Chapter 16 : Campur tangan
--- Kagaya's POV ---
Aku memang tak salah mendengarnya hari itu.
Seorang dibalik ponsel pintarnya, yang sengaja diberi nama Ma voix bermakna "suaraku" dalam bahasa prancis.
Siapa yang menelfonnya?
Apa anak itu?
Atau ada orang lain lagi yang diajak bicara dibelakangku?
Hanya satu cara untuk mencari tahu.
Aku ingat jelas kapan waktu luang Muzan.
Dimana saja kakinya memijak tiap menitnya.
Ya, ini memang terlihat gila dimata orang.
Karena mereka tak pernah mengerti maksudku, ataupun berada di posisiku.
Sayangnya posisi ini tak akan kuberikan pada siapapun itu.
Tepatnya malam hari, jam segini, aku tau dirinya masih ada di ruangnya sendiri.
Jika tak ada seorang yang mengganggu.
Benar saja lensanya terbelalak melihat kedatanganku yang tak diundangnya.
Yah... memang begitulah ciri khasku, muncul bagai tak diundang siapapun.
"Kagaya? Kau—kau datang malam begini? Kenapa tidak mengabariku lebih dulu?"
Senyum lembut kutampakkan padanya.
"Apa masih kau anggap aneh aku datang ke tempatmu tiba-tiba begini, Muzan? Kita sudah berhubungan sepanjang tahun."
Pandangnya masih terpaku padaku. Sementara hidungku sudah lebih dulu bergerak melewati pintu ruangnya.
"Kagaya."
Tubuhnya sudah berada di depanku, memancingku melihatnya tanpa ada bosan sedikit pun.
"Hm?"
Mulutnya bergerak gagap.
"R-ruangku masih berantakan. Dan aku tau kau suka..."
Ujung bibirnya kubungkam dengan satu telunjuk. Dengan manis kukembalikan senyum.
"Shh.. aku akan merapikannya untukmu."
Muzan masih saja ingin menahanku, namun sesuatu yang lain lebih menahannya mengatakan itu.
Aku bertanya-tanya, apa gerangan?
Saat kaki berjalan menginjak lantai ruang, pemandangan berantakan memang jadi penyaji utamanya.
Satu ini dia tidak berbohong.
Satu kertas kuangkat dari meja—laporan bulanan pekerjaan bisnis.
Satu lagi kuambil—jadwal mingguan yang ditata oleh bawahannya, Douma.
Hingga satu lagi terakhir, yang tak bisa kutatap biasa..
"Muzan."
Dirinya berdiri tak jauh dariku, menanamkan pandang polosnya pada kertas yang kubawa.
"Kau menulis lagu baru?"
Wajahku menoleh, menatapnya yang tertegun tak berbicara.
"Aku.."
"Begitulah."
Sekali lagi kuperhatikan kertas itu.
Tertulis begitu rapi. Mungkin dia sudah merencanakan membuat lirik baru itu sejak lalu.
Tapi kenapa dia tak mengabariku?
Udara ruangan ini biasa selalu lembap, hanya saja kali ini sedikit berbeda.
"Kau membeli roti bakery itu lagi?"
Muzan semakin terdiam.
Entah memang benar atau dia tak ingin menjawab apapun saat ini.
"Kagaya, dengar."
Dia berjalan mendekat, mengambil kertas itu dariku perlahan.
"Aku sedang tak bisa bersamamu saat ini. Ada hal yang harus kukerjakan. Bukan berarti aku tak ingin kau ada disini—lain waktu, aku akan merencanakannya lagi denganmu."
Tak biasanya Muzan menyuruhku pergi saat dirinya bekerja.
Setelah sekian lama bulan tahun berlalu, kali ini, sekali lagi aku mendengarnya menolak keberadaanku.
Wajahku bergerak turun. Kenapa dia melakukan ini padaku?
Setelah sekian lama kami bertemu, merakit semuanya bersama, apa hanya dengan satu pengganggu itu semuanya mulai tampak buram?
"Haha.." Tawa gagalku terlepas. Pandang kusebar ke sekitar. Dengan kasar kukesampingkan lengan Muzan yang menghalang.
Dimanapun sela untuk seorang bersembunyi. Dimanapun bilik menghalangi gambaran raganya. Kuhempaskan saat itu juga.
"KELUAR KAU, KAMADO TANJIRO."
"AKU TAU KAU ADA DISINI, BUKAN?"
"KELUAR ATAU—"
Lirikku berhenti pada bagian belakang lemari ruang tamu yang menjadi bagian dari lorong menuju dapur.
Dirinya menutup ujung bibirnya dengan telapak. Sok suci.
Kengerian tergambar jelas di wajah, berlagak tak biasa dengan ucapanku barusan.
Senyumku terangkat. "Heh." Tawa pendek kutujukan pada muzan.
"Jadi ini yang kau sembunyikan dariku sejak hari itu?"
"Ma voix? Apa kau kira aku tak mengenal itu, Muzan?"
Muzan membeku di tempat. Tangannya mencengkram pundakku, menggoyangku kembali menuju kesadaran.
"Kagaya, dengar, kau tak mengerti!"
Kepalaku menggeleng, kutepis tangan najisnya. Tidak—lebih najis wajah anak itu.
"Cukup, Muzan!"
Perlahan wajah bertirai helai surai depan kuarahkan padanya.
"Kalau kau masih bersikeras, kan kulepas dirimu. Berlakulah semaumu."
Kembali lagi aku melihat anak itu "Tapi tidak dengan anak itu." ucapku geram, menunjuk anak sok polos itu.
Senyumku kembali tampak.
Sebentar sebelum angkat kaki dari ruang itu seperti apa yang dikatakannya. Kusapu ujung pundakku yang disentuhnya barusan.
Lantas menunduk, memberi salam perpisahan untuk sementara secara formal padanya.
"Kuharapkan malam yang tenang untukmu, Muzan." langsung kuberputar melempar tatap penuh benci dan jijik pada anak sok polos itu "Tidak untukmu."
Kemudian beranjak menuju pintu, membuka kenop dan bergerak keluar.
"Kagaya!"
Kuacuhkan seruannya. Karena jika kuindahkan, dia akan menyadari air mataku yang kini mengalir bersama dengan kepulan emosi yang serasa terbakar di lensaku.
Aku tau apa yang harus kulakukan.
Aku tau apa yang bisa kulakukan untuk menghadapinya.
Dan membuat Muzan menerima pelajarannya.
Ponsel kuangkat.
================
--- Muzan's POV ---
Yang barusan...
Aku mengerti apa yang dirasakan Kagaya, begitu jelas.
"Aarrgh..." erangku menggaruk kasar kulit kepala, frustasi. "Seharusnya kusemprotkan pengharum ruangan dulu tadi.." kalau saja aku ingat Kagaya punya indra yang lebih tajam daripada aku.
Anak itu berdiri di dekatku, melihatku meski aku tak berani menatap kembali.
"Pulanglah, Tanjiro. Lupakan apa yang barusan terjadi. Biarkan aku sendiri."
Aku tak ingin membawanya lebih jauh lagi. Pada saat yang sama aku juga tak ingin dia pergi. Bagaimana? Mana yang harus kupilih?
Dia masih berdiri disana, tak juga kudengar tapak kaki, hingga tiba-tiba saja kain lengannya melingkariku.
Apa yang dia lakukan?
Tanjiro tak mengatakan apapun, dia hanya mengeratkan peluknya, menutupi luka kasat mata yang tergores dalam punggungku.
Aku pun tak mengerti harus melakukan apa selain memeluknya kembali.
Sebenarnya aku ini sedang apa? Apa aku mengejar sesuatu atas kehendakku atau menjadi tangan-kaki orang lain, seakan aku bingung dengan diriku sendiri.
Tapi dekapan anak ini seakan mengingatkanku sesuatu. Bahwa dimana dan kemanapun aku memilih, tak ada salahnya untuk berhenti.
Tidak selamanya aku harus mengatakan jati diri, cukup diam saja dalam sunyi, sembari menghibur hati yang telah lama kusakiti.
Apa dia menyadarinya?
Bahwa Kibutsuji Muzan yang selama ini tampak begitu sempurna di depan kamera, seakan dengan tegar berdiri menghadap realita. Nyatanya bukanlah apa-apa selain jiwa menyedihkan yang terjebak dalam jurang kesedihan. Berusaha mengais apapun demi bisa hidup di kemudian hari. Tanpa bekas pukulan, bentakan, ataupun kekangan, harapan kecilnya yang hanyalah segelintir mimpi belaka tanpa kata nyata.
Tanjiro melepas peluknya, mengangkat wajahku dengan lembutnya bersama jemarinya mengusap aliran sungai di pipiku.
Senyumnya bagaikan mentari pagi, hangat nan lembut, seakan melihat sosok seorang ibu bagi seorang piatu.
"Tak apa untuk menangis. Tak perlu kau tahan lagi, Kibutsuji-san. Kau tak perlu bersikeras menutupinya."
Tanjiro melepas tangan kiri ke depan dadanya.
"Aku merasakannya disini. Aku merasakanmu."
Ah, mungkin ini yang selama ini kulupakan. Hati nurani. Sejauh kakiku melangkahi hidup ini, semua berpacu pada pikir dan logika, bagaimana mencapai sesuatu, ambil contoh kesuksesan.
Usaha yang melupakan bahwa semua sebenarnya adalah manusia biasa dengan masing-masing keistimewaannya saja. Mereka juga perlu untuk sekedar, berhenti, bernafas dan mengamati sebenarnya ada apa dengan diri ini.
Mungkin itu alasan kenapa mereka disebut makhluk sosial, bukan?
Jikalau diri sendiri lupa akan dirinya, orang lain akan mengingatkannya. Timbal balik seperti sistem ekosistem duniawi, dimana satu membutuhkan satu yang lain—sesimpel itu sebenarnya, sesimpel itu sampai mudah untuk dilupakan.
"T-tanjiro." Suara gemetar yang sudah sekian lama kutegarkan, kembali membuka luka lama, seperti hari dimana aku belum mengenal mentari yang seperti ini.
"Peluk aku—lagi." pinta egoisku yang dikabulkannya tanpa berpikir dua kali.
Malam ini aku tak merasa kedinginan lagi. Meski, kalau boleh jujur, dingin malam hari tak pernah teredam oleh kain selimut tebal ataupun Kagaya disampingku—semuanya terasa, membeku, memucat dan berakhir tanpa rasa.
Tidak malam ini. Suhu dingin beralih pergi.
=================
--- Douma's POV ---
"Yup, uh huh, yang itu sudah bagus. Oh, jangan lupa yang ini juga." perintahku mengawasi setiap bawahan untuk sebuah tugas spesial.
Sebuah karya yang akan menjadi langkah selanjutnya untuk melepas ikatan tak diharapkan. Kuharap hubungan mereka akan baik-baik saja.
"Douma, apa aku mengganggu?"
Seorang yang kutunggu akhirnya datang juga.
"Ahn~ Akaza! Akhirnya datang jug—guuhh!!~"
"Nggak ndesah bisa nggak sih? Risih, tau gak?!"
Akaza menahan pipiku dengan telapaknya yang dilepasnya dengan dorongan kasar, membuatku terjatuh dengan estetiknya diatas sofa empuk nan lembut.
"Aku ingin memberitahumu sesuatu." ucapnya begitu serius sampai melipat dua tangannya.
Sementara aku bangkit dengan gemulai, masih ingin menjahilinya, "Oh astaga, Akaza, apa kau ingin aku jadi pacarmu? Ouu, ini confession yang maniiiiss~"
Keningnya berdecit kesal, deret giginya bahkan menggertak. Dua hal itu hanya kubalaskan tawa.
Namun Akaza kali ini tak ikut dalam alur, dia langsung membisikkan sesuatu itu di daun telingaku yang langsung merubah mimikku dalam sekejap.
"Oi... serius?" tanyaku, berharap apa yang dia katakan hanyalah omong kosong. Sayangnya Akaza adalah orang yang payah dalam berbohong, dia hanya menampakkan rautnya yang sama khawatirnya denganku.
Titik-titik keringat dingin kini mengalir di kening. Padahal aku sudah sampai sini, kenapa harus hal ini terjadi? Aku harus segera menghubungi Muzan-sama.
Moshi moshi~ Daijobu desu ka?~
Ringtone handphoneku menyala. Sebuah nama yang baru saja terlintas di kepala lebih dulu menampakkan diri diatas layar.
Tanpa berpikir panjang lagi langsung saja kusahut.
"Muzan-san—"
"Douma, aku punya tugas untukmu."
Tidak biasa dia memotongku begini, nada suaranya juga berbeda. Terasa lebih serak.
"Kau pasti sudah mendengarnya, bukan?"
Bibirku tak mampu bercakap. Memang manusia satu ini seketika berubah begitu licik kalau sudah berhubung dengan asmara.
"Hm, ya." Singkat jawabku.
"Bagus. Aku punya tugas untukmu." "Ini untuk keamanannya."
Masih saja aku tak bisa menerima tantangan ini. Bibirku gemetar, tangan mengepal.
"Apapun itu. Aku akan selalu melayanimu, tuanku."
Dan detik malam itulah.
Perang dingin dimulai.
================
--- Author's POV ---
Sementara itu, di sisi lain suatu ruang berselimutkan separuh dari keseluruhannya.
Selimut gelap penutup pemilik wajah seorang penguasa yang terduduk diatas kursi putarnya. Dagu yang direhatkan dengan dua jemari tangannya yang bertaut, menompangkan sudut diatas meja kerjanya.
"Jadi itu memang benar, Kagaya?"
Seorang lainnya berdiri lebih diarah cahaya. Senyumnya bermakna ganda, namun dihadapan dia hanya menyatakan keramahannya pada sang tua.
"Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Apakah kau tak ingin melihatnya? Bukti itu nyata didepan mata."
Sahut sang pengantar kabar tak menyenangkan itu menggerakkan emosi sang penguasa.
Otaknya berputar, bibirnya menyematkan kalimat yang terdengar samar, namun cukup jelas untuk sang pengantar mendengarnya.
"Hm, aku juga berpikir itu adalah ide yang bagus. Pun, tak akan sia-sia untuk mengeksposnya. Lebih cepat, lebih baik, jika tak ingin masalah semakin berkembang."
Langkahnya bergerak maju. Tangannya menerima carik surat yang bertuliskan tangan sang penguasa. Objek yang mengundang senyum sang pengantar menjadi lebih sumringah.
"Aku tak akan mengecawakanmu."
"Karena itu sudah janjiku padamu."
"Papa."
Rembulan begitu kencang menyiramkan cahayanya. Mengekspos sedikit informasi diatas kertas itu.
'Rencana pesta pertemuan'.
Tamu spesial : Kibutsuji Muzan, ...., ..., ..., Kamado Tanjiro, ...
Tertanda,
Kibutsuji ...
=================
To be continued..
°
°
°
°
=================
◈ Catatan author ◈
Moooshi mooshii~
Genki desu ka, minna-san?
Yaw, yaw, dengan Neko lagi di sesi ini!
Yang ingin memberikan banyak terimakasih untuk reader-san tachi yang sudah menunggu updatenya chapter kali ini (´✪ω✪')♡
Q : Lama bener hiatusnya thor! Kemana aja??
A : Arara~ salahin kuliah banyak maunya dah kayak doi (;へ:)
Jangan kuliah, nggak keren, mumet.
Hai', pendek aja catatan thor kali ini.
Wuuuuhhh, chapter semakin lama semakin panas dengan kelakuan kagaya, ya?
Next, gimana nih Muzan dan teman-teman ngadepinnya?
Ikutin terus Until We Meet Again! ✧(。•̀ᴗ-)✧
==============
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro