Indhen Kehidupan
Seorang lelaki turun dari sepeda dan memarkirkan sepeda itu tepat di depan warung nasi. Helmnya dilepas. Rambut coklatnya jatuh tepat menghalangi pandangannya. Dipeganglah beberapa helai lalu ia usap ke kiri. Manik hitamnya bercahaya. Alis tebal yang dimilikinya sungguh membuat orang lain iri. Wajah mulusnya yang terpantul cahaya matahari, membuat siapa saja yang melihat lelaki itu bisa saja jatuh hati. Ia pun tersenyum kepada cakrawala.
"Kita lihat kau punya kejutan apa hari ini untukku, Semesta." Lelaki itu pun melangkahkan kakinya ke dalam warung.
Kedatangannya disambut senyum ramah para pekerja. Mata lelaki itu tertuju pada ayam rendang yang baru saja diangkat dan sambal ulek yang baru saja jadi. Akan tetapi, telur ceplok di ujung etalase seakan-akan menggodanya. Ia tak menyangka akan mudah tergoda dengan sebuah makanan dibanding para gadis yang sering mendekatinya.
"Bu, menu biasa, ya. Ditambah telur baladonya satu." Salah seorang pekerja dengan celemek barbie mengangkat jempol. Bu Inah namanya, ia adalah pemilik warnas sekaligus ibu dari semua siswa Kusuma Bangsa.
Setelah membayar makanan yang ia pesan, lelaki itu pergi ke sebuah tempat yang harus ia kunjungi setiap hari. Setiap orang yang dilewat ia berikan senyum terhangatnya. Ia tidak pernah tahu bahwa senyumannya itu terkadang membuat orang salah tingkah. Tepat di perempatan jalan, kakinya berbelok ke arah kiri dan ia pun mulai berlari menuju sebuah rumah di ujung jalan.
Penampilan rumah itu seperti rumah pada umumnya. Namun, menurut lelaki itu rumah tersebut adalah tempat yang spesial. Jika kalian pernah merasakan ingin menangis tanpa dengan alasan yang jelas, itulah yang ia rasakan setiap pagi ketika berkunjung. Tidak, ia tidak cengeng. Bahkan dirinya sudah terdidik untuk tidak menangis sedari kecil. Ironisnya, mulut yang lelaki itu miliki tertutup rapat. Satu kata pun tak pernah terucap ketika sudah berada di depan rumah ini. Setelah meletakkan makanan di depan gerbang, pria itu pergi dengan perasaan yang bersalah.
---
Gerbang yang dilapisi cat putih sudah terbuka sejak tadi. Semua kaca terlihat mengilap dari gedung satu ke yang lain. Koleksi-koleksi piala berderet rapih menyambut para generasi emas yang siap belajar. Tanaman-tanaman beraeneka ragam mengelilingi lapangan. Ini adalah pemandangan Kusuma Bangsa. Sekolah yang dulunya hanya boleh dimasuki orang-orang ningrat. Sekarang sudah berbubah menjadi sekolah yang berhak dimasuki semua kalangan.
Waktu belum menunjukan pukul tujuh tiga puluh. Namun, suasana pagi di sekolah ini sudah sangat ramai. Pemandangan pagi yang bisa kalian temui di SMA Kusuma Bangsa di antaranya; para guru yang siap siaga menunggu di depan gerbang, buciners yang saling bertatapan saling mengode sebelum masuk gerbang neraka, dan antrean panjang di ujung kantin. Ujung kantin Kusuma Bangsa tempat di mana teteh Amoy menjual risol legendarisnya.
Koridor sekolah selalu dilewati kuda Troya yang siap bertempur. Besar maupun kecil, ramping atau lebar ke samping, semua siswa berlomba-lomba menjadi yang terdepan untuk bisa mengantre. Teteh Amoy memiliki cara tersendiri untuk mentertibkan siswa dan siswi yang akan membeli dagangannya. Siswa yang tidak memakai atribut lengkap dilarang membeli. Siswa yang mengotori atau membuang bekas makanannya sembarangan akan di-banned untuk membeli jajanannya lagi. Siswa yang menerobos atau tidak mengantre akan ditaruh di bagian paling belakang antrean. Tidak peduli dengan status yang dimiliki pembelinya, teteh Amoy hanya ingin menjadikan kantin SMA Kusuma Bangsa tertib dan juga kondusif.
Di antrean awal seorang gadis dengan rambut hitam yang dikepang klasik sedang bersenandung ria mendengarkan lagu dari grup favoritnya. Ia kencangkan volume musik setiap kali terbesit kejadian yang baru saja ia alami. Alih-alih ingin melupakan hal tersebut, Pita bisa masuk THT jika terus seperti itu.
"Shoot! Take a panorama."
Kaki, tangan dan kepala Pita tidak bisa berhenti bergerak. Tubuhnya dihipnotis oleh alunan lagu upbeat nan melodis yang ia dengar. Bagian chorus adalah bagian di mana ia harus mencoba bertahan untuk tidak mengikuti koreografi dari lagu tersebut. Pasalnya orang yang sedang berdiri di depannya ini adalah kakak kelas incaran Pita. Di depan doi kita tidak boleh melakukan split secara tiba-tiba bukan?
Tubagus Prayoga, atau yang sering disebut kang Yoga merupakan senior Pita sekaligus pradana putra di eskul pramuka. Percaya pasti percaya Pita mengikuti eskul pramuka reguler saat kelas sepuluh hanya untuk mendapatkan nomor kakak hitam manis itu. Sekarang sudah sampai mana hubungan Pita dan Yoga? Sebut saja dulu mereka pernah dekat. Yoga tidak men-ghosting perempuan itu. Hanya saja karena kaki besi yang dimiliki Pita membuat Yoga dicemooh orang-orang sekitar sekolah ketika dirinya sering mengantar gadis itu pulang.
"Eh-eh liat, deh. Si Cyborg lagi deketin kak Yoga lagi tuh," kata seorang perempuan di belakang Pita. Bisikan makhluk halus kasat mata itu masuk ke dalam telinga Pita dan menusuk tajam seperti silet. Earphone yang terpasang ia lepas. Perempuan itu menghela napasnya perlahan. Moodnya seketika hancur begitu saja.
"Lu pagi makan cabe jablay, yah? Pedes amat omongannya," ucap perempuan yang ada di belakang Pita kali ini dengan nada yang lebih pelan.
"Bilang aja lu nggak tau gosipnya 'kan? Nih gua kasih tahu, dia itu ...."
Sebelum perempuan itu melanjuti, temannya tiba-tiba saja mendesis seperti ular.
"Pagi-pagi lu udah mau makan bangkai hewan? Udah jelas-jelas orangnya di depan kita. Lu kalau berani ngomong depan orangnya, deh. " Setelah mendengar kata-kata itu dari mulut temannya, sang bigos diam seribu bahasa. Pita pun tersenyum. Ternyata masih ada seseorang yang bisa menghargai sesama walaupun memiliki dirinya berbeda.
"Antrean selanjutnya!"
Saat yang Pita tunggu akhirnya datang. Kini gilirannya untuk membeli camilan legendaris. Senyum dari teh Amoy dan juga setumpuk risol yang sudah ada di hadapannya benar-benar membuat moodnya naik lagi.
"Teteh meser risolna sapuluh!"
"Eh, teu kenging teu kenging! Maksimal na pan tilu, Pit. Hawatos nu sejen."
"Mun, mesen ka teteh tiasa? Pre-order kitu."
"Oh, tiasa-tiasa. Paling weekend wios?"
"Wios, Teh!" Teteh Amoy pun memberikan jempol kepada Pita sebagai respons.
Setelah membeli risol. Pita pun mencari tempat duduk. Matanya memindai tempat paling strategis untuk menikamati sarapan paginya. Dalam beberapa detik matanya pun terkunci ke meja yang dekat dengan wastafel. Ketika kakinya akan beranjak pergi. Seseorang dari belakang menarik baju Pita.
"Ciat-ciat mau ke mana nih."
Pita pun refleks membalikan badan. Di belakangnya berdiri seorang lelaki tinggi berambut coklat sedang tersenyum kepadanya. Tidak-tidak ia bukan pacar Pita. Melainkan saingan Pita semenjak ia duduk di bangku sekolah dasar. Lelaki paling menyebalkan seantero Kusuma Bangsa sekaligus laki-laki yang selalu ada di mimpinya akhir-akhir ini.
Adipati Retno Saputra.
~Bersambung~
===
Podium
Teteh = Sebutan cewe yang lebih tua tapi masih terbilang muda (?) ya, gitu deh pokoknya.
Meser = Beli
Teu kenging = Gak bisa atau gak memungkinkan
Tilu = Tiga
Hawatos = Kasihan
Nu sejen = yang lain
Tiasa = Bisa
Wios = Gapapa (ini bentuk yang lebih halus (lemes), di sunda ada tingkatannya gitu)
Fun fact : Di Bandung itu kebanyakan pake bahasa Sunda lemes lain lagi kalau Bogor 🙂
===
Hi, semuanya!!! Kumaha damang? Balik lagi nih, sama Xenon. Di part barunya Untold. Waduh, satu lelaki di mimpinya Pita udah ketahuan, nih! Ada yang bisa nebak nggak siapa satunya? 👀. Seriusan dua part sekarang publish jam 23:58-23:59 mepet banget deadline wkwk. Ini juga diedit dulu sesudah publish. Bintang dari kalian berharga banget, loh, buat aku! Jangan lupa tinggalkan jejak juga, ya, maniez! See you next week!
Love, Xenon
Minggu, 17 Januari 2020
1009 words.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro