Chapter 21 : Ruang Nostalgia
....-sama...
... Muzan-sama...
... Muzan-sama!
Mataku berkedip dua kali, sebelum pandanganku semakin jelas melihat sekitar. Lirikku jatuh pada seorang yang familiar. Seorang yang setia mengikutiku selama ini.
"Dia bangun. Oi, Douma! Muzan-sama sudah bangun!"
Suara ini... aneh sekali, rasanya begitu familiar.
Sebentar, biar kuingat.
Seorang lelaki dengan surai panjang kemudian datang. Gercap dia mendekatiku. Memelukku tanpa memikirkan aku sudah memberinya izin atau tidak.
"Syukurlah! Syukurlah kau baik saja, Muzan-sama!"
Dingin. Air mata yang mengalir dari matanya.
Apa karena cuaca sebegitu dingin, ya?
"Tanjiro bagaimana?" tanya seorang berambut merah agak muda itu.
"Dia..."
Tunggu... Tanjiro?
Bibir pria bersurai panjang kemudian tertutup rapat. Rautnya kecewa, khawatir, bercampur jadi satu. Hela nafasnya kemudian terdengar dengan secarik senyuman.
"Tidak perlu khawatir, Akaza. Mungkin sebentar lagi dia akan bangun juga," jawabnya. Walau kurasa itu bukan yang sebenarnya.
Lawan bicaranya menggelang kepala dan menghela lelah. "Mau kau ajak kemana-mana, entah kenapa bawaannya selalu tidak lancar. Selalu saja ada masalah. Tapi kurasa kau sudah merencanakan ini semua dengan baik kan sebelumnya?"
Pria satunya masih tersenyum tak menjawab, beberapa titik keringat mengalir deras di pelipisnya, matanya terbelalak sambil mempertahankan senyumnya.
"Kau... merencanakan semuanya dengan baik kan... Douma?" tanya kawannya mulai tak yakin.
Pria itu membuang tatap dari lawan bicaranya. Menghindari tatapan mematikan itu.
Brak!
Tiba-tiba saja pintu geser terbuka cukup kencang. Seorang bertubuh tinggi kekar muncul disana.
"Muzan-sama!?"
Dia tampak begitu khawatir juga. Garis wajahnya kaku. Rasanya tak biasa saja dia sampai sebegininya.
"Eh? Kokushibo, sejak kapan--maksudku, aku belum memberitahu apapun kau sudah datang," ujar lelaki berambut merah yang hitungannya agak muda dari orang baru masuk ini.
"Jelas dari insting miliknya. Sesuatu yang kusukai dari Kokushibo dan tak dimiliki orang lain~ Benar, kan?" sahut lelaki berambut panjang itu, menompang pipi dengan telapaknya.
Kokushibo..
Douma..
Akaza..
Tanjiro..
Kepalaku berdenyut. Seakan saraf-saraf didalamnya memompa sesuatu yang seharusnya ku ketahui.
Tangan kananku mencengkram dahi. Dimana kurasakan urat demi urat menegang, merintih tekanan kuat yang memberontak memasuki kepalaku.
Seorang berambut panjang itu menyadariku mengeluh sakit.
"M-Muzan-sama. Pelan-pelan saja. Kau tak perlu memaksakan--"
"Tanjiro..."
"Eh?"
"Bawa aku. Pada Tanjiro," geramku.
Ketiganya terkejut, menegang. Sontak mereka saling mengangguk, lalu menggeser pintu pembatas yang ada disampingku.
Seorang lelaki muda terbaring disana, dibawah futon. Nafasnya masih ada, dia masih hidup, syukurlah. Hanya saja tak ada tanda-tanda dua manik dibawah bekas luka dahinya itu akan terbuka.
"Berapa lama dia tak sadarkan diri?" tanyaku.
Douma menyahut, "Baru juga satu jam, Muzan-sama--ADUH!"
Akaza sekali lagi mengayunkan tangannya ke tulang tengkorak Douma.
"Baru. Baru. Mana ada bisa tenang sudah satu jam masih belum bangun?!" desisnya.
"D-duh, duh, duh... Heee~ tapi masih masuk sebentar kan itu? Kau ini jahat sekali, ya, Akaza. Dikit-dikit main pukul walau saat genting gini," ujar Douma sok menangis.
"K-kau--!"
Selagi keduanya ribut. Aku menarik tubuhku untuk mendekati anak yang tertidur itu.
Sentuh. Tidak sentuh. Sentuh. Apa aku akan melakukan hal di masalalu itu lagi?
Namun pada akhirnya, aku tak bisa menahan diri untuk menyentuh wajahnya. Mengusap tulang pipinya. Melihat bekas luka di ujung keningnya. Mirip sekali seperti di masa lampau yang pernah kami lalui.
"Tanjiro... maaf," bisikku penuh sesal. Aku tak bisa meaafkan diriku. Seharusnya aku mendapatkan hukuman atas segalanya. Tapi dunia sudah memberiku sebaliknya.
Dunia terlalu baik. Namun lagi-lagi aku melalaikan itu.
Aku...
Aku tak bisa melindunginya.
Tangan miliknya yang berada dibawah futon, kuraih, kugenggam erat. Hangat. Bahkan meski cuaca sedingin ini sekalipun. Seperti mentari pagi.
"Kembalilah padaku, Tanjiro."
Tes...
Satu air mataku terjatuh. Setelah sekian lama aku tak mampu memunculkannya.
=================
Tanjiro's POV
U-urggh!!
Kepalaku pusing sekali. Ada dimana aku sebenarnya saat ini?
Udara musim salju menyengat begitu dingin. Sebuah rumah berdiri, keluarga kecil hidup disana. Kemudian semua berubah menjadi kubangan darah.
Sebuah katana tergenggam tanganku.
Sedang mengejar sesuatu sejak dulu. Mencari-cari namanya, yang wujudnya seakan fana. Sampai kutemukan dia dalam lautan manusia.
Kulit pucat miliknya, manik tajam merah menyala, hidup dalam parasnya yang nyaris seputih kertas.
Dia menoleh...
"Muzan..? Kibutsuji?"
Sosok pria dewasa dengan topi hitam-putihnya. Pucat kulit miliknya, parasnya nyaris seputih kertas.
Tatap mengerikannya yang ditakuti siapapun menatapku. Dialah sosok makhluk yang menjadi musuh dunia saat itu.
Tapi kenapa?
Semakin kulangkahi tempat itu. Satu demi satu cuplikan kehidupan muncul.
Kenapa diriku berusaha melindunginya?
Seakan bukan dia yang sebenarnya harus dimusnahkan.
Seakan aku melihat sesuatu yang--bahkan tanpa perlu dimusnahkan, hanya perlu dirubah untuk menyelamatkan dunia... dan dirinya.
Namun, seakan dunia benar-benar tak bisa memaafkannya. Tubuhnya terjatuh, jauh ke dalam jurang kematian, dalam lautan kegelapan yang menenggelamkan suaranya.
"Muzan!"
Kakiku berlari. Melompat tanpa berpikir dua kali. Memeluk raganya yang tak pernah seorang pun berani menyentuhnya. Memeluk jiwa kesepian yang tersembunyi dalam ambisi berdarah miliknya.
"Sampai suatu saat nanti kita bertemu lagi."
Mataku tertutup bersama dengannya.
"...Tolong jangan lupakan aku."
Ah... aku mengingatnya.
Aku dan dirinya, adalah musuh sejati dahulunya.
Dia yang membantai keluarga ku. Dia yang merubah adikku yang tersisa menjadi makhluk lain. Dia juga yang membunuh orang-orang berharga dalam hidupku.
Tapi, dia juga 'cinta' ku.
Kanao... gadis pernafasan bunga itu.
Giyuu... senior ku pada saat itu.
Meski mereka merebut hatiku lebih dulu, entah kenapa Muzan memalingkanku. Menarik hatiku untuk bergerak mengejarnya.
Aku ingin menyelamatkannya.
Aku ingin dia belajar memahami kehangatan.
Aku ingin dia mendapat kesempatan memperbaiki kesalahannya.
Itulah kenapa aku memilih untuk pergi bersamanya.
Maka dari itu... tolong...
"Jangan lupakan aku, Muzan."
============
"Uhh--huh...?"
"...T-tanjiro?" semilir, orang disampingku memanggil namaku.
Orang ini.. rasanya familiar.
Seakan tak percaya, dia segera memeriksa segala tanda-tanda kesadaranku. Entah denyut nadi, nafas, atau... apapun itu.
Tanganku bergerak menangkup pipinya yang menegang. Mengusap-usap lembut, mengatakan semua baik-baik saja. Hingga kuhapus air mata yang tersisa di pipinya.
"Kita bertemu lagi," senyumku terangkat, "Muzan."
Bukannya berhenti. Justru air mata itu mengalir semakin deras.
Dia memeluk tubuhku erat. Dan kali itu, untuk pertama kali, aku melihat Muzan menangis khalayaknya anak kecil yang nyaris kehilangan ibunya.
Punggungnya kurangkul, kuusap lembut, sambil kusandarkan kepalaku di lehernya.
Bahkan tanpa ku menangis pun, Muzan sudah mewakilkan kebahagiaanku juga.
Setelah sekian lama waktu memisahkan, kami kembali dipertemukan.
Bahkan sampai membuat kisah cinta kami yang baru, mengenal satu sama lain sebagai orang yang juga baru, dalam kehidupan yang berbeda dari masalalu.
"Aku disini, Muzan. Aku disini," kubisikkan itu di telinganya. Memastikan padanya bahwa aku sudah kembali dalam pelukannya.
Tangannya masih memelukku erat. Seakan tak ada niatan untuk melepaskan. Manis nya~
Setelah agak lama, aku mengangkat wajahnya. Menatap lensa yang sudah lama sekali kurindukan.
"Kapan terakhir kali kita berpelukan begini, ya?"
Muzan tersenyum miring, "Entahlah. Aku senang bisa mengingat semuanya."
"Aku juga mengingatmu di mimpiku," balasku tersenyum.
Douma seakan kebingungan. Dia kemudian membuka ponselnya. Mencari sesuatu yang kemudian membuatnya tertegun.
"Ada apa, Douma?" tanya Akaza. Aku mengingatnya, iblis bulan atas ketiga. Kini dia menjadi pendamping Douma dan Muzan.
"Tidak. Hanya kuil tadi.."
"Hm? kenapa dengan kuil tadi?" Akaza mengeryitkan alisnya.
Dan seperti biasa Douma berbohong, "Tanahnya gampang longsor kalau bersalju begini. Aku lupa mencari tau yang ini," dia menjulurkan bibir sambil mengedipkan matanya. Yang mana itu membuat Akaza semakin naik pitam.
"KAU! KELENGAHANMU NYARIS MEMBUAT MUZAN-SAMA DAN TANJIRO TIDUR SETERUSNYA, KAU TAU?! BAGAIMANA BISA KAU LUPA UNTUK MENCARI TAU DULU SEBELUM KESANA!!?"
"W-wow! Santai, Akaza! Nanti kerah baju mahalku sobek kalau kau tarik begitu. Setidaknya semua sudah siuman, kan?"
"BODO AMAT! KALAU SAJA KAU TAK TEMUKAN MEREKA DULUAN, SUDAH KUGOROK LEHERMU."
"Sudah, sudah, kalian berdua, berdamailah."
Ah, aku lupa seseorang bernama Kokushibo itu juga disini. Entah kenapa dia malah bersikap lebih tenang daripada versi masalalu yang kulihat.
Apa di masa kini semua terbalik, ya?
Oh ya..
"Kau baik-baik saja, Douma?"
Douma melirik padaku. Sejenak terdiam, kemudian matanya berkaca-kaca.
"Astaga, Tanjiro-kyunn~ kau masih mengingatku ada disini dan peduli. Tisu mana tisu?"
Akaza dengan jijik memberinya tisu. Dimana Douma dengan dramatisnya menyeka air mata.
"Hai'~ Aku selalu baik-baik saja disini! Justru aku yang merasa bersalah saat menemukan kalian pingsan disana."
Sebentar suasana menjadi senyap. Lantas tubuh Douma bergerak turun. Dia bersujud di depanku.
"AKU SUNGGUH SUNGGUH MINTA MAAF!"
Nyaris semua di ruang itu berusaha membangkitkannya kembali. Tapi seakan Douma tak ingin.
"Aku menyadari ini kesalahanku. Aku tak memprediksi dengan benar skenario terburuknya."
"Aku bersungguh-sungguh untuk meminta maaf. Ini salahku!"
Aneh, batinku. Tak biasanya Douma begini.
Apa dia sungguh baik-baik saja?
Kokushibo dan Akaza saling menatap kebingungan, sama-sama tak merasa hal ini hal biasa.
Hatiku terenyuh dengannya. Punggungnya kuusap, dengan lembut pundaknya kubangkitkan.
Kepala ku menggeleng, "Tidak semua yang kau lakukan salah, Douma. Justru, terima kasih. Berkatmu aku mengingat sesuatu."
Akaza mengeryitkan alisnya, "Mengingat sesuatu?"
Aku menoleh padanya, mengangguk.
"Malam ini kan malam terakhir kita menginap. Bagaimana kalau kita ke onsen bersama?"
Semuanya terkejut. Saling bertukar tatap.
==================
Douma merenggangkan tangannya. Daritadi, sejak di onsen, dia tak berhenti berbicara, sampai-sampai Akaza melemparnya dengan wadah kayu yang mendarat di kepalanya.
Kokushibo hanya duduk di pinggir, seperti biasa tak banyak bicara. Agak berbeda saja, dia tampak lebih memerhatikanku. Sekali aku menyadarinya menatapku cukup lama.
Muzan disampingku. Kami menghabiskan waktu bersama--kini dengan ingatan itu. Rasanya seakan tak nyata. Tapi dia benar ada disampingku saat ini, bersanding pundak denganku disini.
Seusai berendam, kami menikmati makanan manis dari onsen.
Muzan kini tak lagi canggung. Karakternya yang dulu begitu berubah saat ini. Aku bisa merasakan kehangatan mengalir di wajahnya.
Secarik senyum dia tampakkan. Meski dengan atau tidak dengan ingatan itu, aku percaya senyuman itu masih tampan bahkan lebih tampan.
"Tanjiro," suaranya bertiup di telinga kiri ku. Sontak aku agak melompat. Dia tertawa kecil sambil menggeleng kepalanya.
"Tenang lah, aku tak akan memakanmu."
Yang dia katakan.... kenapa aku berpikir dia setengah berbohong?
Wagashi berbentuk bunga sakura di tangannya didekatkan padaku.
Tatapku tertuju pada dua hal; Wagashi yang tampak manis itu... atau lensa merah miliknya menatapku saat ini... berdetak samar. Mengisyaratkan sesuatu.
Sentuhan hangat terasa di pipi ku. Bibir kudekatkan pada Wagashi itu. Menginggigit separuh Wagashi di tangannya.
Di saat itu, dia mengalihkan rambut samping ku, melingkarkannya di belakang telinga ku.
Tatapnya masih sama. Menyatakan sesuatu yang tak dia katakan. Yang menjebakku dalam tanda tanya untuk mengulik jawaban sebenarnya.
Pandangku yang terangkat padanya ikut jatuh dalam tatapnya. Terpikat dalam sesuatu yang tak ku ketahui apa.
Entah kenapa...
Rasanya... dia mendekat?
Deg deg... deg deg.. suara jantung terdengar sampai telingaku.
Aku semakin bisa merasakan hembusan dari Muzan menyentuh kulit ku. Menarikku untuk perlahan menutup mata--
Cekrek!
Cahaya begitu terang langsung menghentikan geraknya, bahkan mengejutkanku.
"W-waduh! flash nya masih nyala."
Jelas tau siapa yang melakukannya kalau bukan Douma yang mendokumentasi setiap momen.
Muzan menggerakkan tangannya, seakan mencengkram angin, tapi tak terjadi apapun.
Ah... mungkin dia lupa dia bukan iblis lagi sekarang.
"Douma..." Geram, dia mendekati Douma dan mencengkram kepalanya cukup keras.
"Ad-duh, duh, duh! Maaf, Muzan-samaa! Aku cuma ingin dokumentasi--aw! aw! aw!"
Akaza disampingnya menahan tawa. Dia seperti terhibur sekali dengan itu. Mampus, semilir kudengar darinya.
Cpyas!
Suara kecipak air terdengar dari sisi lain. Kokushibo mengangkat tubuhnya. Bergerak menuju ruang ganti.
"Huh, kau sudah selesai, Kokushibo?" tanya Akaza.
Kokushibo berhenti, dia menjawab, "Aku ingin mencari udara segar." Tanpa melempar tatap pada Akaza, dia pergi.
Alis Akaza naik sebelah, "Ada masalah apalagi dia.."
Penasaran, aku bertanya padanya, selagi Muzan masih memarahi Douma di balik layar.
"Kokushibo baik-baik saja?"
Akaza menoleh padaku, dia tak yakin dengan jawabannya. "Entah, aku tidak tau jelasnya, ya. Pria sepertinya tak banyak bicara. Aku bahkan tak tau banyak soal dirinya. Kecuali Douma tukang stalker itu," kata terakhirnya terdengar berdesis kesal.
"Entah benar atau tidak, kudengar dia selalu begitu sejak dulu, dan punya alasannya sendiri. Hanya satu yang ku tahu dari pelayan-pelayan Muzan-sama yang mengurusnya dulu."
"Apa itu?"
Raut Akaza berubah menjadi masam. Dia memicingkan matanya.
"Aku hanya tau dia punya saudara. Mereka kembar. Desas-desus bilang, kondisinya sangat tidak beruntung. Tapi itu sudah lama sekali. Dan aku tak lagi mencari tahu lagi soal itu, aku sibuk melayani Muzan-sama. Apa... ada yang terjadi dengan kembarannya lagi?"
Sedikit demi sedikit aku berusaha mengingat siapa Kokushibo dahulunya. Siapa yang memungkinkan menjadi kembaran darinya.
"Tapi setidaknya aku tak akan mengganggu malam sampai fajar kalian, kan? Ya, kan, Muzan-sama?"
Ku dengar Douma berusaha bernegosiasi dengan Muzan yang murka. Bahkan bisa kulihat surai hitamnya terangkat-angkat dalam kobaran api amarah--perlahan-lahan meredup.
"Sampai kau mengangguku lagi, kau tau apa konsekuensimu," ujar Muzan cukup mengerikan.
"I-iya, iya, tuanku. Apa sih yang nggak buatmu?"
Setitik keringat mengalir di pelipisku sambil ku tersenyum miring. Sementara Akaza menutup wajahnya dengan telapak tangan.
Singkatnya kami kembali ke kamar masing-masing setelah lama berendam dalam onsen.
Douma hampir dengan lantang mengucap salam perpisahan dan... entahlah aku tak sempat mendengar apa, mulutnya sudah disumpal Akaza duluan dengan handuk dan digeret ke kamarnya.
Akhirnya jam istirahat untuk berbaring dengan futon. Udara dingin di luar mendukung hangatnya futon dan tubuh setelah berendam cukup lama dalam onsen.
Kaku dan lelah seakan terangkat dari pundakku. Rasa nyaman menyelimutiku. Lembutnya futon ini membuatku nyaris mengatupkan mataku.
"Tanjiro." Suara Muzan lah yang membuatku terjaga. Nada suara yang tak biasa dia gunakan, menghembus di telingaku, tubuhnya yang menindihku.
"Bolehkah... aku menyentuhmu lagi?" tanyanya agak ragu.
Seutas ketakutan bisa kulihat berdetak dalam maniknya. Namun senyuman lembut kulemparkan. Bersamaan, anggukan kutunjukkan sebagai jawaban.
"Aku milikmu, Muzan. Sejak hari itu, hingga kini, dimana kita bertemu kembali."
Pipinya kuraih kembali. Ku perhatikan warna pucatnya yang tak pernah berubah setelah sekian lama kita berpisah.
Manik merah miliknya bergerak, melihat kepada dimana tanganku menyentuhnya begitu hangat.
"Aku merindukan sentuhanmu, Muzan," jawabku, dengan air mata rindu mulai berlinang di pelik mataku.
Netranya terbelalak, sebelum kemudian menatap lembut perlahan-lahan.
"Aku tak bisa hidup tanpa tubuhmu, Tanjiro."
Bibirnya langsung bergerak dibawah dagu ku. Dia menghisap leher ku cukup lama. Menimbulkan gelitik aneh yang menarik suaraku untuk mengisi suasana itu. Sebelum membekas rona merah disana.
Sedikit demi sedikit, dia menggeser posisinya.
Sedikit demi sedikit, aku mengingat sentuhnya yang telah lama menghilang.
Kali ini berbeda. Jika sebelumnya semua penuh dengan hasrat dan nafsu tak terkendali, haus akan dendam yang tak terjelaskan.
Kini dia mulai mengenali bahwa nafsu bukanlah yang bisa mengendalikannya; tapi hal lainnya—kasih.
Muzan mulai menarik kain handuk kimono yang ku kenakan, menampakkan kulitku yang seharusnya tertutupi.
Lantad dia menghisap dan mengecup setiap titik tubuhku. Bahkan dia langsung mengetahui daerah strategis mana saja yang membuatku merasa nikmat.
Apa aku egois jika menginginkannya lebih?
Rasa yang tersemat dalam jantungku seakan ingin meledak. Aku ingin memanggil namanya. Aku menginginkannya.
"Hmn~ Muzan."
Dia berhenti, melirik padaku.
Nafasku mulai tersenggal, "A-aku." Tapi keinginan itu malah terjepit di bibirku. "Aku.."
Muzan mengangkat tubuhnya. Menampakkan paras yang begitu kudambakan itu begitu jelas padaku.
"Apa? Apa Kau menginginkan sesuatu, Tanjiro?" wajahnya begitu dekat, sampai bisa kurasakan nafasnya yang hangat... begitu berbanding terbalik dengan masalalu. "Katakan padaku, apa ingin mu? Aku ingin mendengarmu."
Suara yang seharusnya membentak, dingin, tak tau kasih di kehidupan sebelumnya--berubah 100% di masa kini; lembut, semilir, berbisik.
"Aku." Wajah kupalingkan darinya, aku tak mampu mengatakan ini dengan bertatap dengan lensanya. "Aku menginginkanmu.."
"Itu saja?" tanya nya lagi.
Bibir ku terdiam. Suhu hangat menyebar di pipiku, saat tanganku menyentuh titik perut ku berada. "...di dalam sini." Akhirnya wajahku terangkat lagi kearahnya. "Aku ingin merasakanmu."
Entah sudah seberapa memalukannya tampangku saat ini. Tapi kuingin Muzan tahu, bahwa aku mengatakan hal yang sesungguhnya.
Pria itu menampakkan secarik kebahagiaan semu di ujung bibirnya.
"Aku akan membuatmu mengingatku. Selalu. Dalam dirimu, pikiranmu, jiwamu... juga tubuhmu. Aku akan memberikan diriku padamu, Tanjiro."
Tangannya mulai bergerak menjamah belahan kaki kaki ku. Menyentuh bagian inti untuk dia persiapkan sebelum dirinya bersatu denganku.
Terdengar tergesa, tapi begitulah Muzan. Iblis--tidak... manusia ini melakukan proses, namun keinginannya untuk segera meloncat pada hasil sungguh tak tertahankan.
Ataukah... sesuatu tengah mengejarnya sekarang?
"H-haa--ah!"
Rasangan cepat itu menimbulkan satu lonjakan dalam diriku. Tangan ku mencengkram permukaan futon.
"Tanjiro." Dia memanggil namaku. Sontak aku menoleh padanya dan seketika kecupan darinya tertanam di bibirku.
Aku bisa merasakannya. Sedikit hangat. Mungkin karena onsen tadi.
Aku disini. Kau ada disini.
Kita ada disini.
Berbisik-bisik dalam kecupan. Meyakinkan bahwa ini bukanlah mimpi panjang yang kami alami lagi. Ini adalah kenyataan sesungguhnya, tentang kita yang bertemu kembali.
"Kau siap, Tanjiro?"
Bahkan dia mempertanyakan hal itu dulu padaku. Kepalaku mengangguk pelan. Ini sudah waktunya.
Bulan malam hari menyingsing di posisi tertingginya. Memperjelas wajahnya dalam ruang kami yang redup untuk melakukan hal itu malam ini.
"Muzan."
"Tanjiro."
Suara kita yang bertukar satu sama lain. Dua netra yang mencerminkan tiap bayangan masing-masing dari kita.
"Kau boleh melakukannya." Kepalaku mengangguk. Senyum ku tulus.
Tatapnya masih tak percaya. Namun bukan berarti dia akan menarik dirinya.
Tubuhnya menindihku. Detik selanjutnya bisa kurasakan suhu tubuh miliknya.... yang menghangat kini.
Dorongan dan tekanan yang dia berikan, menanamkan namanya di tiap udara yang kuraih. Dalam tubuhku, maupun jiwa ku.
Muzan.
Aku mencintaimu.
"Aku telah lama mencintaimu, Tanjiro."
===============
??? POV
Terik rembulan begitu indah malam ini.
Menyingsing dari ufuk barat. Begitu sabar menunggu fajar kembali menyalakan api abadinya.
Sayang, 'bulan' milikku tak ada disini.
Tapi aku yakin, dia akan segera kembali.
Oh, cinta ku. Seorang milikku.
Api abadi akan segera menemukanmu.
Ia adalah bentuk takdir yang menjadikan kita satu.
Tak satupun yang mampu menghalang kita 'tuk bertemu.
Saat sayap hitam sang gagak mengepak kencang, membelah langit malam dengan kicauannya yang lantang. Tujuan suci akan diantarnya dalam genggamnya.
Malam ini. Ritual suci akan dilaksanakan.
Seorang pendosa akan disucikan dalam lingkaran membara.
Sampai nanti mentari akan kembali terbit dari ufuk timur.
Ku akan menunggu disini.
Ku akan sabar menanti.
Menanti kabar baik menuju kehidupan baru yang kita impi.
===================
To be continued...
-------------------------------------------------
Catatan Author
Huwaaa! Akhirnya lanjut juga ini FF setelah sekian kesibukan RL nyerbu author. Douma, minta tisunya! 🤧
Big thanks untuk reader-reader yang sudah sabar pangkat empat menunggu karya author ini untuk apdet.
Banyak pertimbangan untuk scene satu ini karena Kagaya masih menghantui kepala author. Takut kena santet juga ntar (QwQ
Oh ya, mau mengabarkan juga kalau tulisan-tulisan author setelah ini akan berhenti dulu cukup lama dikarenakan kegiatan KKN dan author diamanahkan menjadi ketua kelompok ((Kurang ajar tim ku emang, dahal kan ku mau lanjut nulis dengan damai T_T))
Bikelah, sementara itu saja dari author.
Stay delulu and stay tune, semuanya! > <)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro