Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 22 : Cahaya dari timur

Muzan's POV

Udara terasa berbeda saat nafas kutarik. Bahkan sinar mentari yang menembus kelopak mataku juga–tunggu, seharusnya jendela ruangku dengan Tanjiro bukan disitu.

Lonjakan kejut dalam dadaku membentur kencang, mendorongku bangkit dari posisi terlentang di atas alas yang tak sama seperti terakhir kali aku mengingatnya.

"Muzan? Syukurlah, kau sudah siuman," ujarnya dengan senyum khas seakan semua baik-baik saja.

Urat keningku menegang, mataku melotot kearahnya, "Kagaya!—" geramku. Hendak ku kejar kerahnya yang ingin kutarik, namun selang bening yang terkait pada penutup hidung dan mulut yang membantu nafasku ini menghalangi gerakku.

Nyeri pada pundak dan punggung ku pun terasa membebani. Menarik gravitasi menjadi dua kali lebih berat dari biasanya. Kagaya menahanku. Seakan tak ingin aku bangkit karena kondisi yang tak mendukung saat ini.

"Apa yang kau lakukan, Kagaya?"

Dia terdiam.

"JAWAB AKU!!" bentakku.

Perlahan senyum liciknya muncul dari balik bayangan poni depannya.

"Aku hanya melakukan... apa yang kuanggap benar, Muzan. Kau tenanglah, semua sudah baik-baik saja sekarang."

"Baik-baik saja apa maksudm–"

Klak! Pintu terbuka sebelum sempat kulontarkan kata lanjutan pada Kagaya. Seorang pria berjas dengan simbol khas, penitis rupa yang kini kumiliki, dia menapak masuk. Bibirnya bergaris datar, tatapnya dingin menusuk dari lensa merah tajamnya, memecah atmosfer ruangan itu.

"Papa," Kagaya menoleh pada figur itu.

Tatap ku menegang. Terkejut akan bagaimana pria tua ini bisa disini.

"Muzan."

Dingin. Kaku. Tak terbantahkan. Panggilannya membuatku menundukkan kepala secara sontak.

"Apa kau sungguh berniat untuk menghancurkan janji kita?"

Tak ada kata yang mampu muncul dari mulutku. Meskipun ku ingin sekali menjawab, menepis pertanyaannya, menyatakan rasa berdegub dalam jantung ini padanya–tak ada yang berani untuk mengudara dari mulutku. Lantas dia melempar pandangnya pada Kagaya, senyumnya yang tipis-tipis muncul.

"Maafkan aku, Kagaya." Tangannya jatuh dan mengusap di atas pundak Kagaya. "Aku tak bisa mengawasi Muzan dengan baik. Aku sungguh... sungguh memintamaaf soal ini padamu." Suaranya bergetar, bersama punggung yang sekilas menampakkan rasa kecewa dan bersalahnya yang begitu dalam. Senyumnya lenyap seketika.

"Papa..." Kagaya memulai trik busuknya, mengikuti arus atmosfer dramatis dengan mimiknya yang mendukung.

Papa yang mudah terlena dengan kebohongan andalannya itu menyeka ujung matanya. Jarang sekali aku melihat dirinya mampu menangis seumur hidupku.

"Sudah kuputuskan." Tubuhnya bangkit. Maniknya menatapku dan Kagaya bersamaan. "Kita akan segera melaksanakannya."

Lensaku membelalak, "Melaksanakannya...?"

Seketika selimut yang berada diatasku langsung kuseka kesamping. Tanpa memperdulikan selang yang lang

"KAU BERCANDA, AYAH!"

Kagaya sekali lagi menahan gerak tubuhku yang berlebihan.

"Lepaskan--Kagaya! Kau tak bisa melakukannya tanpa sepertujuanku kesiapanku.... kau tak bisa, Ayah!!"

Bibir ayah melengkung, alisnya pun mengikuti.

"Maaf, Muzan. Tapi kau yang memulainya. Bukankah kau sadar akan 'janji keluarga' kita?"

"Bukankah aku sudah cukup jelas membuat aturan batasan itu untuk kebaikanmu?" sambungnya.

"Kau telah berani menipuku soal anak melambai itu. Bahkan Kagaya--tidak.."

Dia menundukkan kepalanya sebelum menaikkan suaranya begitu tegas.

"Kau telah mempermalukan keluarga Kibutsuji, Muzan. Aku kecewa denganmu."

Jantungku seketika berhenti memompa darah ke pembuluh-pembuluhnya. Hangatnya suhu ruangan terhembus hilang. Pergi menjadi angin musim dingin membekukan. Menghentikan segala momentum.

"Acara akan dimulai besok. Dan akan bertempat di kediaman Kibutsuji."

Ayah memutar balik punggungnya, beranjak pergi tanpa mempertanyakan bagaimana kondisiku, atau pendapatku dengan ini semua. Dia tak pernah mendengarkanku.

Seorang asisten mengikuti di belakangnya sesaat setelah pintu ruang ku berada tertutup. Gema langkah kakinya semakin menjauh, namun suara darinya terdengar jelas di telingaku.

"Persiapkan semuanya. Malam ini semua harus beres. Dari pakaian, hidangan, rundown acara, dan tamu undangan. Semuanya."

"Pernikahan Muzan dan Kagaya harus dilaksanakan besok pagi."

=====================

[ Jauh sebelum semua itu terjadi... ]

Tanjiro's POV

"Uhuk! uhukk!!"

Bagaimana bisa ini terjadi?!

Kepulan asap terus memenuhi ruangan, menutup pandanganku untuk mencari jalan keluar. Entah darimana percikan api itu berasal, aku hanya mengandalkan keingintahuanku sebelum api meluber kemana-mana.

Hanya sebuah cahaya kecil yang tampak memancar dari balik pintu kamar, hal itu terjadi aku baru saja membuka mata.

Muzan sudah tak ada disebelahku. Entah kemana dia pergi.

Hari masih begitu dini. Udara menusuk musim dingin bercampur dengan panas menyengat api yang semakin lama semakin besar berkobar.

Aku berusaha membuka jendela pada saat itu. Berniat melompat dari sana tapi... dibawah sana hanya ada bebatuan keras yang bisa melukai ku saat mendarat. Itu bukanlah pilihan tepat.

Sementara itu api terus membesar, memakan dinding, lantai, bahkan kayu yang sudah menjadi serpihan abu terbakar.

"...jiro!.."

Suara Muzan terdengar samar-samar. Sebuah harapan terpantik dalam hati ku. Aku memanggilnya kembali.

"Muzan! Aku disini, dalam kamar!"

Setelah itu semuanya sunyi. Aku tak mendengarnya lagi. Namun aku terus memanggil namanya. Terus, terus, dan terus.

"Muzan? Muzan, kau disana??"

Belum juga ku mampu menapak sedikit kearah dinding yang terbakar—langit-langit jatuh nyaris menimpaku, sontak aku melompat mundur dengan insting cepat.

Keringat dingin mulai menitik di pelipis ku. Bagaimana jika aku tak bisa keluar? Tidak! Tidak, Tanjiro. Aku masih punya Nezuko dan yang lainnya menungguku kembali. Aku tak boleh menyerah disini!

Tapi, bagaimana caranya keluar?

Pertanyaan itu terus berputar di kepalaku. Sambil menahan sesak dan terus berusaha bertahan dengan nafas yang semakin menyerah.

Mengedarkan pandangan, kutemukan bantal yang masih tak sepenuhnya terbakar, kainnya langkung kulepaskan dari bantalnya, lantas kutuangkan air mineral tersisa yang ada dalam botol-botol persediaan. Kemudian kukenakan itu untuk menutupi hidung-mulut. Setidaknya ini yang kuingat dari simulasi kelas darurat dulu.

Lalu, sekarang apa?
Aku mencari-cari ponsel ku tapi tak juga ketemu.

Api semakin mendekat, semakin memojokkanku ke tepi jendela. Seakan mereka mendorongku menuju jalur kematian.

Aku tak ingin mati.

Aku masih ingin hidup!

Siapapun...

Panasnya api begitu menyengat kulit. Degup jantungku mengejar nafas yang semakin memendek. Aku berjuang sebisa mungkin untuk berdiri tegap, namun berakhir merosot turun, terduduk, dan terbatuk.

Nezuko.. ayah... ibu... lainnya..

Sosok mereka membayang di mata ku, seperti putaran masalalu. Senyuman mereka, suara mereka. Ku tak boleh berakhir begini! Tak ada yang ingin untuk berakhir seperti ini.

Merahnya api terus menggerus optimisku. Pandanganku semakin memudar. Bersamaan kaki ku melemah, menyerah.

'Tanjiro!'

Samar-samar aku mulai mendengar suara tak nyata di telingaku. Suara yang begitu familiar. Ah ya, Douma... Usahanya begitu keras untuk membuatku dan Muzan bertemu. Juga Akaza dan Kokushibo... aku.. tak akan melupakan mereka..

Suara kayu-kayu yang tergerogoti api masih terdengar. Namun, perlahan-lahan semua semakin dan semakin samar. Dan menggelap--

"TANJIRO!!"

ZRAASSHH!!

Asap putih tiba-tiba muncul dari arah pintu, bersama pancaran dingin yang menyejukkan panas sejenak. Seseorang menemukanku.

"D-dou.. ma?" ucapku lirih, menebak apakah itu sungguh dirinya yang membayang di mataku.

Douma menyemprotkan kembali benda yang dibawanya untuk membuka jalannya menuju ke arahku. Kemudian dia melempar benda itu begitu saja pada seorang dibelakangnya--Akaza.

"W-wh—hey! Yang bener ngasihnya, Douma!" celetuknya kesal.

Douma berlari menghampiriku. "Kau baik-baik saja?! Nafasmu sesak? Kau punya asma?" tanya nya panik.

Aku tak percaya mereka benar-benar disini. Bagaimana bisa?

Kepalaku menggeleng, "Aku—uhuk! uhuk!—tidak punya asma."

"Kalau begitu bertahanlah. Kita akan keluar dari sini. Semua ini perbuatan Kagaya!" Pekikan suara Douma terdengar cukup keras. Aku bahkan tak percaya dengan apa yang dikatakannya.

Dengan cekatan Douma mengalungkan lenganku ke lehernya. "Akaza, bukakan jalannya!"

"Tak kau bilang pun aku sudah tahu!" balas Akaza. Dia mengguncang alat itu beberapa kali, menekannya, namun tak terjadi apapun. "Sial! Ini sudah habis!" Benda itu dibantingnya.

Wajah kami sama-sama memucat. Douma berpikir keras. Dia menoleh ke arah jendela, namun segaris keraguannya tampak begitu jelas.

"Jangan gila, Douma! Kita bisa mati kalau melompat dari sana," protes Akaza.

"LALU APA, AKAZA? MENUNGGU DAN MATI DISINI?!"

Untuk pertama kalinya aku mendengar suara Douma yang berat dan membentak. "Aku tak akan membiarkan satupun dari kalian mati disini. Tidak akan," desisnya menolak.

Akaza tak berani membalas. Dia masih membelalak tak percaya, lantas membuang benda itu begitu saja ke sampingnya.

"Kalau aku dan Tanjiro selamat, tapi kau tidak. Itu sama saja!" protes Akaza.

"Jadi kau memilih mati disini bersama-sama begitu?" suaranya Douma menjadi dingin.

"Bukan itu maksudku!--"

"Cukup, Akaza!" tepis Douma, "Ini bukan saatnya bertengkar santai."

Douma meraih bingkai jendela, menelik ketinggian yang dirasa berbahaya itu. Dia berusaha melawan rasa takutnya sambil mencari cara.

Akaza menarik pundaknya dengan kasar. "Kau dengarlah aku sebentar!"

"Sebentar apa?!"

"JANGAN MATI KONYOL, DASAR BODOH! KAU PIKIR MUZAN-SAMA AKAN SENANG DENGAN PENGORBANAN SOK HEROIK MU!"

Douma tersentak. Tatapnya jatuh ke samping, menggeram, sepertinya dia mengingat sesuatu.

"Kau bersumpah akan membawakan kebahagiaan untuk Muzan-sama, bukan? Dan kau juga bersumpah tak akan mengingkari itu, bukan?"

Perlawanan kata dari Akaza sukses membuat Douma diam seribu bahasa. Bibirnya bergetar.

"L-lalu... sekarang harus bagaimana, Akaza? itu pertanyaanku," serik dia menjawab. Kepalanya menunduk dalam keputusasaan. Baru kali ini aku melihat Douma sedikit gemetar.

Satu demi satu perabotan terlalap api, bahkan Akaza menepis api yang membakar ujung bajunya. Alisnya mengerut keras, memikirkan cara. Dan saat itulah, suara seseorang berat terdengar.

"Menyingkir dari jendela!"

Semua tatap terpancing saat pintu geser yang sudah runtuh itu melayang karena pukulan keras seseorang. Pintu itu menabrak jendela dan jatuh dari ketinggian sekian meter.

"Kokushibo?!"

Kokushibo menatap kami dengan keringat mengalir di keningnya. "Cepat keluar! Aku akan membukakan jalannya!" serunya.

Sontak Douma membimbingku untuk berjalan. Akaza berlari kearah Kokushibo.

"Bagaimana kau bisa ada disini?"

"Akan ku jelaskan nanti. Sekarang, cepat."

Akaza menggigit bibirnya, berdecih, kemudian dia kembali ke arah Douma untuk membantunya menompangku.

Kami berjalan melewati jalan yang berhiaskan nyala api dimana-mana. Kokushibo mencari jalan di depan sekaligus memeriksa kondisi dimana dia dapat dengan mudah menggunakan kekuatan fisiknya untuk menghancurkan penghalang yang ada.

Satu demi satu jalan terbuka, tapi nyala api semakin membara.

"Cepat, Kokushibo!" bentak Douma tak sabar. Tak biasanya dia begini.

Detak-detik menggema di telingaku. Rasanya saat ini benar-benar antara hidup dan mati.

"Sedikit.. lagi!" gumam Kokushibo mendobrak satu penghalang terakhir dimana pintu utama tepat di depannya.

"Itu pintu keluarnya!" sontak Akaza dengan gemerlap di lensanya.

Degub jantungku seketika luruh melihat harapan sudah di depan mata. Akaza menarikku maju, diikuti Douma, juga Kokushibo yang memimpin jalan.

Pintu utama masih terbuka lebar, orang-orang diluar mulai menunjuk ke arah kami, suara-suara mereka terdengar bersama suara kayu terbakar.

Klatak... BRAK!

"BAHAYA!!"

Pekikan seseorang muncul bersama dengan dorongan kuat dari balik punggungku. Mendorongku dan Akaza maju ke depan sampai tersungkur.

Akaza sempat menoleh kebelakang. Kayu lantai dua baru saja terjatuh dengan langit-langit ruang lobi. Menimpa seseorang disana.

"DOUMA!" jerit Akaza.

Akaza langsung melepasku, dia hendak berlari masuk kembali untuk melewati kayu terbakar yang membatasi kami dengan Douma.

"Bahaya, Akaza!" Kokushibo menarik lengan Akaza yang menghentikannya. "Cepat keluar!"

"Tapi Douma--Kau gila, Kokushibo!"

"Utamakan keselamatanmu, Akaza!"

"Lepaskan aku!!"

"Akaza!"

"ENYAH KAU, KOKUSHIBO!! AKU HARUS MENYELAMATKAN DOUMA!"

Akaza terus memberontak, memberikan Kokushibo pilihan untuk mengangkatnya dengan paksa juga aku dengan dua tangannya yang besar.

"LEPAS, KOKUSHIBO!! DOUMA! DOUMAAAAAAA!!!!"

Dari balik kayu-kayu terbakar, langit-langit yang runtuh, bayangan Douma bangkit perlahan. Douma bangkit sambil menepis api yang membakar poni sampingnya. Sesaat dia melihat kearah kami dengan setengah wajah berbekas luka terbakar.
Lensa Douma membelalak sebelum air mata mengalir disana. Lantas dia tersenyum.

Kayu-kayu kembali berjatuhan yang semakin memperpendek jarak pandang. Sirine mobil pemadam dan ambulans ikut meramaikan kehisterisan.

Kokushibo masih membawa Akaza. Mengikutiku yang sudah diarahkan ke dalam ambulan oleh petugas keselamatan.

Mobil ambulan membawa kami pergi. Seraya aku menarik nafas dengan alat bantu, Akaza tak berhenti meneriakkan nama Douma dalam ambulans. Hal itu mendesak Kokushibo untuk menepis tengkuk leher Akaza, membuatnya pingsan.

"...Maafkan aku." Matanya tertutup rapat. Suaranya lirih penuh rasa bersalah juga ketidakpercayaan. Aku bisa memahaminya. Begitu menyakitkan dalam lubukku. Dan Douma... semua disini masih belum bisa menerima kepergiannya.

Apa yang terjadi?
Kenapa bisa seperti ini?

Air mata ku mengalir, membuat aliran hilir. Kini kami sudah berada di tempat yang lain, bersama silau mentari fajar di ujung timur yang menyingsing.

=================
To be continued...

((Author lupa Muzan Kibutsuji itu marganya "Kibutsuji" atau "Muzan" nya.))

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro