juugo 十五 Thalass datang
"AOKI KEIJI ... apa yang sedang kau lakukan di sini?"
Hideaki spontan bangkit berdiri dan menatap Keiji tercengang. Pasalnya, Keiji sudah tak punya urusan di klub renang.
"Hanya melihat-lihat saja. Apa tidak boleh?" Keiji memasukkan kedua tangan di saku celana. Matanya menyusuri setiap sudut kolam ronang.
Hideaki tertegun. "Bukan begitu, tetapi yah ...," balasnya ragu.
"Oh, ada Hanase-senpai. Hai, Senpai!" sapa Keiji sembari melambaikan tangan pada gadis dengan swim cap.
Hanase-senpai membalas lambaian Keiji dengan antusias. "Hai, Keiji-kun! Sudah kembali?"
Keiji mengangguk singkat. "Ya, sudah. Aku diberi cuti sebulan. Kebetulan aku ingin kembali ke sini sambil sekolah untuk mengisi kebosananku."
Keiji berjalan menuju Sakamaki-sensei dan menyapanya, "Apa kabar, Sensei?"
"Baik. Kapan kau kembali?" tanya Sakamaki-sensei singkat dengan nada tak suka.
"Dua hari lalu," jawab Keiji, lalu menoleh pada Mizuo dan Hideaki. "Kalian sedang latihan untuk kompetisi, ya? Sepertinya aku mengganggu?"
Hideaki kelihatannya kesal. "Kalau sudah tahu kenapa bertanya?"
Keiji mengangkat kedua tangan dengan tatapan tanpa dosa. "Oh, maaf kalau begitu. Aku akan kembali. Kalian ini sensitif sekali, ya," katanya, kemudian berjalan santai keluar dari kolam renang. Sebelum ia menyentuh pintu, lelaki itu menoleh ke belakang.
"Oh, ya, asal kalian tahu saja, aku tidak akan membiarkan satu pun dari kalian—anggota klub renang—menang, terutama kau, Katagaki Mizuo."
Setelah berkata demikian, Keiji benar-benar keluar dari kolam renang, menyisakan keheningan di kolam renang indoor itu. Lalu, suasana pun ramai seketika. Mereka membicarakan Keiji.
"Benar, kan, Keiji taksuka padaku," ujar Mizuo berbisik pada Hideaki.
"Yah, sebenarnya dia juga taksuka pada klub renang dan sebaliknya."
Mizuo tertegun. "Eh? Kenapa begitu? Apa yang terjadi?"
"Ah, kau tidak tahu, ya. Keiji kerap membuat masalah di klub renang. Dia juga ehm, sedikit angkuh. Apalagi dia keluar dengan tidak baik-baik. Jadi banyak anggota klub renang yang tak menyukainya."
"Termasuk kau?"
"Ya, termasuk aku."
"Saat menceritakannya, kupikir kau biasa saja dengan Aoki."
Hideaki malah terbahak. "Aku hanya mencoba bersikap profesional."
***
"Keiko-san, model itu apa?" tanya Mizuo begitu sampai di rumah. Ia melempar tas ke sofa, lantas mengempaskan diri untuk duduk di sebelah Keiko.
Akhir-akhir ini gadis kuliahan dengan kulit cokelat terang eksotis itu makin sering pergi ke rumah Amane untuk sekadar membantunya memancing atau memasak saat Mizuo sekolah. Katanya kebetulan Keiko juga tengah libur semester.
"Model, ya ...," Keiko bergumam, "model itu orang yang memperagakan sesuatu untuk dijadikan contoh atau promosi, seperti model fashion dan model majalah."
Mizuo mengangguk-angguk paham. "Ah, begitu, ya. Terima kasih, Keiko-san."
"Ya, sama-sama, tetapi," Keiko yang semula sibuk membaca buku, melirik Mizuo, "kenapa kau tiba-tiba bertanya begitu?"
"Sebenarnya, dua hari lalu, ada siswa yang sudah lama tidak masuk di kelasku dan siswa itu ternyata seorang model."
"Biar kutebak, orang itu pasti Aoki Keiji, kan?"
Mizuo tak dapat menyembunyikan raut terkejutnya. "Kau tahu?"
Bukannya menjawab, Keiko malah terbahak. "Aduh, di sini dia itu terkenal tahu. Hampir tidak ada orang yang tidak mengenalnya. Aku heran kenapa orang yang cukup terkenal dan punya karier menjanjikan sepertinya malah memilih kembali dan tinggal di pulau ini."
"Bukankah itu bagus? Dia tidak lupa daratan, kan?" Entah kenapa saat berkata itu Mizuo malah tertohok perasaannya sendiri.
"Yah, kau benar."
"Tetapi aku tetap tidak suka dia."
"Kenapa? Kau, kan, bisa sekelas dengan seorang model saja sudah 'wah'."
Mizuo menggeleng-geleng sembari mengerucutkan bibir. "Tidak suka! Dari awal dia masuk kelas, dia saja berlagak seperti tidak suka denganku. Lalu tadi saat aku latihan untuk kompetisi renang, dia tiba-tiba saja masuk ke ruang kolam renang dan mengatakan tidak akan membiarkan kami—anggota klub renang—terutama aku, menang."
"Wah." Keiko malah mengerjap. "Aku tidak tahu Aoki Keiji itu orang yang seperti apa, sih. Apa kau membuat masalah dengannya?"
"Tidak. Sepertinya malah dia yang membuat masalah denganku. Orang menyebalkan."
"Apa dia ikut kompetisi olahraga itu? Cabang olahraga renang juga?"
"Dia ikut. Bukan renang, tetapi cabang olahraga lari."
"Kalau begitu fokus saja pada kompetisinya. Jangan hiraukan perkataannya. Barang kali dia cuma menggertak dan bercanda."
Mizuo mengangguk lemah. Benar kata Keiko. Ia tak seharusnya memikirkan kata-kata Keiji, tetapi mau bagaimanapun, Mizuo dilanda penasaran. Sebenarnya apa yang terjadi sebelumnya sampai Keiji dengan anggota klub renang bisa saling membenci? Apa yang diperbuat lelaki urakan itu? Mizuo tidak percaya orang seperti Keiji bisa menjadi model.
Mizuo sampai tidak bisa tidur dibuatnya. Pikirannya terus melayang pada kejadian di kolam renang tadi. Alhasil ia bangkit dari tiduran dan duduk menghadap jendela kamar yang setengah terbuka, menampilkan panorama laut malam berhias bulan purnama nan indah.
Biasanya Mizuo berenang malam-malam begini untuk membasahi tubuhnya yang kering selama di sekolah. Namun, karena tadi ia sudah membasahi diri di klub renang, jadi Mizuo tak perlu berenang lagi.
Mizuo yang semula dalam posisi duduk memeluk lutut seketika mendongak begitu netranya menangkap seekor kepiting merah berjalan di atas hamparan pasir putih menuju rumah Obaa-san.
Mizuo segera menyibak selimut, lantas keluar rumah tanpa menimbulkan suara agar Amane tak bangun.
"Aye!" seru Mizuo. Kakinya yang telanjang berlari menghampiri teman lautnya itu. Bukannya mendekat, Aye malah menjauh, seperti hendak menunjukkan sesuatu pada Mare.
Mulanya Mare heran, tetapi lelaki itu terus mengikuti Aye sampai di sebuah tepi tebing pinggir pantai. Di sana, seseorang yang sangat dikenal Mizuo sedang duduk di atas batu besar dan seperti tengah menunggunya.
"Thalass?" Bibir Mizuo tanpa sadar mengucapkan sebuah nama, sedangkan tubuhnya membeku di tempat. Ia tak berani beranjak untuk mendekati orang itu. Sementara sang empu nama spontan menoleh dan menatapnya dengan tatapan yang bagi Mare sulit diartikan.
"Mare."
Aye berjalan mendekati Thalass. Kepiting merah itu diangkatnya ke atas paha sang merman.
"Apa yang kau lakukan di sini? Kenapa kau kemari?" tanya Mare dengan kedua tangan terkepal dan suara bergetar.
"Apa yang kulakukan di sini? Kau pasti tahu, Mare. Jangan berlagak bodoh," kata Thalass, lalu tertawa pahit.
Mare membeku. Langkahnya membawanya ke hadapan Thalass. "Sudah kukatakan sebelumnya kalau aku—"
"Kembali, Mare. Kumohon, kembalilah."
Mare menggeleng tegas. "Tidak mau."
"Apa segitunya kau membenci kami, saudara-saudarimu? Apa segitunya kau membenci Ayahanda? Jawab aku, Mare!
Emosi Mare memuncak sampai ia tak sadar memekik, "YA! AKU TIDAK SUKA KALIAN! KALIAN TERLALU MENGEKANGKU! AYAHANDA BAHKAN TEGA MENGHUKUMKU! LALU APA SALAH JIKA AKU TAK MENYUKAI KALIAN?"
Napas Mare memburu. Sebelumnya ia tak pernah sampai berkata dengan nada tinggi seperti ini, apalagi di depan saudara-saudarinya.
Raut Thalass terlihat amat terkejut. Bulir air terjatuh dari pelupuk mata kirinya.
"Maafkan kami, Mare. Tetapi, kumohon, pulanglah ke laut, tempat asalmu. Kami semua menunggumu, Mare."
"Tidak mau! Lagi pula kenapa kau yang ke sini? Kenapa tidak yang lain?"
Thalass terdiam sejenak, lalu menjawab, "Karena ini permohonan pribadiku. Kau tahu, Mare? Seharusnya Ocea yang mendatangi dan menceramahimu panjang lebar. Namun, kakak pertama kita itu justru tengah terbaring lemah di ranjang selama kau tidak ada."
Netra Mare membulat. Ocea ... kenapa?
"Ocea sakit, Mare. Dia jatuh sakit karena memikirkanmu yang tak kunjung kembali."
🧜🧜🧜
Selamat membaca 🌊
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro