yon 四 manusia dan rahasia
"MARE, KE MANA saja kau?! Ini sudah lewat sepuluh menit dari—"
Dan tentu saja, Ocea yang pertama kali memarahinya ketika sampai. Saudara-saudarinya setia menunggu di altar, tetapi hanya Ocea yang langsung menghampiri Mare sembari bersedekap dengan tatapan nyalang.
Mare mengorek telinga kirinya dengan jari telunjuk, sementara ia mengalihkan pandangannya ke arah lain.
"Maaf, aku terlalu terlena. Bulan dan langitnya cantik sekali. Lagi pula aku hanya telat sepuluh menit," jawab Mare ogah-ogahan.
Neptune menghampiri merman berusia tujuh belas tahun tersebut dan menepuk bahunya lembut. "Mare, aku tahu kau adalah duyung dipenuhi rasa penasaran, tetapi berhati-hatilah pada rasa penasaranmu itu. Rasa penasaran yang tinggi dapat membahayakanmu."
Iris biru laut Mare bersitatap dengan sepasang mata safir Neptune. Mare tahu; agaknya sang ayah sudah mengetahuinya.
Mare menunduk. "Aku tahu, Ayahanda."
Neptune mengangkat telapak tangannya dari bahu Mare. "Baiklah, kalau begitu. Mare, Marine, kalian berdua beristirahatlah."
Marine berenang menghampiri kedua merman itu, lantas menunduk. "Baik, Ayahanda."
Aqua, Fluc, Kyma, dan Thalass ikut menghampiri adik bungsu kembar mereka. Fluc yang terlebih dahulu mengangkat kedua tangan dan merangkul bahu Mare dan Marine, membuat kedua duyung itu tersentak.
"Fluc!" Mare memprotes dengan mata mendelik.
Belum sempat Marine juga melayangkan protes, Aqua, Kyma, Thalass ikut mendekap hingga posisi mereka seperti saling merangkul. Disusul Ocea yang malu-malu bergabung jikalau tangan Thalass tak mengisyaratkannya untuk kemari dan ikut berpelukan. Ocea merangkul bahu Thalass dan Mare. Tak sampai di sana, sekonyong-konyong Aurora datang dan memekik, "Kalian berpelukan tidak mengajak-ajak aku? Jahatnya!" lalu melompat ke arah mereka dan menubruk punggung para merman itu.
"Hei! Sakit, Aurora!" protes Kyma. Diikuti ocehan Thalass.
"Kenapa kau ikut-ikutan, sih?"
Aurora melompat tepat di punggung Kyma. Tatapan nyalang merman berambut pirang kebiruan tersebut bersinggungan dengan Aurora yang menatapnya tanpa dosa.
"Oh, maaf." Wajah manis Aurora yang berlesung pipit hanya cengar-cengir.
Aurora melepas rangkulan Mare dengan saudara-saudarinya, lantas menepuk bahu si kembar.
"Mare, Marine, selamat atas kedewasaan kalian. Aku tidak menyangka dua adik kecilku sekarang sudah besar. Padahal kemarin-kemarin Mare masih merengek sampai menangis meminta pergi ke permukaan," ujar Aurora dengan nada berkelakar.
Marine mengikik. Saudara kembarnya itu memang terkenal cukup cengeng.
"Aku tidak begitu!" bantah Mare menggebu. "Lagi pula kau bukan kakakku."
"Aurora benar, Mare. Kau tidak ingat saat ulang tahunmu yang keempat belas kau merengek ingin ikut Thalass ke permukaan?"
Lima saudara Mare yang lain terbahak keras. Mare memalingkan wajah. Sebenarnya ia lupa dengan kejadian itu. Lebih tepatnya, hanya menganggapnya angin lalu. Namun, entah kenapa Marine dan Aurora memang nan paling ingat kelakuannya yang bagi Mare amat memalukan. Ia heran kenapa para mermaid punya ingatan yang kuat.
Hari ini adalah hari yang melelahkan bagi Mare dan Marine. Keduanya kembali ke kamar mereka, tetapi lima saudara mereka yang lain ikut pulang. Mare sekamar dengan Thalass, kakak kelimanya. Sementara itu, Marine sebagai satu-satunya mermaid punya kamar sendiri.
"Mare," panggil Thalass yang tengah berbaring di ranjang atas, sedangkan Mare di bawahnya.
"Hmm?" Merman muda itu hanya membalas dengan gumaman.
"Ada luka seperti goresan di ekormu."
Mare yang semula sudah memejamkan mata langsung terbeliak dan bangkit duduk. Degup jantungnya mendadak berpacu cepat. Dari mana dia tahu?
Benak Mare bertanya-tanya, tetapi ia langsung teringat jikalau Thalass adalah merman paling jeli seantero samudra.
"Kau tidak hanya muncul di permukaan, kan?" Thalass lanjut bertanya.
Mare meneguk saliva. "Sejak kapan kau menyadarinya?"
"Sesaat setelah kau kembali dari permukaan."
Mare terdiam. Haruskah ia membeberkan rahasianya pada Thalass, saudara paling dekat yang hanya berbeda tiga tahun darinya?
"Katakan saja, Mare. Aku tidak akan memberi tahunya pada yang lain, apalagi Marine." Kata-kata Thalass yang terlampau santai membuat Mare sedikit luluh. "Kalau kau keberatan, ya tak masalah. Cerita saja jika kau ingin cerita."
Hening melanda selama beberapa menit sampai mungkin Thalass mengira Mare sudah terlelap.
"Thalass."
"Hmm?"
"Tadi, aku hendak pergi ke utara."
"Aku tahu."
Mare bungkam. Memang, ia pernah beberapa kali bercerita pada Thalass bahwa ia senang pergi ke Kepulauan Ryuku di Okinawa untuk bertemu manusia yang dipanggilnya Obaa-san.
"Lalu, aku ditangkap oleh nelayan dengan jaring."
"Kalau Ocea sampai tahu dia takkan membiarkanmu pergi ke permukaan."
"Dia takkan tahu kalau kau tak memberi tahunya."
Thalass terkekeh. "Aku tidak seceriwis Marine atau Aurora."
"Thalass, apa kau punya teman manusia?"
"Punya, kenapa?"
"Siapa nama teman manusiamu itu?"
"Anna Madelyn dan si kecil Oval."
"Ayahanda tahu soal itu?"
"Mungkin ya, mungkin tidak."
Mare kembali berbaring di ranjangnya. "Sepertinya, Ayahanda tahu tadi aku tidak hanya pergi ke permukaan."
"Kurasa tidak mungkin beliau tidak tahu. Ayahanda adalah penguasa seluruh lautan. Beliau bisa tahu suatu informasi hanya dengan mendengar kabar dari ikan-ikan kecil yang melihatmu pergi."
Mare memandang langit-langit kamar dengan tatapan kosong.
"Benar. Ayahanda tahu, tetapi beliau tak mengindahkannya."
"Selama kau tidak menjadi seperti ...." Thalass mendadak menggantungkan ucapannya.
Mare, entah kenapa merasa deja vu. "Seperti siapa, Thalass?"
Thalass tak menjawab. Maka Mare bertanya lagi, "Thalass?"
"Lupakan saja. Lebih baik kau tidak mengetahuinya."
"Kau tahu, kan, bagaimana sifatku? Semakin dilarang berarti—"
"Semakin berniat mencari tahunya," potong Thalass dengan nada malas. Mare yakin sekali kakaknya itu berkata sambil menggulir bola mata.
"Kau lupa apa yang Ayahanda katakan tadi? Berhati-hatilah pada rasa penasaranmu. Rasa penasaran yang tinggi dapat membahayakanmu."
"Sekarang kau persis seperti Ocea."
"Jangan samakan aku dengan si ceriwis itu."
Lagi-lagi suasana lengang, hanya ada arus air yang bersuara menenangkan.
"Tetapi kau beruntung hanya aku yang menyadarinya," kata Thalass. "Omong-omong, bagaimana caranya kau bisa selamat?"
"Hei, begini-begini, aku ini putra penguasa lautan sepertimu. Membebaskan diri dari jaring itu dengan kekuatanku bukan hal sulit." Mare membusungkan dada saat mengatakannya. Meski diam-diam dalam hatinya ... berbohong sedikit tidak masalah, 'kan? Ia awalnya kesulitan membebaskan diri. Mare juga hampir kehabisan napas jika tidak ada seorang manusia yang menyelamatkannya.
"Oke, baiklah. Tetapi aku yakin bukan itu yang membuatmu terlambat kembali kalau membebaskan diri dari jaring adalah hal mudah."
"Sebenarnya, aku bertemu dengan seorang manusia, perempuan. Dia yang membantuku saat aku hampir kehabisan napas di permukaan."
"Kau ... jangan bilang ...."
"Apa pun yang kaupikirkan, aku tidak seperti itu, Thalass. Aku hanya—yah, senang. Senang bisa bertemu manusia baik hati sepertinya. Lagi pula dia juga berjanji akan merahasiakan kejadian itu dari siapa pun."
"Kau yakin? Manusia itu tidak sebaik yang kaupikirkan—"
"Lalu, bagaimana menurutmu soal Anna Madelyn dan si kecil Oval? Kalau mereka tak baik, tak mungkin kau bertemu mereka hampir tiap minggu."
Kini, giliran Thalass yang tersentak sampai kepalanya terbentur langit-langit kamar (kebetulan ranjangnya tingkat dan ia menempati ranjang atas).
"Kau tahu dari mana?"
"Marine."
"Kalau dia bukan adikku sudah kutendang pantatnya," oceh Thalass yang terdengar amat kesal.
"Jadi? Mari saling menjaga rahasia?"
Itu terdengar seperti penawaran.
"Baiklah, deal."
"Deal? Apa itu bahasa manusia?"
"Yah, artinya sepakat."
"Baiklah, sepakat." Keduanya terdiam cukup lama hingga Mare berkata lagi, "Selamat malam, Thalass."
"Selamat tidur, Mare."
Tak lama, Thalass benar-benar tak bersuara lagi.
Sementara itu, Mare yang seharusnya tidur malah terbunga-bunga. Saat memejam pun, bayang-bayang akan Sachihara—gadis yang membantunya—melekat di benak. Degup jantungnya kembali berpacu cepat, sedangkan pipinya agak memerah.
Perasaan apa ini ... apa nanti aku harus bertanya pada Thalass?
Dan pada akhirnya, malam itu Mare benar-benar tak bisa tidur.
🧜🧜🧜
Selamat membaca~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro