Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 25 : Seputih Salju

Suara berdenging menggema di telingaku. Suara lainnya pun menyusul tak lama--seperti mesin yang mendeteksi detakan.

Dingin. Bising. Tapi lenggang dan putih. Dimana aku saat ini?

"Muzan?"

Ah, suara ini... Tunggu. Dia tak seharusnya disini. Kenapa dia bisa disini?

Seharusnya... seharusnya aku bersama Tanjiro. Ya, itu benar. Aku berada di bawah atap penginapan yang sama bersama Tanjiro. Lalu... bersama yang lainnya juga. Kenapa kepalaku samar sekali mengingatnya?

Kepalaku menoleh kesamping. Ku dapati figur yang muncul sebagai ancaman ku itu tersenyum lega dari tempatnya.
Tidak, aku yang sekarang tahu, bahwa semua itu palsu.

Dengan cepat tubuhku bangkit, hendak meraihnya bukan karena aku menginginkannya.

"APA YANG KAU LAKUKAN, KAGAYA?!"

Sosok itu, pria yang menjadi tunanganku dalam darah keluarga Kibutsuji, dia tersentak.

"M-Muzan, apa kau b-baik-baik saja?"

"Berhenti berakting, Kagaya! Kau membuatku muak!!" bentakku.

Kini raut wajahnya surut. Senyum dan nada suara lega yang dibuatnya kini menyeringai--itu adalah "wajah asli" darinya.

"Kenapa, Muzan? Aku tak berakting, kita tidak sedang bekerja. Kau ada di rumah sakit dan setelah lama koma... kau akhirnya siuman juga. Apa kau tak menyukainya, kembali hidup? Aku hanya membantu kita. Apakah aku salah?" tuturnya.

Darahku mendidih dibuatnya. Nyaris saja aku membantingnya ke lantai seperti yang seharusnya dia rasakan. Namun pintu terbuka dan menampakkan sosok tak kuharapkan ada disana.

Wajahnya masam. Tanda ketidakpuasannya terpoles jelas di usianya yang kian menua.

"Muzan."

Gema. Gema itu membekukan tubuhku dalam hitungan detik saja. Kagaya menoleh padanya, dengan lengkung bibir termanisnya.

"Papa~ Syukurlah kau sudah datang. Muzan baru saja sadar!" jawabnya riang.

Sosok tua bangka itu melirik kearahku yang langsung melepas Kagaya.

"Seharusnya kau tahu kau berhutang budi pada Kagaya, Muzan. Dia yang menemukanmu di insiden kebakaran tempatmu berlibur itu. Bahkan dia sudah pergi duluan sebelum aku memesankan helikopter tercepat untuknya."

Kain selimut putih berkerut, gemetar. "Insiden... kebakaran..?" Aku yakin otakku saat ini sedang berjuang keras mengingatnya,  bahkan sampai saraf miliknya terasa begitu menyakitkan... dan aku menyadari perban putih sudah melingkar di kepala ku.

"Tidak ada korban jiwa disana. Hanya kau. Memalukan. Kau membuat nama kita tampak bodoh hanya karena tertimpa kayu besar," desisnya.

Tunggu. Apa? Kayu?
Aku tak mengingat ada kayu yang menimpaku sebelum kesadaranku hilang.

Kecuali...

Benar, dia tersungging, lagi.

"Dan apalagi yang membuatmu semakin mempermalukan diri selain membuat skandal dengan Tanjira-Tanjira an mu itu, hm? Kebenaran apa yang sudah kau sembunyikan darimu lewat pelayan bodoh-mu itu?"

Sengatan dingin menusuk pundakku. Sial. Kenapa aku tak bisa bergerak begini?! Kenapa aku selalu tak bisa melawannya lagi??

Kagaya hanya mampu menatapku dari balik raut kasihannya. DIA! Dia sudah merencanakan semua ini!

"Bagaimana dengan mereka?!" bentakku, akhirnya. "Aku tak kesana sendirian. Douma, Kokushibo, Akaza juga ada disana!"

Dirinya tak menjawab apapun selain dua pundaknya yang terangkat. Geramku semakin terdengar dibalik desis.

"Besok Pagi. Kau dan Kagaya akan menikah."

Kalimat itu tanpa ampun menamparku tanpa tangannya. Dengan dua maniknya yang tak berbeda denganku, dia berkata...

"Tidak ada penolakan kali ini."

× × ×

Putih... Seputih salju.

Apa ini yang kau sebut "kesucian" sesungguhnya, ibu?

Aku tak merasa diriku begitu. Aku juga tak merasakan keindahan hari itu lagi.

Hari dimana kau dibawa pergi dariku. Dan tua bangka itu tak mengatakan apapun selain... bahwa itu semua takdirmu.

"Takdir", apa itu menurutnya?
Apa semua yang kurasakan kini juga bagian dari itu?

Pembalasan kehidupanku sebelumnya.
Adalah dengan kehilangan orang-orang yang sungguh kusayangi?

Setelan putih yang mengadaptasi kesan musim dingin, juga terangnya sinar mentari di pagi hari. Tubuhku yang sudah berkulit pucat kini dikenakan warna sesama itu pula.

"Tuan muda," panggil seseorang.

"Douma?"

Bayanganku kini, di depanku saat ini adalah Douma yang tersenyum di masa kecilnya--pelayan setia ku yang selalu penuh dengan tawa renyah itu.

"Aku ingin bisa melihat tuan tersenyum untukku!" katanya. Sambil diperagakannya bagaimana senyum lebar itu diciptakan dengan dua tangannya... yang tak pucat sepertiku.

"Maaf, tuan?" Bayangan itu seketika sirna menjadi figur pelayan pria yang membantuku menyiapkan diri.

"A-ah. Maaf. Aku salah mengira."

Dimana kau saat ini, Douma?
Aku tak bisa memegang satu pun alat komunikasi ku sejak aku terbangun. Pria tua itu mengendalikan segalanya dan memutus apapun selain jadwal hari ini.

"Sudah waktunya. Silahkan, tuan muda." Dia membukakan pintu untukku, mempersilahkanku untuk keluar dari tempat ini.

Apa aku sungguh tak bisa mengelak?

Apa aku sungguh harus menerima ini semua begitu saja?

Kaki ku mulai gemetaran, aneh. Tak biasanya aku merasa seketakutan ini.
Hawa dingin seperti menyerangku begitu saja. Dan aku tak bisa melakukan apapun selain diam di tempat, disana.

Saat pandangku jatuh kebawah, bukan karpet merah yang kupandang. Tapi lubang gelap kemerahan yang beriak... seperti hanya ada darah, kegelapan, dan penderitaan tak terbatas disana.

Apa ini karma?

Terlalu terlambat kah aku untuk mengubahnya?

Tanjiro...

"Kita mulai kehabisan waktu, tuan muda. Tuan besar sudah meminta saya untuk segera membawa anda pergi," ujar sang pelayan.

Gigi ku menggertak. Langkahku berjalan... menenggelamkan bayanganku yang langsung terhisap lubang gelap yang dalam itu.

× × ×

Upacara Pernikahan.

Dimana banyak orang akan bersorak-sorai bila dua mempelai sudah mengikatkan janji cinta sejati mereka.

Aku bisa melihatnya. Sosok dengan setelan setengah gaun itu berdiri diujung pintu, tersenyum kepadaku. Perlahan-lahan dia berjalan mendekatiku yang sudah lebih lama menunggu.

Hari ini cuaca nampak cerah. Seakan semesta menerima fenomena hari ini sebagai karunia. Sementara aku melihatnya sebagai ritual penghapusan dosa yang kian mendekat.

Dua figur berdiri berhadap-hadapan, antara diriku dan dirinya. Semua dengan tali merah yang sudah direncanakan sejak awal mula.

Merah... apakah ini warna cinta ataukah darah?

Kagaya mendongakkan wajahnya padaku. Dia tampak lebih sumringah dari biasanya.

"Ada apa, Muzan? Apa kau gugup?" tanya nya lembut.

Pandanganku mulai memburam, menggelap. Tidak, aku bukan kelelahan. Aku hanya... mulai kehilangan warna dunia saja. Seperti saat aku masih muda.

"Tidak," balasku singkat.

"Baguslah~ Aku senang mendengarnya." Dia mengisyaratkan kepada pastur yang berdiri diantara dua figur dan mulai melempar pertanyaan monoton kepada setiap calon pasangan hidup--untuk cinta... atau penderitaan?

Kagaya menjawabnya dengan begitu yakin. Aku tahu pria sepertinya sudah menanti ini begitu lama. Merancang segala hal sedemikian rupa. Untuk meraih apa yang begitu diinginkannya--aku.

"Kepada saudara Kibutsuji Muzan. Apakah sudara bersedia bersama dengan Kibutsuji Kagaya, sehidup-semati... dalam suka maupun duka?"

Dua manik Kagaya gemerlap merefleksikan cahaya, sedikit bergetar-getar menunggu jawabku untuknya.

Dia tau, karena aku terancam dengan tatapan sengit nan dingin dari suatu sudut yang terus memperhatikan gerak-gerikku.

Bibirku terbelah perlahan. Hembus terlepas bukan berarti aku berusaha tenang. Pundakku mulai merasakan beban demi beban ditimpakan, bersama dengan jawabku yang akan terutarakan.

"Aku, Kibutsuji Muzan."

Satu kalimat terucapkan. Sisa dua lainnya.

"Menyatakan bahwa..."

Yang terakhir dan paling ditunggu para pemirsa dibalik lensa kamera. Dibalik semua keinginan yang diharapkan dari para tamu undangan.

Mataku terpejam sesaat. Seandainya aku mampu berputar kembali dalam waktu.

Haruskah pada pagi buta itu aku tak mengangkat telfon itu dan tak meninggalkan Tanjiro begiru saja?

Jikalau aku tau, seseorang yang menungguku dan mengancamku malam itu--bahwa dia akan melakukan hal yang mengerikan kepada semua orang yang kuanggap berharga--adalah bawahan entah suruhan dari Kagaya untuk menjalankan rencananya.

Mungkin... mungkin saja. Aku tak akan berdiri disini! Aku tak perlu memaksakan diri untuk menerima Kagaya menjadi pasangan sehidup-semati ku!

"Tuan Kibutsuji Muzan?" pastur bertanya. Keringat dinginku mulai tampak selagi aku berkecamuk dengan pikiran yang berantakan.

"Muzan?"

Hawa dingin kembali menarikku kembali ke kenyataan. Tidak. Ini bukan hanya datang dari satu arah--namun dua!

Manik Kagaya yang menegang lebar, menungguku dibalik mimik tak sabarnya yang lembut tanpa adanya paksaan "dari luarnya".
Dan seorang lagi berbisik dari tempat duduk yang tak jauh.

"Ԟ₳Ʉ ₳Ԟ₳₦ ⲘɆ₦ɆɌƗⲘ₳₦¥₳, Ԟ₳₦, ԞƗɃɄ₮$ɄɈƗ ⲘɄƵ₳₦?"

Tidak! Ini bukan diriku!!

Hentikan! HENTIKAN SEMUA INI?!

"KAMI KEBERATAAAAN!!"

Dobrakan pintu terdengar begitu kencang, mengejutkan seisi tempat dengan mulut menganga.

Formasi para bodyguard hancur seketika dengan kedatangan tiga tamu tak diundang. Seorang dengan punggung tinggi besar menghancurkan formasi dengan mudah.
Seorang lagi dengan kemampuan bela diri memporakporandakan suasana.
Dan satu lagi baru saja membuat pingsan seorang bodyguard dengan sundulan kepalanya.

"MUZAN-SAMA!" pekik salah satunya.

"Akaza?!"

Untuk kali pertama Akaza menaikkan nada suaranya padaku. Ya, tuannya. Dan aku belum bisa mempercayainya dalam sekian detik.

"ENYAH LU DARISONO! KAGAYA AS*U! JAN**K! INI PERINTAH TERAKHIR DOUMA PAN*TE* ITU! BODYGUARD KAMPR*T, MINGGIR!!!"

Aku bisa melihat bagaimana dia akhirnya bisa membebaskan diri berkespresi seperti itu. Tapi apa barusan katanya? Permintaan terkahir Douma? Dimana dia?

"Tahan mereka!" perintah si tua bangka, membangkitkan banyak pasukan yang melebihi jumlah mereka.

Tapi Kokushibo? Tak ada yang bisa menandinginya sebagai bodyguard terkuat di keluarga Kibutsuji. Ayunan satu tangannya bisa meruntuhkan tatanan tulang belulang lima pria dewasa. Dan sekarang dia mengamuk seakan tak seorang pun bisa menyentuhnya.

Aku berniat untuk berlari kearah Akaza, sebelum Kagaya menahan pergelangan tanganku dalam ricuhnya para tamu undangan yang diungsikan.

"Ayo pergi, Muzan. Kita saling mencintai, bukan?"

Aku nyaris sekali jatuh kepadanya sekali lagi. Genggaman tangan yang terus menahanku itu kini berhasil kulepas, perlahan.

"Maaf, Kagaya. Tapi yang ini, kau sendiri. Aku tak sama seperti ucapmu. Aku murni mencintainya."

Dan dengan begitu aku melepaskan bayangan masalalu ku yang terus menerus membungkam. Menuju keramaian yang penuh kehancuran dan keramaian. Menembus dorongan-dorongan yang menghalangku selalu.

Tanganku terarah kepadanya seorang. Sosok cahaya yang menjadi ujung dari kegelapan merah ini--jatuh dalam dekapanku, diantara ramainya orang sekitar.

"Muzan, kau baik-baik saja!," tuturnya menitikkan air mata hangatnya, melingkarkan tangannya ke punggung putih ku.

Seketika warna-warna dunia kembali terpecik dari fenomena yang kini kurasakan dengannya.

Kulit hangatnya.

Detak jantungku.

Tatap tulus dari maniknya.

Pejaman manikku yang mengerat dalam pertemuan kembali dengannya.

Tenggelam dalam pundaknya yang merindukan. Usapnya yang mengingatkan. Bahwa dia ada untukku, tepat saat ini, di masa ini. Menghapus pergi musim dingin masalalu, digantikannya kilap terangnya sinar mentari di ufuk pagi--kehidupan keduaku, kesempatan keduaku!

"Sekarang! Kita harus pergi, Muzan-sama!" ujar Kokushibo. "Kali ini, aku akan melindungi kalian berdua."

Aku tak pernah mendengar Kokushibo sekuat itu memegang ucapannya. Selama yang ku tau, dia hanya diam, dan menurut begitu saja.
Namun kali ini, apakah dia sudah menemukan keinginan sesungguhnya?

Kokushibo menggiring ku dan Tanjiro dari segala porak-poranda. Sementara Akaza membukakan jalan dengan amukannya yang semakin terbakar. Dia menghancurkan segala dengan seruan amarahnya yang tak terkendali tutur katanya. Seakan... dia berada di titik nadirnya. Apa yang terjadi padanya?

Saat Kokushibo menggiring kami berdua semakin dan semakin dekat dengan pintu keluar. Tubuhnya seketika rubuh. Seseorang menembakkan sengatan listrik begitu tinggi dari balik tubuhnya.

Siapa lagi.... kalau bukan Kagaya?

Suara terjatuh begitu keras membuat perhatian Akaza teralihkan.

"Koku--Kagaya brengsek!!"

Dia melompat dari tempatnya. Gerik cepatnya terus menyambar Kagaya yang dengan lihai menghindarinya.

Kagaya bukanlah orang yang pandai dalam berbela diri. Namun pekerjaan aktornya membuatnya belajar gerakan-gerakan yang mendekati bela diri untuk menghindari serangan Akaza. Cukup cepat, sampai-sampai Akaza mampu diserangnya balik--anak bela diri itu mengaduh dibuatnya.

Kagaya terus berjalan mundur, semakin Akaza bergerak maju.

"Akan kubalaskan kematian Douma!!!"

Pekikannya barusan menjawab tanda tanyaku. Tentu, itu nyaris melemahkan setiap pembuluh darah ku.

"D-douma..?"

Bayangan setiap memori dalam benakku kini, semua tentang Douma yang selalu ada disampingku saat membutuhkannya. Pecah, menjadi bayaran atas segalanya.

Tanjiro menarik-narik tanganku, menyuruhku pergi. Akaza dengan sengitnya terlibat dalam pertarungan balas dendamnya. Begitu juga Kagaya yang tenggelam dalam dendamnya juga.

"Kalian pantas mati karena menghalangiku dan Muzan untuk bersatu!" sentak Kagaya akhirnya. Satu serangan fatal yang melesat melewati pundak Akaza.

Dan saat giliran Akaza ingin membalasnya, gravitasi menariknya dengan ganas. Benturan begitu keras membenturkannya ke atas meja-meja, jatuh dia ke tanah, dan tak berkutik.

Kagaya nyaris tersenyum dengan sosok yang menolongnya kala itu, namun seketika surut saat melihat sosok lain di belakangnya yang menghentikan segalanya.

"Berhenti! Kalian semua." Suara itu menghentikan segalanya.

Perban menutupi setengah wajahnya. Rambutnya terpotong berantakan. Dan dia melangkah maju, hanya suara kakinya yang terdengar.

"Pestanya sudah selesai."

× × ×

To be continued...

[Hayo absen~ siapa yang sampe sekarang masih nungguin fanfict ini?]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro