Chapter 9 : Satu langkah
--- Douma's POV ---
Panggung kecil? check!
Sound system? check!
Apalagi ya?
Oh! karpet merah tidak terlalu panjang bisa juga. check!
Penaku dengan senangnya menari diatas kertas. Memeriksa segala alat-alat yang akan dibawa ke Kamado Bakery.
"Uwaahh, aku tidak sabar melihat Muzan-sama bernyanyi disana~~"
Seperti biasa aku tak bisa menahan rasa senangku yang meluap-luap.
"Pasti berhasil! ya, mereka pasti bertemu! mimpiku bisa terkabul!"
Kertas yang kuletakkan diatas papan dada tak sengaja kulempar ke atas saking bahagianya. Bantal sofa kurenggut, kupeluk-peluk.
"Kira-kira bagaimana ya kalau mereka bersama? uhmm~~ aku tidak sabaarrr!!!!"
Wajah girang kuusap-usapkan ke bantal itu.
Ding dong!
Suara bel pintu terdengar, aku tau siapa orang yang berada di balik pintu itu.
"Muzan-sama! okaerinasai~"
Seperti biasa aku menyapanya dengan suara riang.
Tapi tunggu...
ada yang aneh.
Wajah Muzan-sama tampak murung.
Lensa matanya menatap kosong.
Bahkan dia tak sedikit pun menjawab balasanku, lewat begitu saja menuju kamar.
"Muzan-sama!" aku mencegatnya sebelum sempat membuka kenop pintu kamar tidur.
"Minggirah Douma, aku sedang tak ingin diganggu."
Benar, kan!
Ada yang tak beres dengannya.
Lengannya kugenggam, "Muzan-sama, apa kau baik-baik saja? wajahmu tampak murung, apa terjadi sesuatu?"
Aku menatapnya khawatir, apapun yang mengganggu dirinya, aku sama sekali tak bisa tinggal diam.
"Douma, minggir." dia menepis tanganku.
"Jelaskan dulu padaku! siapa yang melakukan ini? jangan bilang dia–"
"Aku ingin membatalkan acara itu."
Kalimatnya barusan mengejutkanku. Bahkan lensaku menatap tak percaya.
"M-muzan-sama.. tapi!"
"Batalkan saja Douma. Aku lelah."
Dia bergerak menuju kamar begitu saja.
Tidak tidak,
ini tidak mungkin terjadi.
Tidak mungkin Muzan-sama akan mengatakan hal itu begitu saja.
"Bukan.." bisikku.
"Yang tadi itu..." lensaku menatap daun pintu yang tertutup.
"Bukan Muzan-sama."
==============
Kepala kutumpu dengan telapak tangan, siku tangan kuletakkan diatas pinggir sofa.
"Harus bagaimana?"
Kepalaku mulai berputar-putar, mencari solusi dalam masalah ini.
"Tidak mungkin, tidak, tidak. Aku tidak boleh benar-benar membatalkannya."
Rasa pening kini yang menguasai kepala. Rasanya semakin frustasi saja menghadapi masalah ini berkali-kali.
Tiba-tiba secangkir teh hangat muncul di atas meja. Seseorang baru saja meletakkannya.
"Jangan terlalu dipikirkan."
Itu Akaza, dia berdiri menungguku.
"Ayolah! mana kesantaian melebihi batasmu itu? menghilang begitu saja?"
Aku tak tau dia khawatir apa menceramahiku, seperti dua-duanya.
"Akaza?"
"Aku tau kau tak akan menyerah secepat ini, Douma. Kau punya kepala brilianmu itu. Bahkan skor IQ mu lebih tinggi di Kokushibo!"
Tangannya menunjuk Kokushibo yang berdiri di dekat pintu, sedikit mengantuk, hampir ambruk.
"Kokushibo, kau boleh pergi. Beristirahatlah." perintahku, lantas dia mengangguk dan pergi dari ruangan. Biasanya dia yang menjaga kamar Muzan-sama semalaman, tapi sepertinya hari ini dia tampak begitu kelelahan.
Kini aku menatap Akaza, dia tampak ingin mengatakan sesuatu, tapi bingung mengucapkannya.
Jangan berhenti begitu saja, kata itu mungkin ingin diucapkannya berulang-ulang kali padaku, tak ingkn melihatku jatuh ke jurang putus asa.
Senyumku terangkat, "Dasar junior tak tau diri." bedanya kali ini aku mengucapkannya dengan intonasi lebih dewasa dan tenang, tidak hiperaktif dan periang seperti sebelumnya.
"Aku hanya mengeluarkan beban pikiranku, itu saja. Tidak mungkin aku membiarkan masalah ini lewat begitu saja."
Akaza berjalan mendekatiku, dengan mantap dia berkata. "Berikan perintahmu."
Kalimat yang jarang sekali kudengar dari mulutnya, lebih tepatnya dia tak pernah mengatakan itu selain pada Muzan-sama.
"Aku akan melakukan apapun untuk menyelesaikannya. Kalau kau tak bisa berdiri sendiri, lalu apa gunanya juniormu ini kalau bukan untuk membantumu?"
Aku tak tau kenapa, tiba-tiba saja perutku serasa digelitik. Tak lama tawaku lepas begitu saja, membuatnya tersontak dan bersemu.
"Wah, aku baru tau kau bisa begini. Aku jadi terhura."
"Jangan bercanda!!"
"Ahahaha, iya iya, biarkan aku tertawa lama lagi."
"...duuhh...terserah!"
Dia melipat tangannya, membuang wajah.
Haduh, Akaza..
Sampai kapan kau akan membuatku terpesona dengan kelakuan manismu itu?
Apa kau tak sadar kalau aku bisa jadi binatang buas kapanpun?
Baiklah, baiklah, kesampingkan urusan pribadimu Douma.
Saatnya menghadapi masalah saat ini.
"Baiklah, Akaza, dengar."
Dia kembali menatapku.
"Aku akan memberimu perintah, jadi dengarkan aku baik-baik."
Syukurlah dia langsung memahami suasana. Segera saja dia mendekat padaku, mendekatkan telinganya.
Selang beberapa detik dia mencerna rencanaku, dia mengangguk.
"Akan kulakukan yang terbaik."
Aku tersenyum padanya, "Anak baik."
Lensaku kembali melihat pintu kamar Muzan-sama.
"Sisanya serahkan padaku."
==============
--- Tanjiro's POV ---
Degub jam dinding.
Jendela yang sedikit terbuka.
Bersamaan dengan katup mata yang sama kompaknya.
Ucapannya masih terngiang di kepala.
Entah kenapa sulit untuk dilupakan.
Kenapa aku tak bisa berkutik hanya karena perkatanannya? ini seperti bukan diriku.
Kepalaku terus berputar mempertanyakan hal itu, hingga handphoneku bergetar.
Sebuah nomer tertulis diatasnya, Douma. Yang membuatku tak berpikir lama mengangkatnya.
"Moshi moshi."
"..."
"Ternyata benar ini nomermu." suara lelaki menyahut, suaranya semilir, seperti lelah sekali.
"K-kibutsuji-san?" hatiku meloncat, namun kembali murung, mengingat ucapan yang terus menghantui.
"Ya, ini aku. Benar ternyata, Douma mendapat nomermu."
"Uhh, begitulah."
Sunyi.
Perlu beberapa detik sampai dia berbicara kembali.
"Kau ingat apa yang kukatakan sebelumnya?"
Detak jantungku terpompa, pikiranku mulai bimbang, apakah dia benar-benar akan melakukannya?
"Uhm, kau tau."
Dia mencari kalimat yang tepat untuk menjelaskannya. Sementara aku menelan ludah, menanti kalimat selanjutnya.
"Tentang konser kecil-kecilan itu, di bakery mu."
Aku masih terdiam, tak juga berani berkata-kata, menunggunya menjawab jelas.
"Aku rasa aku.."
"Aku berniat untuk me–"
Srrk!
Grusak! grusuk!
Suara sinyal terganggu. Apa jaringanku bermasalah?
Tunggu, bukan!
Telfon miliknya yang terganggu.
"Douma! lepaskan!"
"Tidak akan kubiarkan!"
"Douma, keluarlah! jangan ganggu aku!"
"Tidak mau! itu telfonku, kembalikan!!"
Suara ricuh terdengar dari panggilan itu. Bahkan aku mendengar seseorang menabrak kursi dan suara barang berjatuhan.
"Moshi moshi? Kibutsuji-san?! Douma-san?!"
Aku berusaha memanggil mereka berdua. Namun tak lama aku mendengar suara Douma-san begitu jelas.
"Maafkan aku, Muzan-sama. Aku akan menerima hukuman setelahnya."
Suara benturan keras terdengar selanjutnya, diikuti suara orang terjatuh.
Tak ada suara setelahnya, selain nafas Douma-san yang tersenggal-senggal. Handphone miliknya diraih, dia membalasku.
"Tanjiro-kun? kau masih disana?"
Aku terdiam sejenak.
Apa yang sebenarnya terjadi?
"Douma-san.."
"Syukurlah! kukira kau menutup telfonnya. Baik, dengarkan aku, konser itu tetap berjalan, apapun yang terjadi. Kau tetap siapkan semuanya, aku akan mengurus yang lain disini."
"B-baiklah, tapi, tunggu, apa yang sebenarnya–"
"Aku mohon padamu Tanjiro."
Suara Douma-san kini terdengar parau. Dia memohon padaku seperti tampak begitu menderita.
"Buat acara ini benar-benar terjadi."
Panggilan telfon terputus begitu saja.
Menyisakan diriku yang terdiam, tak tau harus berkata apa.
"Sebenarnya apa yang terjadi?"
Aku menatap layar handphone, menampakkan riwayat panggilan hari ini.
Lensa merahku menatap pemandangan luar jendela.
Dimana dedaunan jingga tertiup jauh, tersapu sang angin, menggantinya dengan butiran putih yang jatuh perlahan dari angkasa.
Dingin...
Hawa dingin merasuk dalam diriku.
Menumbuh suburkan rasa khawatir dalam lubuk.
"Apa dia baik-baik saja?"
"Kibutsuji-san.."
Setelah panggilan itu, aku semakin mengkhawatirkannya. Bahkan tidurku terisi hanya tentangnya.
Sosok pria bersurai hitam menatapku dari kejauhan.
Berjalan menjauh, menampakkan punggungnya padaku.
Dalam badai salju yang begitu lebat, dia menghilang.
Tenggelam dalam angin dingin, terjebak diantara tumpukan salju putih.
=================
⧼ Esok hari, awal musim dingin... ⧽
--- Kagaya's POV ---
Semua sudah terencana dengan baik.
Hanya tinggal menunggu keputusan miliknya.
Tenanglah Kagaya, tak perlu terburu-buru.
Semua ada di tanganmu.
"Kagaya-sama, acara yang anda inginkan sedang kami organisir."
Salah seorang asisten managerku muncul, mengabarkan progress acara milikku dan Muzan seorang.
Konser duet spesial musim dingin.
Sudah lama aku tak berduet dengannya. Mungkin dia terlalu sibuk untuk segala pekerjaannya.
"Memang, Muzan yang biasanya." senyumku terangkat hanya karena mengingatnya.
Semua anggota crew sibuk menyiapkan panggung dan segala perabotan.
Lalu lalang membawa segala hal.
Aku yang duduk sambil menunggu semua sudah merasa tidak sabar, memikirkan banyak hal yang bisa kulakukan bersamanya.
Hingga semua terpecahkan hanya karena suara sirine kebakaran.
"APIII!! AAA LARI ADA APII!!"
((abang saleh nyeleneng masuk))
Semua orang yang ada di gedung itu mulai berlarian, menyelamatkan diri mereka.
"Kagaya-sama! Kita harus segera keluar dari sini!"
Salah satu bodyguard menyuruhku untuk keluar dari gedung.
"T-tunggu, bagaimana dengan panggungnya?"
"Kami akan berusaha sebaik mungkin untuk itu, Kagaya-sama. Keamanan anda nomer satu sekarang."
Kalimatku selanjutnya terpotong, tubuhku ditarik begitu saja dari tempat itu.
Tanganku berusaha meraih panggung tempatku bersamanya.
Perlahan terlahap dan lenyap.
Tepat saat bodyguard menarikku, sosok seorang manusia berhasil tertangkap mataku.
Surai merah, lensa kuning, aku tau siapa dirinya.
Dia melihatku juga, kemudian berbalik arah, meninggalkan TKP begitu saja.
"Anak itu..."
===========
Keluar juga aku dari dalam gedung itu. Kepulan asap hitan terlihat, mengembang ke langit.
Sirine pemadam kebakaran terdengar, begitu juga riuh crewku yang khawatir.
"Kagaya-sama? syukurlah anda baik-baik saja."
Asisten manager menghampiriku dengan mata yang berkaca-kaca.
Dia sekhawatir itu padaku walau sudah tau kalau aku akan baik-baik saja?
"Kesampingkan perasaanmu. Apa yang menyebabkan kebakaran itu? bagaimana nasib rencanaku?" ucapku dingin.
Dia menatapku ragu, kepalanya ditundukkan.
"Saya dengar kebakaran disebabkan konsleting di bagian belakang panggung. D-dan itu memberi dampak besar pada panggung. S-saya tidak yakin acara dapat dilanjutkan."
Aku menatapnya geram, aku berjalan mendekatinya.
Plak!!
Satu tamparan keras jatuh di pipinya, suaraku meninggi.
"Kau ini bekerja dengan becus atau tidak? bukankah aku sudah bilang untuk benar-benar memperhatikan persiapan panggung?"
Dia menahan isakan, tangannya menutup luka tampar di pipinya, dengan gemetar menjawab "Hontouni gomenasai.."
Aku tak peduli lagi dengannya dan pergi begitu saja. Berjalan melewati orang-orang yang mengatakan banyak hal.
"Bukankah Kagaya-sama terlalu kasar padanya?"
"Tidak, justru anak baru itu pantas mendapatkannya. Kagaya-sama memang lembut, tapi dia tidak main-main soal karirnya."
Benar, karir adalah segalanya.
Bekerja sekarang atau mati kedepannya.
Juga bekerja sampai mendapat kedudukan tertinggi.
Kau tak akan mendapatkan apapun selain "tindasan" jika tidak terbang setinggi mungkin.
Kembali kuingat wajah manusia yang kutemui di TKP, seketika menarik pelatuk emosiku.
"Akan kubuat mereka menyesalinya."
============
--- Author's POV ---
Douma menatap layar ipadnya yang menampakkan ulasan berita terkini hari ini, dimana gedung Z, tempat Kagaya akan menggelar konsernya hangus terbakar.
Senyum Douma tak terelakkan lagi.
Tepat dibelakangnya, Akaza menunggu perintah.
"Kerja bagus, Akaza." Dia menyandarkan lehernya di ujung bantalan sofa, menatap Akaza dengan wajah terbaliknya. "Kau selalu bisa diandalkan."
"Sudah kubilang kan? cukup perintahkan saja aku. Semua akan terbalik 360 derajat." matanya tampak terbakar oleh tekad, tangannya mengepal erat.
Kepala kembali kutundukkan, tubuh kuangkat dari sofa. Aku berjalan ke arahnya, mengusap pipinya yang memiliki sisa abu.
"Sekarang, sentuhan terakhir."
Aku mengirim email itu pada Muzan-sama yang sedang menyantap sarapan di food court dekat apartemen.
Tak perlu khawatir, Kokushibo selalu ada bersamanya.
Muzan-sama, apa kau sudah lihat berita barusan?
Aku dengar gedung Z terbakar.
Syukurlah, semua baik-baik saja.
Aku juga senang mendengar kabar Kagaya-dono baik-baik saja. T^T)
Aku akan mengirim linknya diakhir email ini.
Anoo, Muzan-sama, apa kau yakin tetap menerima ajakannya?
Aku sarankan untuk mengikuti kemungkinan yang bisa kita ambil sekarang.
Mungkin mengambil kembali rencana konser di Kamado Bakery tidak ada salahnya.
Aku menunggu balasanmu Muzan-sama o(> <)o
Terkirim!
Baru lima menit terlewat, email dari Muzan-sama muncul di layarku.
Aku serahkan semuanya padamu Douma.
Dan jangan ganggu aku sekarang.
Kau tak ingin gajimu dipotong karena mengganggu sarapanku, bukan?
Itu saja, lakukan tugasmu.
Rona merah muncul diwajahku.
Moodku naik begitu kencang.
Aah, apa sih yang tidak lebih baik dari Muzan-sama yang membalasku dengan satu paragraf singkat?
Biasanya dia hanya menjawab, oke, baiklah, dan kata pendek lainnya.
"Jadi bagaimana?" Akaza menatapku penasaran.
Senyum kutunjukkan padanya, "Menang telak."
==================
To be continued..
°
°
°
°
=================
Ello, para pembaca setia "UWMA"!
Thor singkat aja biar nggak panjang-panjang hwhw
Gomen Author agak lama uploadnya, gegara banyak kerjaan plus ragu udah bener apa belum ini alurnya😂
Thankyou udah bersabar menunggu dan stay tune♡
=================
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro