Chapter 11 : GangBang!
--- Douma's POV ---
Seusai acara itu, Muzan-sama dan Tanjiro tak berhenti untuk saling berbincang.
Aku tak peduli apa topiknya, apapun itu pasti baik untuknya.
Layar handphone kubuka, terkejut jam serasa berjalan begitu cepat.
Tapi bukan berarti malam musim dingin akan secepat itu sirna.
Saat ibu jariku mengetik berbagai hal yang terjadi hari ini dalam aplikasi jurnal, notifikasi email muncul dibagian atas layar.
Langsung saja kubuka aplikasinya, membaca siapa pengirim dan isi dari email itu.
"Email dari agensi?"
Mereka–crew agensi YAIBA ingin bertemu denganku malam ini di lokasi yang ditentukan, lokasi yang jarang kukunjungi.
Pertemuan itu juga ditulis sebagai pertemuan "penting".
"Hmm.."
Aku merasakan ada yang aneh dari email ini. Mereka tidak menyebut nama Muzan-sama, hanya aku saja.
Memang ada masalah apa? kenapa harus malam ini? bukannya acara malam ini sudah resmi diklaim Muzan-sama? aku sudah mengabarkannya lewat email sebelumnya.
Ujung bibirku terangkat, suatu pemikiran yang kuyakini benarlah penyebabnya.
"Begitu rupanya."
Layar handphone kukunci.
Segera saja aku bangkit dari tempat.
"Anoo, Tanjiro-kun, boleh aku minta tolong sesuatu?"
Tanjiro dan Muzan-sama menoleh bersamaan, maaf saja kalau aku memotong pembicaraan kalian.
"Ya? ada apa Douma-san?"
Ujung dahi kuketuk dengan tangan kananku, membuat pose sok imut.
"Aku lupa membeli pernak-pernik untuk natal."
"Kau mau membantuku untuk mencarikannya kan, Tanjiro-kun?"
Dua tangan kurapatkan, memohon padanya dengan mata berkaca-kaca.
"Hitung-hitung Muzan-sama kau ajak jalan-jalan. Malam ini malam yang sempurna untuk jalan-jalan, kan?"
Mata kiriku berkedip padanya
Tanjiro-kun sempat ingin mengangguk, tapi matanya melihat ke arah kasir toko.
"Tapi... Nezuko dan yang lain sedang bekerja keras. Aku tak bisa membiarkan mereka bekerja, sementara aku hanya bermain-main."
Anak ini...
Punya hati yang mulia.
"Tenang saja, Tanjiro-kun. Soal itu aku sudah memikirkannya jauh-jauh hari!"
Jentikan jariku menjadi kode untuk Akaza dan Kokushibo berdiri menghadapku.
"Kalian berdua bantu Nezuko-chan saat Tanjiro dan Muzan-sama pergi berjalan-jalan."
"Kau sendiri mau kemana?"
Akaza mempertanyakan diriku, selalu saja.
Aku berbalik ke arahnya, mata dan bibirku tersenyum bersamaan.
"Ra.ha.si.a~ aku akan mengabarkannya setelah semua beres. Sekarang lakukan pekerjaan kalian!"
Akhir kataku tak bisa mereka bantah. Sebagai ketua asisten Muzan-sama, mereka berdua tak bisa menolak perintah.
Mereka berdua mengangguk menjawab, "Hai'! segera kami kerjakan.", bersamaan. Lantas bergegas menuju tempat Nezuko-chan bekerja.
Tubuh kuarahkan lagi ke Tanjiro dan Muzan-sama.
Muzan-sama melihatku aneh, dia curiga dengan tindakanku yang tiba-tiba.
"Apa yang terjadi, Douma?"
Aku hanya tersenyum padanya.
"Bukan apa-apa, hanya ada hal kecil yang harus kukerjakan. Sementara itu, Muzan-sama setidaknya mau kan melepas penat setelah seminggu bekerja non stop?"
Tanjiro terkejut mendengarnya.
"Seminggu non stop?!"
Kena dia.
Aku mengangguk pada Tanjiro, telapak tangan kurehatkan di pipi kananku.
"Benar Tanjiro-kun, aku sudah memaksanya bahkan merayunya untuk istirahat tapi... Muzan-sama masih bersikeras bekerja, hiks."
Lensa Tanjiro bertemu dengan lensa Muzan-sama yang terbuka lebar.
"D-douma, kita sudah membicarakan ini sebelumnya. Kau berjanji akan merahasiaka–"
"Onegai, Tanjiro-kun! aku tak ingin Muzan-sama kena stroke hanya karena bekerja saja!"
Dua tangan kurapatkan lagi, begitu memohon pada Tanjiro.
Raut wajah Tanjiro berubah menjadi serius, dia langsung mengangguk.
"Baiklah, Douma-san. Aku akan melakukannya!"
Dia menggenggam tangan Muzan-sama, tentu Muzan-sama berusaha untuk memberontak.
"Lepaskan! aku tidak butuh–"
"Tidak baik bekerja terus, Muzan-san! kau juga butuh istirahat."
"Kau butuh ini Tanjiro-kun?"
Seuntai tali digenggaman tanganku.
Kau bertanya darimana? ada pokoknya~
"Arigato gozaimasu, Douma-san!"
Tanpa berpikir dua kali dia mengambil tali itu dari tanganku.
Langsung saja mengikat Muzan-sama untuk menariknya pergi.
Semua sesuai rencana.
Setelah semua sedang sibuk-sibuknya.
Aku berjalan keluar dari cafe, mengambil kunci mobil, kemudian menaiki mobil berwarna hitam yang kami gunakan untuk kemari tadi.
Injakan gas langsung saja kuinjak, melesat menuju tempat yang dikirimkan tadi.
===============
'50 meter ke kiri'
Suara navigator googlemap menyahut.
Lokasiku sudah dekat, sebentar lagi sampai.
Benar saja, sebuah gedung yang mungkin baru saja berdiri muncul dihadapanku.
"HASHIRA tower?"
"Heh, familiar sekali."
Dua security menyapaku saat mobilku bergerak menuju pintu masuk.
Setelah selesai memeriksa izin masukku dengan menunjukkan email itu, mereka memperbolehkanku masuk.
Mobil kuparkir tak jauh dari lokasi drop out, lantas aku bergerak menuju lobby gedung itu.
Bertanya pada resepsionis yang berada disana, dia menunjukkan suatu ruangan padaku lewat pelayanan bellboy.
Lantai 10,
Cukup tinggi juga tempat pertemuannya.
Rasa khawatirku semakin memuncak, walau begitu tetap saja tak bisa mengalahkan rasa penasaranku.
Langkah kaki berjalan keluar saat bunyi lift berhenti terdengar.
Nomer sepuluh muncul di bagian atas lift.
Hanya aku dan bellboy itu yang berjalan di lorong itu.
Lantainya bertikar, meredam suara tapak kakiku.
Lensaku kembalu menatap lurus ke depan, tepat saat bellboy itu mempersilahkanku memasuki ruangan cukup luas berdinding kaca.
Di depannya kursi putar menunjukkan bagian punggungnya.
Seseorang menungguku.
Tarikan nafas kuambil, sebelum akhirnya memulai pembuka pembicaraanku.
"Selamat malam, Saya Douma, ketua asisten Muzan-sama, sudah hadir."
Dengan sedikit membungkuk, aku mengumpulkan keberanianku.
Setelah mengucap itu, orang dibalik kursi itu terkekeh.
"Kau pasti tau darimana email itu, bukan? Douma."
Suara yang begitu kukenal.
"Tentu, tidak mungkin saya tidak mengenal trik anda, Kagaya-dono."
Pria itu membalikkan kursinya.
Kena dia.
Sudah kuduga, perkiraanku tidak meleset.
Kagaya menunjukkan senyumnya saat melihat sosokku sudah berdiri disana, sesuai permintaannya.
"Lalu kenapa kau tetap datang?"
Senyum manis kutunjukkan.
"Tidak mungkin saya menolak permintaan anda. Bukankah itu yang anda pesankan pada Muzan-sama dulu?"
Menggunakan Muzan-sama untuk apapun yang diinginkannya.
Orang ini benar-benar...
"Hebat sekali, kau benar-benar mengingatnya."
"Dan apa kau tau apa yang ingin kulakukan disini?"
Pastinya bukan sesuatu yang baik, setelah apa yang kulakukan padanya.
"Tentu saja saya tak tau, Kagaya-dono. Saya hanya bisa menebak-nebak saja."
"Hoo, bodoh juga rupanya."
Tanganku mengepal,
emosiku terkumpul.
"Baiklah, akan kujelaskan, tapi sebelum itu..."
Tangannya menepuk, seketika sekumpulan bodyguard bersamaan bergerak masuk, mengelilingiku.
"Bisakah kau jelaskan kenapa kau lakukan hal itu padaku?"
Keringat dingin mengalir dari pelipisku.
Rasa menyesal sudah terlambat mendatangiku.
"Bagaimana jika tidak?"
Dia tersenyum padaku.
"Kau tau konsekuensinya, bukan?"
Dia benar-benar menyebalkan.
Aku terdiam sebentar, apapun yang kukatakan, entah jujur ataupun bohong, aku merasa hasilnya tak akan jauh berbeda dengan aku tak menjawab sama sekali.
"Kau sudah tau sendiri jawabannya, Kagaya-dono."
Lensaku menatapnya tajam, tak seperti biasanya aku menarik pelatuk emosiku begini.
"Aku tak akan memberikan Muzan-sama padamu."
"Iblis dingin sepertimu tak pantas bersamanya."
Deret gigi kutunjukkan padanya, berusaha sepercaya diri mungkin menatapnya.
Dia terkekeh, perlahan tumbuh menjadi tawa.
"Haah... Douma Douma."
Tangannya menutup matanya, kemudian terbuka perlahan.
Lensanya menyala, menatap tajam padaku.
"Kau belum menyerah juga, serangga pengganggu."
Seorang bodyguard bergerak padaku, melayangkan pukulannya.
Dengan gesit aku menghindarinya, menangkis sebisa mungkin.
"Ngghh!"
Tidak bisa begini terus, kekuatan fisiknya setara dengan Kokushibo!
Dua orang bodyguard kini bergerak maju. Salah satunya membawa senjata seperti tongkat pemukul.
Tubuh kujatuhkan kebawah, menendang kakinya, membuatnya terjatuh sebelum sempat memukulku.
Setelahnya aku kembali berdiri, seorang dibelakangku menahan tubuhku, menghadapkan dadaku kearah bodyguard lainnya.
Aku meringis melihat apa rencananya sekarang.
Lensaku bertemu dengannya.
"Sebegitu bencinya kau denganku, Kagaya-dono? sampai kau tak peduli walau aku hancur sekalipun."
Hembus nafas mengejek keluar dari senyumnya.
"Siapa yang ingin menghancurkanmu?"
"Aku pastikan kau masih bisa bernafas walau terasa sesak sekalipun, Douma."
Jarinya dijentikkan, seketika bodyguard lain bergerak kearahku.
Satu persatu pukulannya menghantam sekujur tubuhku.
Tak sedetik pun memberiku ruang untuk bertahan.
Tubuhku dibanting berkali-kali, kaki mereka menghantamku bagai menginjak barang paling menjijikkan.
"KHAAKK!!"
Percik darah yang mengalir di bibirku justru jadi penyemangat mereka.
Wajahku dihantam habis-habisan.
Aku sudah tak bisa lagi merasakan isi perutku lagi.
Apalagi punggung dan tanganku yang menjadi perisai diri.
Kagaya tak berkutik, dia justru menatapku santai, seperti memperhatikan pertunjukan yang begitu didambakannya.
Selang beberapa kali dipukuli, belum sepenuhnya babak belur, dia berjalan mendekatiku, mengangkat tangannya setengah bahu, menghentikan gerik bodyguardnya.
Dia berjongkok di depanku, menatapku yang berusaha bangkit.
Daguku diangkatnya.
"Masih hidup?"
Mulutku menggeram.
"Apa kau sudah menyesali perbuatanmu?"
Bukannya ketakutan, senyumku justru tumbuh.
"Tidak sama sekali."
Perlahan aku bangkit, setidaknya berjongkok saja, mengimbangi posisinya.
"Akan... kubuat kau gagal mendapatkannya."
Rasa mual mendorong keluar dari perut, kutahan.
"Hanya anak itu... yang pantas... mendapat Muzan-sama."
Kini tatapnya berubah dari intimidasi menjadi datar, lantas menajam.
Dia berdiri, kembali berjalan ke mejanya.
"Kalian dengar itu?"
Ucapnya pada bodyguard-bodyguardnya.
"Habisi dia."
Dua kata pemicu gerak mereka.
Tiap tangan mengepal, tetuju padaku.
Ah, apa ini yang disebut berbalik 360 derajat?
Kemenangan tak akan muncul selain pengorbanan.
Apa ini pengorbanan yang kuterima?
Untuk senyum mereka berdua.
Tangan kubentangkan, menerima "pengorbanan" untuk kemenanganku.
Aku tak gentar,
ini bayarannya.
Semua bermula dariku, bukan?
Ide itu, Akaza yang menjalankan perintahku.
Pasti, aku percaya ini pasti–
Konsekuensinya~
BRAAKK!!!!
Suara benturan keras terdengar dari arah pintu, seperti membekukan waktu, mereka melesat kearahku, menangkis semua yang tertuju padaku.
"SIAPA YANG BERANI MENYENTUHNYA, HAH?!"
Bentakan itu.
Akaza?
Kokushibo dengan tangguhnya menjadi tamengku dan senjataku.
Dengan cepat dia memukul mundur bodyguard yang ada di depannya.
Tubuh kekarnya membuat serangan musuh tak berefek apapun padanya.
Akaza muncul dibelakangnya, melindungi punggungnya dari musuh yang berusaha menyerangnya kala tak fokus.
Dia juga tak kalah bengisnya dengan Kokushibo, dengan senyum penuh percaya diri, dia melesat maju, meninju lawannya dengan cepat.
Mungkin tak sekuat Kokushibo, tapi kecepatannya tak main-main, sama sekali tak memberi ruang musuhnya untuk menangkis.
Dalam hitungan detik, bodyguard itu terpukul mundur, beberapa dari mereka mengaduh kewalahan.
Akaza dan Kokushibo berdiri di depanku dengan posisi siapnya.
"Sudah kuduga ada yang mencurigakan darimu, Douma."
Ucap Akaza.
"Sudah berapa kali kubilang agar tak menanggungnya sendirian?"
Dia melirikku.
Kokushibo ikut menambahkan.
"Aku tak tau apa yang akan terjadi jika kami tak datang tepat waktu. Lantai sepuluh tidak cepat untuk ditempuh."
"Douma-san, kuharap kau lebih memercayakan kami."
"Kami adalah kaki tanganmu. Jika kepala menghilang, kaki dan tangan tak bisa bergerak."
Keduanya menatap musuhnya yang berusaha bangkit lagi.
"Douma, berikan perintah."
"Kau tau apa yang harus dilakukan, bukan?" Ucap Akaza.
Aku terdiam melihat mereka.
Lima lawan dua, itu tidak sebanding.
Aku tau mereka begitu menginginkan serangan balik, tapi jika seandainya aku memilihnya, apa itu akan berdampak bagus setelahnya?
"Douma!"
Akaza menggertakku, mengharapkan perintah secepatnya.
Perlahan mulutku terbuka.
"Mundur!"
Mereka berdua menatapku terkejut.
Sama sekali tak terduga pastinya.
Kokushibo menatap Akaza, Kokushibo mengangguk, sementara Akaza berdecih.
Bersamaan mereka menurunkan posisi siap mereka, lantas bergerak kearahku.
Kokushibo mengangkat tubuhku, sementara Akaza berlari dibelakangnya, memastikan tak ada siapapun yang mengejar.
Sementara itu Kagaya hanya terdiam, dia mengangkat tangannya saat bodyguardnya berniat untuk mengejar.
"Biarkan saja."
Ucapnya dingin, kembali duduk ke kursinya.
"T-tapi tuan..."
Dia tak menjawab saat salah satunya angkat bicara.
"Aku sudah mempersiapkan rencana untuk itu."
Lensanya menatap dinding kaca, menatap Tokyo Tower dari kejauhan.
Senyumnya terangkat.
"Tidak mungkin aku akan menyerahkannya begitu saja."
"Dia milikku seorang."
================
Kokushibo membawaku menuju mobil yang kuparkir tadi, secepat mungkin dia tancap gas setelah Akaza masuk ke dalam.
Tanpa mengindahkan penjaga yang menghadang, Kokushibo mengencangkan gasnya, menerobos pertahanan dan melaju kencang menuju jalan raya.
Setelah mencapai jalan raya, barulah speedometernya bergerak turun.
Sementara itu Akaza dengan hati-hati membersihkan aliran darah di ujung bibirku.
"Kenapa kau selalu memaksakan dirimu begini, Douma?"
Suaranya semilir, sedikit bergetar.
Apa dia ketakutan?
Seperti biasanya aku tersenyum lembut padanya.
"Aku sudah bilang kan sebelumnya? aku akan melindungi kalian semua."
"Segenap jiwa dan ragaku."
Akaza melihatku kesal.
"BUKAN BEGINI CARANYA!"
Bentakannya mengejutkanku.
Wajahnya tampak begitu penuh dengan amarah.
Kedutan muncul di pelipisnya.
Lensaku menatap turun perlahan.
"Kau tak bisa melindungi semua orang, Douma!"
"Bahkan adik Kokushibo saat itu! Kau hampir terbunuh saat menyelamatkannya, apa sekarang kau benar-benar berniat untuk mati?! Kau manusia biasa, Douma! Kau bukan dewa!"
Mungkin... benar katanya.
Aku terlalu mengentengkan dan berpikir aku bisa melindungi semuanya, walau jiwa ragaku jadi konsekuensinya.
Aku bisa saja mati tadi atau sekarat paling sedikit.
Bodohnya aku.
Lensa Akaza berkaca-kaca, menyatakan rasa khawatir dan takutnya akan kehilangan diriku.
Aku menatapnya dengan senyum pahit.
"Maaf, sudah mengkhawatirkan kalian."
"Tolong rahasiakan ini dari Muzan-sama."
Aku tak ingin membuat tuanku khawatir karena kelakuan diluar batasku.
Dia sedang bersenang-senang sekarang, aku tak boleh mengganggunya.
"Akan kulaporkan kalau kau sampai kau melakukannya lagi."
"Ya kan, Kokushibo?"
Kokushibo mengangguk pada Akaza.
"Kalian berdua..."
Begitu rupanya.
Benar, aku sudah tak seperti dulu lagi.
Aku harus lebih memikirkan caraku untuk hidup.
"Terimakasih."
Senyum berbentuk tawa muncul diwajahku.
Ini bukan senyum palsu,
ini yang sebenarnya.
Rasa senang bercampur syukur,
mengetahui aku tak lagi sendiri.
=================
To be continued..
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro