Badama Akhir
Ia tidak pernah menginjak Batavia.
Walau telah berkelana dari Andalas hingga Niu Gini, Batavia masih abu-abu di benaknya. Namun, sekarang ia tahu bahwa dirinya sedang berada di Batavia.
Apakah ia seorang cenayang? Tentu saja bukan. Ia akan dibakar terlebih dahulu sebelum bisa mencapai titik ini jika dirinya seorang cenayang. Takdir. Hal yang berhasil mempertemukannya dengan Batavia.
Batavia merupakan kota tersembunyi. Hanya beberapa orang yang diperbolehkan masuk. Bahkan orang berdarah biru pun belum pernah menginjak tempat tak berpenghuni ini. Batavia berada tepat di atas Ciliwung, sungai paling bersih dan PLTA terbesar di Nusantara setelah Kapuas. Tidak ada sama sekali pemukiman warga, gedung tinggi, bahkan sebuah korporasi. Hanya ada satu rumah besar dikelilingi kebun dan juga air terjun.
"Ini tidak mungkin terjadi lagi," ucap gadis itu sambil melihat ke arah depan.
Napasnya diburu. Bulir-bulir keringat terus mengalir dari pelipis seolah dirinya dikejar Buto Ijo. Nyatanya tidak, ia berdiri tegak memegang buku biru di tangan kirinya dan sebuah pedang di tangan kanan. Ia hanya takut.
Berbagai macam taktik, variasi formasi, hingga serangan kejutan sama sekali tidak bisa menaikkan prosentase kemenangannya. Laki-laki di seberang tertawa keras ketika ia berhasil menghancurkan tiga chara sang gadis dengan satu serangan dahsyat. Bekas jahitan di mulutnya seperti akan robek ketika senyumnya yang lebar terpancar.
"Sungguh memalukan! Aku harus menghabisi babuku sendiri di tempat ini. Batavia terlalu indah untuk makhluk rendahan sepertimu."
Ia tidak berbohong soal hal itu. Kota apung yang dijaga para Author memang mempunyai nuansa berbeda dari kota-kota lain di Nusantara. Ya, hanya ada satu Batavia di dunia ini. Suara gemercik dari air terjun di belakang terdengar menyejukkan. Tempat itu disebut Air Terjun Melati, diambil dari nama perempuan yang mengorbankan dirinya untuk menjaga kestabilan wilayah Triagung.
Pilar-pilar dicat emas dan ubin granit yang berasal dari hasil tambang Batavia merupakan ciri khas dari Kedaton Agung. Tempat singgah para Author dan tempat mereka bertarung saat ini. Para lelembut Batavia memiliki kemampuan khusus untuk menyuburkan tanaman dan mengontrol cuaca sesuai dengan kehendak mereka sendiri. Maka tak heran jika banyak koleksi bunga yang indah dan permata melimpah. Hidden paradise sebutan untuk Batavia.
"Cih, bangga sekali kau menang dengan kartu milik orang lain. Apa arti kemenangan ...." Perempuan itu memasang kuda-kuda. Dengan sebuah petikan jari buku birunya pun menghilang dari pandangan dan pedangnya kini termakan oleh api biru. "Jika itu bukan dari usahamu sendiri!"
Perempuan itu menerjang ke arah depan, chara yang masih tersisa mengikutinya dari belakang. Kakinya pelesat cepat layaknya panah Arjuna. Serangan dari chara lawan ia lenyapkan dengan satu kali kedip. Amarahnya sudah memuncak, ia akan menghunus pedang itu layaknya keris Ken Arok membunuh Tunggul Ametung.
"Enyah kau, parasit!"
Sang lelaki pun tersenyum simpul. "Kau, tidak pernah belajar dari kesalahanmu sendiri." Jari telunjuknya ia arahkan ke depan. Semua chara yang berhasil ia panggil mulai berdiri di depan dan membuat tameng perlindungan. Sang nenek tua dengan mulut komat-kamit membuat segel, gadis kecil di sebelahnya sibuk melemparkan kacang hijau dari kantung goni kecil. Sementara kakek tua dengan tongkatnya melompat dan membuat pusaran air di udara.
Sang perempuan menghentikan langkahnya dan berteriak, "Kita tidak boleh kalah di sini!" Teriakan dari sang master membuat empat chara yang tersisa melancarkan serangan. Tameng-tameng tadi kini diadu dengan kekuatan empat serangkai. Pertarungan para chara pun dimulai. Pusaran air bertemu dengan tornado mengakibatkan hujan lokal. Pohon-pohon besar yang terbuat dari kacang terbelah dua oleh koin-koin kecil yang beterbangan.
Segel pun dibalas dengan segel. Kedaton Agung terguncang saat itu juga. Tanpa menunggu lama, ia kembali pelesat melewati pasukan musuh. Pedang di tangan dan dendam di hati. Andai semudah itu membinasakan seseorang yang mengkhianati janji, ia lupa bahwa di setiap cerita ada kisah yang tak pernah diceritakan. Saat ini kisah yang tak pernah diceritakan itu adalah kisah ... di mana pemeran antagonislah yang menang.
Langkahnya terhenti. Sang gadis terjatuh ke lantai tak berdaya. Penglihatannya mulai kabur. Dadanya menjadi sesak. Bau amis pun tercium sangat pekat. Mulutnya dipenuhi darah. Ia merasa hampa di bagian lengan dan sadar bahwa pedang andalannya telah menancap di tubuhnya sendiri.
"B-bagaimana bisa ...."
Ia melihat sekeliling dan pandangannya terhenti kepada seorang gadis yang mengenakan pakaian serba putih dan sebuah mahkota. Tangannya menyilang, mata ditutup dan darah keluar dari mulut perempuan itu juga.
"S-sejak kapan support bisa s-seperti ini?" tanya sang gadis dalam hati.
Ia salah satu chara milik sang pria yang sempat disepelekan. Tak disangka ia menjadi penyebab kekalahan perempuan itu.
Lelaki itu berjalan lurus mendekati sang gadis. Ia menghela napas sepanjang perjalanan. Kedua tangannya masuk ke dalam celana. Ujung mulutnya yang naik seketika turun dan matanya yang berbinar kian berubah menjadi tatapan kosong. Jas hitam dan dasi kupu-kupu merah yang ia kenakan mungkin memberikan kesan elegan, tetapi di balik itu semua. Ada seseorang laki-laki dingin yang tidak memilik rasa empati sama sekali.
"Kau pikir dengan pedang milik Biwar yang dilapisi Banaspati akan membunuhku?" Lelaki itu mendekat dan mendorong pelan pedang yang menancap di tubuh sang perempuan. Ia kemudian berbisik, "Kau terlalu naif, Pita."
Perempuan itu berteriak kesakitan. Cairan merah mulai mengalir mengotori pakaian yang ia kenakan. Empat chara kebanggaannya sudah menghilang, tersisa chara sang lelaki. Para chara tak tega melihat pemandangan yang mereka saksikan, mereka ingin membantu Pita, tetapi kontrak tetaplah kontrak. Sekali musuh tetaplah musuh.
Air Terjun Melati tiba-tiba saja mengeluarkan air yang deras. Ketujuh pilar di tengah seketika memancarkan warna yang berbeda. Tanah pun kembali bergetar. Sang lelaki mengangkat buku birunya dan semua chara kembali ke sana. Ia sudah menang. Air yang menggenang berubah menjadi sebuah tangga. Tangga itu terus terbentuk membelah awan dan mencakar langit. Cahaya dari sang surya mulai terlihat lagi, akhir dari sayembara ini sudah terlihat, tapi Pita kembali gagal menjadi pemenang.
Ia pun menoleh ke arah seseorang laki-laki yang mengapung di ujung arena. Dengan napas yang tersengal-sengal, wajah pucat dan sedikit tenaga yang tersisa, ia mencoba mendekati laki-laki tersebut. Tangis bercampur dengan rasa bersalah. Setiap langkangnya diikuti tinta merah yang telah menyatu dengan air. Belum juga sampai, tubuhnya sudah ambruk. Pita sudah kehilangan banyak darah.
"M-maafkan aku, Di."
Semua menjadi gelap. Sebuah dunia baru terbentuk lagi, Ia membutuhkan cara lain untuk memenangkan sayembara ini. Sebuah kartu baru mungkin? Atau senjata baru? Lagipula Pita tidak akan pernah mendapat kisah yang berbeda jika terus memilih pilihan yang sama.
~Bersambung~
Hello! Gimana chapter pertamanya? Pasti bingung, sama author juga bingung. Daripada kalian bingung mending tekan tombol bintang di kiri tuh, kasian nganggur dia. Oh, iya! Komen juga, di mana bagian favorit kamu! Jangan sungkan buat kasih pendapat kamu buat cerita, ini, ya! See you maniez.
Minggu, 10 Januari 2021
1027 words
Love, Xen.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro