juuhachi 十八 ponsel baru
PIKIRAN MIZUO makin tidak tenang karena semalam Thalass datang menemuinya untuk memberi tahu bahwa Oceanus, sang kakak pertama, jatuh sakit dan memintanya kembali. Kata-kata Thalass saat itu benar-benar membuatnya termenung sepanjang hari, bahkan saat di sekolah. Bagaimana ia bisa kembali ke rumahnya setelah bertengkar dengan kembarannya dan diusir oleh Ayahanda?
Amane yang tampaknya menyadari Mizuo lebih banyak melamun, menepuk bahu lelaki itu nan tengah duduk termenung di sofa ruang tamu.
"Mizuo-kun, apa ada yang mengganggu pikiranmu? Ceritalah pada Obaa-san." Amane menyandarkan tongkat jalannya di sofa, lalu duduk di sebelah Mizuo. Tangan mungil dan keriput milik wanita tua berusia enam puluh lima itu mengusap-usap puncak kepala Mizuo dengan lembut.
Hati Mizuo seketika menghangat. Amane selalu memperlakukannya seperti cucu sendiri, padahal mulanya hubungan nenek-cucu mereka hanya akting saja supaya penduduk pulau tidak mencurigai keberadaan Mizuo.
Mizuo menimang sejenak. Apakah ia harus memberi tahu sesuatu yang mengganjal hati dan pikirannya pada Amane? Namun, Amane sudah banyak membantu dan memberinya saran yang berguna. Baiklah, mungkin tidak ada salahnya bercerita.
Mizuo menarik napas panjang sebelum mulai bercerita.
"Baa-san," panggil Mizuo.
Amane menjawab dengan gumaman pelan. Tangannya masih mengusap-usap kepala Mizuo.
"Sebenarnya, semalam Thalass, kakak kelimaku, datang menemuiku."
Tangan Amane bergerak memelan. Rautnya terlihat terkejut, tetapi Amane pandai menyembunyikan ekspresinya.
"Dia menyuruhku kembali karena Ocea jatuh sakit."
Amane menggumam lagi. Ia menjauhkan tangannya dari kepala Mizuo dan beralih ke bahu kanannya.
"Lalu sekarang, kau tengah bingung apakah ingin kembali ke lautan untuk menjenguk Ocea atau tidak?" terka Amane tepat sasaran.
Mizuo mengangguk pelan. "Aku takut ... aku takut jika kata-kata Thalass hanya jebakan."
"Astaga, Mare!" seru Amane seraya menggeleng-geleng. "Kau tidak boleh berpikir seperti itu, Sayang. Bukankah kau bilang Thalass adalah saudaramu yang paling dekat denganmu?"
Mizuo seperti merasakan sebuah anak panah menancap dadanya. Ia menunduk, sementara jemarinya yang panjang dan lentik saling bertautan.
"Memang benar, Baa-san. Tetapi, justru karena itu. Ocea atau Ayahanda bisa saja sengaja menyuruh Thalass, duyung yang paling dekat denganku, supaya aku luluh."
Mizuo bisa mendengar desahan napas panjang dari sebelahnya. Ia tahu Amane sebenarnya sudah lelah dengan drama yang terjadi di keluarganya.
"Jadi, apa yang akan kau lakukan, Mizuo-kun?"
"Sepertinya aku ... tidak akan kembali. Ah, tidak, mungkin lebih tepatnya belum siap. Aku belum siap bertemu mereka, Baa-san."
"Baiklah, jika itu keputusanmu, tetapi Obaa-san harap, kau bisa bertanggung jawab atas keputusanmu, Mizuo-kun."
Mizuo tersenyum simpul. "Ya, Baa-san. Terima kasih."
Amane kembali mengusap-usap kepala Mizuo sebelum mendekapnya erat. "Kalau begitu, jangan dipikirkan lagi. Mengerti, Sayang?"
"Ha'i!" jawab Mizuo, lalu membalas dekapan hangat Amane yang sebelumnya tidak pernah ia rasakan dari sang ibu.
Ketukan pintu yang berirama mendadak mengagetkan mereka berdua. Mizuo menerka, siapa lagi yang suka berkunjung malam-malam selain Keiko?
Benar saja, tak lama terdengar suara Keiko yang meminta dibukakan pintu.
"Sebentar, ya. Baa-san bukakan pintu dulu," kata Amane.
Mizuo membalas anggukan Amane. Kemudian, wanita lanjut usia itu meraih tongkat jalannya dan melangkah menuju pintu. Kepala Mizuo melongok sedikit. Ia melihat Hayama Keiko yang masih mengenakan baju formal masuk ke rumah sembari menenteng beberapa tas kertas.
"Oh, Keiko-san, sudah kembali?" tanya Mizuo. Karena seingatnya, kemarin Keiko pergi ke Naha, pusat prefektur Okinawa.
Keiko mengangguk, lalu duduk di sofa kecil di sebelah kiri Mizuo setelah dipersilakan oleh Amane. Beberapa tas belanjaannya diletakkan di atas meja.
Mizuo sedikit heran mengapa gadis kuliahan itu terlihat amat bersemangat.
"Ada apa malam-malam ke sini, Keiko-chan?" Amane ikut duduk kembali di antara Mizuo dan Keiko.
"Aku membeli barang-barang bagus untuk Amane baa-san dan Mizuo-kun. Ah, ya, kemarin kau meminta ponsel, kan, Mizuo? Aku belikan ponsel pintar model terbaru dari merek yang banyak dipakai anak muda."
Keiko sibuk berceloteh sembari mengambil salah satu tas kertas berukur kecil berwarna kuning, lalu merogoh isinya. Ia mengeluarkan sebuah kotak. Di dalam kotak itu, dikeluarkan lagi sebuah benda pipih berbentuk persegi panjang yang Mizuo tebak adalah ponsel pintar.
Mizuo menggaruk tengkuk. "Ah, terima kasih, tetapi ... sepertinya aku tidak pernah meminta dibelikan ponsel. Dan lagi, itu harganya pasti mahal," kata Mizuo takenak. Sungguh ia sangat takut untuk sekadar memegang atau menyentuh benda pipih berwarna putih dengan layar hitam itu.
Walau sebenarnya sebelumnya ia memang ingin dibelikan ponsel oleh Amane, tetapi tidak jadi karena Mizuo merasa tidak enak.
"Aduh, jangan begitu. Memang sih, kau tidak pernah meminta langsung dibelikan ponsel, tetapi tidak jarang kau mengeluh soal ponsel. Kau juga pernah bercerita soal, 'ingin berkirim pesan dengan Sachihara, tetapi ah, aku, kan, tidak punya benda bernama ponsel'," ujar Keiko, menirukan kata-kata yang pernah diucapkan Mizuo dengan gerakan tangan seakan meledek.
Amane tertawa mendengarnya, sementara wajah Mizuo memerah seperti kepiting rebus. Sialnya, kenapa Keiko mengingat kata-kata yang menurutnya memalukan itu?
Keiko meraih kedua tangan Mizuo paksa, lalu menaruh ponsel itu di atasnya. Sepertinya Keiko benar-benar gemas (terlihat dari raut wajahnya).
"Sudahlah, tidak usah malu-malu. Terima saja. Lagi pula kau memang butuh ponsel, supaya aku bisa menghubungimu untuk menanyakan kabar Amane baa-san. Kau juga pasti ingin berkirim pesan dengan teman-temanmu di sekolah, kan? Lagi pula, selain itu, ponsel ini juga berfungsi untuk mencari tahu hal yang ingin kau ketahui, seperti model misalnya. Kau hanya perlu searching saja."
Meski demikian, Mizuo tetap merasa takenak. Ia beralih menatap Amane, tetapi neneknya itu malah bersikap amat santai.
"Aduh, maaf ya, Keiko-chan, kau jadi repot begini."
"Hu'um, tidak apa-apa, Baa-san. Aku tidak hanya membeli ponsel untuk Mizuo-kun kok! Aku juga membeli ini, ini, dan ini, lalu itu, dan ...."
Sudah nyaris satu jam sejak Keiko menyebutkan satu per satu barang-barang yang dibelinya di Naha untuk Mizuo dan Amane. Selain ponsel, Keiko juga membelikan Mizuo pakaian trendi, kacamata renang, jam tangan, dan beberapa barang lain yang bagi Mizuo tidak terlalu penting.
"Astaga, Keiko-chan. Ini banyak sekali! Sudah berapa kali aku merepotkanmu? Nenek tua ini jadi tidak enak hati."
Kali ini, Amane benar-benar melayangkan tatapan protes pada Keiko. Mizuo mengerti. Ia yang sudah dibelikan ponsel saja, merasa tidak enak. Apalagi Amane. Pasti merasa cucunya merepotkan.
"Aku setuju jika kau hanya memberikan Mizuo ponsel, tetapi ini? Bukannya aku tidak bersyukur, tetapi aku—"
"Ssst," Keiko meletakkan jari telunjuknya di depan bibir Amane, lalu tersenyum simpul, "Baa-san tidak perlu merasa tidak enak. Aku memang sengaja membelikan ini semua untuk Mizuo-kun mumpung gajiku sudah cair. Tenang saja, aku tidak sejahat itu sampai meminta kalian mengganti uangnya. Lagi pula, Mizuo-kun sudah kuanggap seperti adik sendiri. Dan anggap saja ini sebagai hadiah karena Mizuo-kun sudah belajar dengan giat."
Mizuo dan Amane bersitatap. Tak disangka, keduanya serempak bangkit berdiri, lalu membungkukkan badan dan kepala tiga puluh derajat.
"Terima kasih banyak, Keiko-san!" seru Mizuo.
"Sekali lagi, maaf jika kami merepotkanmu. Kalau kau perlu bantuan aku dan Mizuo pasti akan membantumu," timpal Amane yang diangguki Mizuo.
"Aah, iie-iie. Tidak perlu sampai seperti itu." Kedua tangan Keiko mengisyaratkan gestur 'tidak usah'.
Mizuo dan Amane kembali menegakkan badan.
"Anu, aku merasa sangat berterima kasih, tetapi ... aku tidak tahu cara memakai ponsel." Mizuo memamerkan cengiran khas Hara yang sudah ditirunya.
"Sini aku ajari."
Amane duduk di sebelah Keiko. "Apa tidak apa-apa? Ini sudah malam lho, Keiko-chan."
"Tidak masalah. Seperti kemarin-kemarin aku tidak pulang malam saja, haha!"
Dan malam itu, pikiran Mizuo soal Thalass dan saudaranya menghilang begitu saja. Namun, ia tetap tidak bisa tidur memikirkan betapa senangnya akhirnya ia bisa berkirim pesan dengan Koraru. Ah, Mizuo sudah tidak sabar bertemu gadis pujaan hatinya besok!
🧜🧜🧜
Selamat membaca~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro