapkan, tapi tak terucap karena bingung bagaimana menjelaskannya. Untuk saat ini, segitu saja dulu. Oleh karena itu pula, [Name] balik memanggil namanya.

"Lar," dia menghela napas panjang sebelum mendekat ke arah suaminya. "Semisal aku nggak nikah sama kamu, anak sehebat Cahaya dan Cheryna nggak akan lahir."

Ah, betul juga.

"Masalah nyesel... Ya, sering. Kalo ada masalah atau apa, aku selalu ngerasa nyesel nikah sama kamu karena kamu nggak pernah mau jelas dalam mengurus masalah. Kayak masalah kesehatan kayak gini, jujur, aku hancur banget dengernya. Aku nggak tau harus gimana lagi setelah baca surat dari kamu. Aku cuma bisa nunggu waktu datangnya aja. Maaf, ya."

"... Ngapain minta maaf?"

"Memang cuma kamu yang punya salah? Walau JUJUR IYA, salahmu banyak banget, tapi di sisi lain aku juga punya salah."

"... Gitu, ya?"

Solar tampak berpikir sebentar. Dia menatap tangannya yang dipenuhi oleh infus sebelum kembali menatap [Name].

"Kalo gitu ... kita udah saling memaafkan, waktuku juga nggak banyak. Mau coba baikan kayak dulu?"

"...."

"Kayak yang kamu bilang, sekarang cuma bisa nunggu kapan waktunya datang. Maka dari itu, sebelum waktunya datang, mau coba bahagia kayak dulu lagi? Kayak pas jauh dari sebelum adanya konflik di dalam pernikahan kita."

Tawaran Solar itu membuat mata [Name] melebar, dia sedikit tertegun, tapi juga menyangka kalau Solar pada akhirnya akan meminta seperti ini.

"... Boleh. Ayo kita bahagia lagi; bareng Cahaya dan Cheryna."

Solar terkekeh, dia mengangguk mengiyakan sebelum meraih istrinya agar jatuh ke dalam pelukannya. [Name] akui, pelukannya sekarang tidak pernah erat lagi karena memudarnya tenaga Solar perlahan. Namun, kalau soal kehangatan dan ketulusannya, maka tidak perlu diragukan. Rasanya masih sama seperti saat mereka saling jatuh cinta pada masa remaja.

Benar, untuk apa yang terjadi ke depannya biar waktu yang menjawab. Untuk saat ini, lebih baik mereka berempat membuat lebih banyak kenangan; rekaman; foto; dan jenis lainnya yang bisa diingat dengan baik. Seenggaknya, agar ketika pria itu meninggalkan segalanya―mereka tidak akan benar-benar lupa bagaimana suaranya, bagaimana rupanya, dan bagaimana hatinya.

Mereka hanya perlu menunggu kapan waktu akan memanggilnya, karena mereka rasa, sudah tidak ada harapan lagi (kecuali keajaiban) untuk Solar. Doa dan bentuk usaha lainnya sajalah yang bisa mereka kerahkan.

Toh juga, pada akhirnya, semua akan kembali ke pelukan-Nya. Pada akhirnya, manusia juga akan layu seperti bunga. Entah itu [Name], Cahaya, ataupun Cheryna ... semua manusia akan kembali ke dekapan-Nya.

Tidak perlu ada yang dikhawatirkan, karena mereka berempat bahagia. Bahagia lebih dari siapapun itu.

_______

Besok, mari kita pergi ke tempat di mana kita bisa bahagia tanpa perlu rasa cinta dan kasih sayang di dalamnya.
― C.


END.

____

iyes, alias ini tuh open ending gitu. terserah menurut kalian gimana aja 🔛🔝

intinya yang mau aku sampaikan di akhir cerita, mereka berempat itu udah di tahap pasrah dan mengerti. makanya, dibanding mikirin kapan salah satu dari mereka bakalan pergi, mereka justru bikin lebih banyak memori.

karena ya, gimana ya... kadang kalau orang sudah meninggal, suatu saat kita lupa sama suara atau rupanya. makanya itu, segala memori direkam sama mereka biar bisa mengingat.

di sini aku juga nyelipin, komunikasi itu penting. nikah itu juga gak sekadar nikah. ngurus anak gak cuma sekadar ngurus anak.

aku cuma mau menyuarakan suara anak-anak di luar sana lewat buku solar... jadi, kuharap kalian (mungkin beberapa) yang merasa seperti di posisi cahaya atau cheryna entah itu mirip atau persis, bisa terus semangat, ya. yang lain juga semangat!

buku solar sudah ending, kini beralih ke mana guys?? betul, halilintar <3

dadaaah! makasih banyak ya sudah stay di buku ini sampai tamat (walau cuma lima bab).

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro