Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 19 : Not yet!

Author's POV

Seisi tempat terdiam.
Tanjiro sama paniknya dengan Douma. Seakan jarum jam dunia sudah berhenti di arah 12 malam-sihirnya menghilang, sementara 'tuan putri palsu' kala itu masih di tengah-tengah pesta.

Seperti kisah Cinderella, dia dihadapkan satu pilihan yang tak dia inginkan.

Pergi meninggalkan pesta dengan air mata tangisnya.

Sementara lelaki antagonis masih santai, bertopang dagu di kursinya-menunggu kapan Cinderella itu bisa digantikannya.

Haruskah Tanjiro harus pergi meninggalkan pesta dan 'pangerannya'--Muzan?

Inginnya cerita berjalan begitu untuk Tanjiro pilih. Tetapi Muzan menahannya, menangkap lengannya yang hendak beralih pergi.

"Mau kemana kau?" suara beratnya begitu menyihir seorang menjadi batu, "Pestanya belum selesai."

Keringat dingin Tanjiro mengalir dari dahinya, bibirnya merapat, dia menggeleng.

Dia ingat jelas kata-katanya sendiri saat menjalin hubungan murid dan guru dengan Muzan.

Dia tau Muzan adalah seorang bintang.
Dan dia tak ingin bintang itu terjatuh malam ini.

Tak hanya Zenitsu, Inosuke, bahkan seluruh dunia ini mengharapkan Muzan tetap berada diatas panggung untuk menghibur mereka.

Dia...

Dia tak ingin menghancurkan karier Muzan.

"Muzan, aku harus pergi." bisiknya sambil menutup kepala mikrofonnya agar tak tersebar di speaker sound system.

Mimik Muzan menampakkan kekecewaan, dia melirik pada Kagaya yang masih dengan senyuman. Dan dia mengetahui siapa dalangnya.

"Douma." panggil Muzan, Douma muncul segera. "Alihkan panggungnya." "Baik, Muzan-sama." jawab Douma begitu serius.

Berbeda dari biasanya, lelaki itu biasanya tampak jenaka bahkan tak ada bedanya dari badut ataupun mak comblang. Saat situasi berkebalikan dari prediksinya, karakternya pun akan terbalik, meski wajahnya adalah topeng terbaiknya--kali ini dia tak mampu menyembunyikan kepanikannya sendiri.

Muzan membawa Tanjiro kebalik panggung.

"Tanjiro, dengarkan aku."

Dia memastikan anak itu menatapnya mata dengan mata.

"Kau tak bisa membiarkannya-kita tak bisa. Kabur bukan penyelesaiannya, Tanjiro. Kau yang mengajarkan itu padaku, bukan?"

==================

Sedikit kembali ke masalalu.

Selama hubungan Tanjiro menjadi murid dari Muzan. Anak itu perlahan mulai memahami bahwa Muzan begitu menjauhi sang ayah.

Tak jarang dia melihat Muzan lepas kendali sekali saja memikirkan tentang ayahnya.

Pernah sekali Muzan berpikir untuk mengakhiri hidupnya. Karena dia tau, sejauh apapun dia berlari, dia akan tetap bertemu dengan sang ayah-sosok mimpi buruknya.

Tetapi Tanjiro selalu menenangkan Muzan dengan pelukan. Meyakinkannya dengan kata 'percaya'.

"Sejauh apapun kau berlari. Itu bukan penyelesaiannya, Muzan."

"Hadapi! Hanya itu satu-satunya jalan untuk mengakhiri ketakutanmu."

"Majulah! Aku akan mendukungmu. Dan aku percaya kau pasti bisa menghadapinya."

"Kau juga harus percaya dengan yang lainnya. Bukankah Douma, Akaza dan Kokushibo sudah menemanimu selama ini?"

Malam itu Muzan kembali ditenangkan.
Hatinya perlahan lapang, sebelum akhirnya dia menghadap sang ayah untuk mendiskusikan pesta malam ini.

Dan dengan kata-kata Tanjiro yang menyala hangat di hatinya, dia mampu sepakat dengan ayahnya.
Sang ayah sungguh terkejut, dia tak pernah tau Muzan bisa sedikit lebih hangat dari biasanya.
Sekilas sang ayah melihat sosok lain bersinar disamping Muzan.

'Sang ibu' yang telah tiada.

Setelahnya, Muzan kembali.
Sampai di apartemen, trio bodyguard nya menyambut dengan ramai, juga Tanjiro....

Yang menyapanya pulang.

Berlalu-lalu Muzan merasakan hangatnya keluarga seperti ini.

Dia tak lagi sendiri.

Tak lagi maju seorang diri.

Sejujurnya, dia memiliki banyak orang disampingnya.

Hanya dia saja yang tak menyadarinya.

Dan Tanjiro lah yang menyadarkannya akan itu.

=================

Kembali ke masa kini. Tanjiro mengingat kata-katanya hari itu.

Rasanya malu sekali, dia yang mengatakannya, tapi kini dia yang menyangkalnya.

"Maaf." Tanjiro menunduk, tangannya gemetar-mengepal.

Lantas dia mengangkat kepalanya, menatap Muzan dengan mantap, "Ayo kita selesaikan ini!"

Muzan tertegun, lantas tersenyum tipis. Dia menepuk pundak Tanjiro--sosok murid didiknya yang membuatnya jatuh hati oleh suaranya.

"Aku akan mendukungmu sebagai suara dua. Jangan khawatir, aku disampingmu."

Dua lelaki saling menatap, meyakinkan satu sama lain.
Tiba-tiba saja Akaza muncul menghampiri mereka.

"Muzan-sama, maaf mengganggu waktunya." Dia membungkukkan diri, "Tapi Douma tak bisa mengulur lebih lama lagi. Acaranya... harus dilanjutkan."

Muzan dan Tanjiro mengangguk bersamaan. "Kami segera naik." ucap Muzan yang terbalaskan anggukan Akaza yang mengabarkan pada Douma lewat handsfree.

Keramaian mulai terdengar lagi dari balik panggung. Dua belah pihak kini berjalan bersebelahan, menaiki panggung mereka kembali.

Riuh tepuk tangan kembali terdengar saat keberadaan mereka muncul lagi.

Douma yang sudah memperkenalkan dua orang itu lebih dulu pada publik, langsung mengundurkan diri, mempersembahkan panggung pada 'guru dan murid' itu--meski dia menganggapnya berbeda.

"Semua baik-baik saja, Douma?" tanya Akaza menghampiri Douma.

Douma tersenyum, "Seperti biasanya." lalu dia melirik kearah tempat duduk VIP tempat musuhnya menikmati acara.

"Aku tak mengira, kalau dia malah memberi peluanh menang pada Tanjiro." jelasnya yang membuat Akaza menghela.

"Kau selalu saja mempermainkan musuhmu, Douma."

"Ah, seperti kau tidak saja~ mana itu kyojuro kyojuro tersayangmu? bukannya kau suka bermain dengannya?"

Wajah Akaza memerah, "T-tidak lagi! Dan tolong, jangan memata-matai kehidupanku. Aku lelah dengan semua intel mu itu."

"Hm, tapi itu salah satu caraku mencari informasi. Kudengar kau menyukainya, jadi kapan kau akan menyatakannya?"

Akaza termenung. Ada yang mengganjal di hatinya.
Dia tau Kyojuro saat ini sedang menyukai orang lain, bahkan sudah menjalani hubungan itu jauh sebelum Akaza meletakkan rasa.

Dirinya sudah menyerah. Tapi tidak untuk orang lain yang namanya ada dalam hatinya.

"Arara~ kasihan sekali juniorku satu ini. Terjebak dalam kisah cintanya yang rumit. Perlu kubantu, hm?"

"Tidak. Tidaaak! Tidak perlu!"

"Ahahaha, kau manis sekali~"

"Tck! Terlebih lagi, apa kau tak punya seorang yang kau sukai, Douma?"

Bibir Douma terbuka tanpa kata, sebelum ujung kipas favoritnya diletakkan didepan bibirnya. Tatapnya mengarah pada sosok yang kini berdiri dengan hebat diatas panggung.

"Menyukai... ya? Menurutku itu agak rumit untuk dijawab. Aku menyukai Muzan-sama sejak awal kami bertemu, tetapi aku tak ingin Kagaya berakhir dengannya."

Kipasnya jatuh di telapaknya.

"Kagaya bukan seorang yang baik untuknya. Orang itu busuk didalamnya, menginginkan Muzan untuknya seorang, bahkan kebebasan Muzan dimanipulasinya juga. Dan dia menganggapnya atas nama cinta."

"Aku tak bisa membiarkannya."

Kini tatapnya menajam, jatuh kembali ke musuhnya yang tak membalas tatap.

"Aku akan membuat Muzan-sama mendapat kebahagiaan yang sesungguhnya, seutuhnya. Meski berarti nyawaku jadi taruhannya."

Akaza tak tau jelas apa yang Douma rencanakan. Sosok di depannya ini jauh lebih hebat darinya soal pemikiran.
Tak ada yang bisa menebak kemana orang ini akan pergi nanti.l
Tapi, jika tak terlindungi, manusia satu ini bisa jadi membahayakan dirinya sendiri nanti.

"Senpai!"

Nama panggilan yang dia gunakan untuk memanggil Douma saat kali pertama mereka bertemu.

"Tolong." tubuhnya membungkuk sedalam-dalamnya, "Jangan bahayakan dirimu, setidaknya.."

"Setidaknya lakukan ini untukku!"

Douma menoleh pada Akaza, lensanya melebar. Langkahnya mendekat, tangannya menegakkan tubuh Akaza, sebelum dia menangkup wajah junior khawatirannya satu ini.

"Terima kasih, Akaza."

Bibirnya melengkung, begitu juga matanya yang membentuk senyum. Kemudian mendekat ke telinga kiri Akaza.

"Tapi, tidak janji." desisnya.

Kemudian Douma menjauh dari Akaza, melewati perawakan bodyguard itu, yang ber-fisik tegar seperti Kokushibo.

Douma mementingkan tugas dan tujuannya.
Sementara Akaza pada perasaannya.

Dua orang yang berlawanan pungung. Rasanya semakin rumit.

Baiklah, mari kita kembali pada dua orang diatas panggung.

Tanjiro sudah menyiapkan dirinya, bersamaan sound director yang siap dalam hitungan...

3...

2..

1..

'Tanjiro' bernyanyi.


Tanjiro menyuarakan suara laki-lakinya.
Sementara Muzan memodifikasi suaranya menjadi feminim sebagai penggiring.
Seakan mereka menukar peran gender dalam suara yang tengah bernyanyi.

Penampilan perpaduan suara itu mampu membungkam keramaian, mendetakkan hati siapapun yang tertegun. Dalam ketidak-ekspektasi-an—mereka meledakkan kejutan itu dengan serasi dan sempurna.

Sunyi selalu jadi awal dari akhir, sebelum tepuk tangan dan salut menggema sampai penjuru, dari setiap orang disitu.

Kagaya membelalakkan lensa, dia tak percaya.

Sementara dua orang itu...

Kini melempar senyum bahagia.

Merasakan kehangatan seperti dahulu—di kehidupan sebelumnya, di kala mereka bersama dalam ketidakmungkinan.

==================

Kagaya's POV

Kenapa jadi begini..?

A-aku... aku...

Aku sudah melakukan segala rencana untuk memisahkan mereka, tapi kenapa yang ada malah semakin menyatukan keduanya.

Aku sudah menghasut setiap dari mereka untuk saling memalingkan wajah, tapi kenapa jatuhnya tatapan mereka tak bisa lepas antara satu dengan yang lainnya.

Sebuah kertas terjatuh dari atas meja tempatku mengistirahatkan kepala dari penderitaan.
Itu adalah rencana liburanku denganmu setelah malam puncak itu—tapi semua seketika sirna.

"Padahal aku sudah merencanakan ini denganmu."

"Tempat yang kau sukai. Untuk kita kembali seperti dulu."

"Tapi kenapa? KENAPA JUSTRU ORANG BARU MENGALAHKAN ORANG YANG SUDAH LAMA SELALU ADA UNTUKMU, MUZAAANN!!"

Pukulan keras kepalan tanganku jatuh menggebrak meja. Mengejutkan orang lain yang selalu menjadi tangan kananku.

"Apa aku salah, untuk mempertahankan seorang yang kucintai?"

Sebuah potret disebelahku. Sobekan halaman majalah hari ini yang meliput dirimu dengannya yang bersinar begitu indah diatas panggung malam puncak—Sang bintang legenda dan penerusnya.
Yang sama sekali tak dianggap skandal, dianggap hal lumrah.

Air mataku menitik diatasnya, mengumbar warna tinta hitam tulisannya.

"Lalu, bagaimana dengan janji itu, Muzan? Kau melupakannya? Apa kau akan membuangku setelahnya?" gumamku.

Seorang dibalik bayang ruangku angkat bicara.

"Mengingkari janji adalah perbuatan dosa. Tak seharusnya manusia melakukan hal demikian. Dahulu, bagi siapapun yang mengingkarinya akan selalu mendapat hukuman begitu berat sebagai ganjarannya."

Netraku kembali terbuka. Kepalaku terangkat.

"Dosa.. Hukuman.."

Bibirku gemetar, perlahan kembali melengkung. Aroma lilin aromaterapi memicu ide di kepalaku.

"Itu dia. Seorang pendosa tak akan pernah bisa lepas dari hukumannya. Dosa yang dia miliki harus dibersihkan sebelum meninggalkan dunia ini."

Tatapku jatuh pada api lilin yang menyala. Bergantian pada lembar majalah itu—tempatmu dan Muzan menatap kamera bersama.

"Api penyucian."

Ujung foto bagianmu kubakar perlahan.

"Akan membersihkan dosa dan menyingkirkan kejahatan dari dunia yang suci ini."

"Dia telah melakukan dosa. Dia telah melakukan kejahatan. Dengan mengambil seorang yang ditakdirkan hanya untukku."

"Dia harus dihukum seberat-beratnya."

Setengah halaman hangus, tertinggal potret Muzan yang tersisa.
Aroma abu yang memabukkan, seperti parfum favoritmu yang selalu menjadi peneman tidurku.
Api penyucian akan membersihkan noda dalam hidupmu. Semua akan kulakukan demi kebaikanmu, Muzan-ku...

"Kau tau, apa yang harus kau lakukan." perintahku pada seorang dibalik bayangan.

Dia menelan keraguannya, aku bisa merasakannya. Tangannya mengepal dan gemetar, enggan melakukan apa yang kuperintahkan.

"Kau masih memiliki hutang padaku. Kalau tak ingin saudaramu kembali dalam bahaya, turuti perintahku."

Lagi-lagi dia terdiam. Sebelum membungkukkan tubuhnya begitu hormat.

"Baik, Kagaya-sama."

Kemudian pergi meninggalkan ruanganku.

Meninggalkanku seorang diri. Menatap jendela yang menghadap pemandangan langit malam.

"Bulan esok hari..."

"Pasti akan indah sekali."

======================
To be continued..





Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro