Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 10 : Satu lagu, dua suara

--- Tanjiro's POV ---

Dia datang.
Dia benar-benar datang!

Beberapa mobil APV mulai bermunculan di depan rumah.
Dari dalamnya, para crew keluar membawa segala yang dibutuhkan untuk konser kecilnya.

Tak tinggal diam, aku ikut memberikan uluran tangan pada mereka.
Walau beberapa menyangkal, keinginanku tetap tak berubah, aku ingin membantu konser ini.

Selang beberapa waktu, mobil berbeda muncul, Douma-san berlari dan memelukku erat setelah keluar dari mobil. Tapi aku tak melihat keberadaan Kibtusuji-san, apa dia belum datang?

Douma-san menatapku dengan wajah menyeringai, "Oya?~ Apa Tanjiro-kun begitu menantikannya?".
Douma-san selalu berhasil menebak pikiran orang lain. Tebakannya barusan tepat mengenai sasarannya, membuatku tersipu malu.

Dia tertawa kecil, menepuk-nepuk pundakku.

"Daijobu daijobu! Muzan-sama sebentar lagi akan datang. Hanya perlu sentuhaann.. kecil!" Dia menunjukkan ibu jari dan telunjuk yang bersentuhan, menampakkan seberapa kecil yang dia maksud.

Benar katanya, tak lama mobil lain datang. Seseorang di dalamnya membuatku berdebar-debar, ingin melihatnya keluar dari sana.

Apa benar itu dirinya?
Apa pakaian yang dia kenakan?
Pikiran aneh itu justru membuatku penasaran.

Jauh dari dugaanku, yang kukira dia akan menggunakan pakaian berbeda.
Nyatanya dia hanya menggunakan baju kerja biasanya, baju hitam dengan sedikit corak di dekat kerah.
Walau dengan baju yang sama pun, kharisma miliknya tetap saja membuat orang lain terpesona.

Lensa kami bertemu, tepat saat dia melirik ke arahku.
Langkahnya berjalan mendekat, sementara Douma-san memberi jarak untuk kami.

"Kau menunggu lama?"

Sudah seperti mengajak berkencan saja.

"Tidak, tidak, justru semuanya tepat waktu."

"Begitu ya." Dia mengedarkan pandangannya. Melihat kesana-kemari, melihat persiapan panggung yang diduganya selesai lebih cepat.

"Aku membantu beberapa." selaku, memecah lamunannya.

Lensanya terbelak lebar, "Membantu? tapi, itu pekerjaan mereka, kan? kau tidak perlu–" perkataannya berhenti saat aku menggelengkan kepala.

"Aku juga ingin membantu Kibutsuji-san!" senyumku mekar didepannya, membuatnya terdiam.
Tanganku menarik tangannya, "Semuanya sudah menunggu, lho. Mereka tidak sabar untuk bertemu denganmu." sebentar aku terdiam, menyadari memanggilnya tanpa nama tapi dengan kata yang terkesan sebagai teman dekat.

"Tak apa, panggil aku begitu."

"Eh? m-maksudnya?"

Kibutsuji menatapku lekat-lekat.
Emosinya tak berubah, tapi lensanya mengatakan perasannya jelas.

"Kau boleh memanggilku tanpa formalitas. Kamu, Kibutsuji, ataupun..."

"Muzan." lanjutnya.

Aku tak percaya dia mengatakan itu padaku.

Memperbolehkanku memanggil nama aslinya? bukankah itu berarti dia menginginkan hubungan lebih dekat?

Wajah sedikir kutundukkan, perlahan aku menjawab...

"M-m..."

"Muzan..."

Lensa Muzan terbelalak.

"-san.."

Wajahnya kembali datar.

"Gomen!!! aku tak bisa melakukannya tanpa -san! Muzan-san punya jabatan yang tinggi, jadi aku pikir... aku pikir, tidak baik tanpa -san."

Dia masih menatapku. "Setidaknya kau sudah berusaha." tangannya dimasukkan ke dalam saku, kemudian berjalan melewatiku.

Aaa....
Apa aku membuatnya kecewa?
Dia sampai melepas genggamanku.

Douma tiba-tiba muncul dibalikku.

"Hayoo, Tanjiro-kun. Muzan-sama jadi ngambek lho~ nanti dia tidak jadi bernyanyi, aku yang repot jadinya."

Tangannya entah sejak kapan membawa tisu, mengusap airmata yang ada diujung matanya.

"B-bukan begitu maksudku, Douma-san!! aku cuma–"

"Hidoi yo, Tanjiro-kun~"

"AAA MOUU!!!"

Orang ini suka sekali menggoda orang lain. Aku jadi lebih merasa bersalah padanya. Mungkin aku harus meminta maaf nanti?

==============

Kursi-kursi cafe sudah terisi oleh pembeli yang mendengar ataupun mengetahui konser Muzan-san dari berbagai sumber.
Salah satunya Zenitsu yang sudah siap disana sejak jam enam pagi, padahal konser dimulai jam enam malam.

Setelah melihat sekeliling, dimana semua audiens sudah berada ditempat.
Muzan-san menaiki panggung kecilnya. Tangannya mengetuk-ngetuk microphone yang digenggamnya, kemudian memberi intruksi pada sound mixer untuk mengatur suara micphone itu.

"Semuanya sudah siap, kah?~" Douma-san mempertanyakan persiapan pada semua crew. Lantas dia melihat Muzan-san yang mengangguk.

"Yooshie!~ konser Kibutsuji Muzan, spesial awal musim dingin, dimulai!"

Aba-aba Douma-san seketika memulai acara konser tersebut. Alunan musik mulai terdengar dari speaker ukuran besar, diikuti suara Muzan-san yang terkesan lembut dan berkharisma.
Tiap gerak-geriknya menjadi kemana mata setiap orang memandang.
Tak sedikit pun dia gentar, walau semua mata terarah padanya, justru dia tampak hidup.

Beberapa menit berlangsung, lagu pembuka terlewat sudah. Sebentar lagi dia akan membawakan lagu kedua miliknya.
Lensanya dengan mantap melihat ke seluruh audiens, mic didekatkan kembali ke bibirnya.

"Untuk lagu kedua adalah lagu untuk.berduet. Saya akan memilih salah satu audiens untuk berduet bersama."

Suara audiens terdengar riuh, mereka berharap merekalah yang akan terpilih. Bernyanyi di dekat Muzan-san, kala waktu yang begitu strategis ini, pastinya akan menjadi momen yang spesial dan tak terlupakan.

Lensanya masih melihat sekitar, membuat hati para audiens semakin tak sabar untuk menanti siapakah yang akan berdiri disampingnya, memperpadukan suara berdua.

"Anak disebelah sana!"

Lensanya menatap lurus padaku yang berdiri dibalik meja kasir.

"Kemari."

He?

Eh?

Dia memanggilku?

Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, melihat mata semua orang tertuju padaku.

"Kau tunggu apa? cepat kemari!"

Ini bukan mimpi, kan?
Dia memanggilku?!

Mengangguk gugup, aku berjalan kearahnya, tapi aku berhenti di dekat panggungnya, rasa takut mulai menyergapku.

Melihatku begitu, tangannya diulurkan, menarik tanganku, membawaku naik keatas panggung.
Suara sorak-sorai terdengar, bersamaan dengan rasa kecewa dari audiens lain.

"Siapa namamu?" tanyanya, sambil membawa mic dalam genggaman tangan sebelahnya.

"K-kamado Tanjiro."

Dia mengangguk, memberi kode pada crew untuk memberikan mic padaku.

"Tanjiro-kun, benar? yosh, untuk lagu kedua, aku akan berduet dengan kasir bakery yang bernama Tanjiro." ucapnya pada semua audiens yang bersorak senang.
Tangannya mengusap bahuku, seperti berkata semua akan baik-baik saja.

Seorang crew lantas berjalan kearahku, memberikan mic untuk berduet dengannya.

Mata kami bertemu, dia tersenyum.

"Kau sudah siap?"

Dengan lembut, dia mempertanyakan kesiapanku.

"H-hai'!" jawabku mantap.

Dia mengangguk, jarinya dijentikkan, kode untuk memulai alunan musik yang akan dia bawakan.

^Muzan x Tanjiro Duet

^versi subtitle indo

Dua suara melebur menjadi satu.
Pandanganku dengannya pun sepertu tak bisa dilepaskan.
Jiwa dan seluruhnya seperti menyatu begitu saja, melayang diatas atmosfer, dibawah langit putih bersalju.

Muzan tampak begitu menikmati, wajahnya terlihat lebih tenang dari biasanya.
Tangannya meraih tanganku, menarikku untuk ikut dengannya menari diatas panggung.

Jari kami saling bertaut,
langkah kaki berjalan selangkah ke depan, satu kaki bersamaan berjalan maju bersama.
Dengan sedikit berputar, tubuhnya langsung mengikuti aliran lagu yang keluar dari bibirnya.
Sementara aku hanya melihatnya sambil sedikit mengikuti apa yang dia peragakan secara terbalik.

Kembali saling menatap lagi, dengan microphone dalam genggaman, bersama mensenandungkan masing-masing suara.

Dua suara dengan lembut melebur bersama, menggema, memancarkan aura kehangatan dalam dinginnya awal masa musim dingin di Kota Tokyo.

Setelah bait terakhir, kesunyian terdengar, diikuti riuhnya tepuk tangan dan siulan dari seluruh penjuru.

Nafasku sedikit terengah, membutuhkan usaha lebih untuk mengikuti langkah Muzan yang terasa jauh perbedaannya denganku.

Tubuhku berjalan sedikit ke belakang, merasa lelah namun juga senang dan lega setelah melakukannya.

Muzan dengan cepat menangkap tubuhku dengan lengannya yang bebas.
Secarik senyuman terangkat, dengan lembut dia berkata...

"Kau sudah melakukan yang terbaik, terimakasih, Tanjiro."

Lensaku melebar, tak percaya apa yang baru kulihat.
Senyumnya tampak begitu hangat dan tulus, rasanya seperti menemukan sepucuk bunga mawar dalam dinginnya badai salju.

Aku mengangguk ragu, sebentar aku merasakan rasa hangat menjalar dari pipi kemudian ke telingaku.

"Kau lelah?"

Dia bertanya padaku yang sejak tadi terdiam.

"Baiklah, aku akan menggiringmu."

"Ah, tidak usah, aku bisa berjalan sendiri–"

Belum sempat aku berkata lagi, Muzan lebih dulu menarik tanganku, mengggiringku ke salah satu meja dengan satu kursi kosong.

Mejanya, yang memiliki 4 kursi, 3 kursi sudah terisi oleh Kokushibo, Douma dan Akaza.

"Aku akan segera kembali."

Entah dia sengaja atau bagaimana.
Bibirnya bergerak ke punggung tanganku, mengecupnya lembut sebelum akhirnya kembali ke panggung lagi untuk melanjutkan lagu lainnya.

Sudah..

Merah sudah wajahku kini, aku bisa merasakannya lebih hangat dari apapun.

"Hummm!!"

Suara dehem penuh rasa gemas keluar dari mulut Douma.
Senyumnya begitu terangkat, pipinya sampai ikut bersemu melihatku.

"SUUUUGEEEEEE!! TANJIRO-KUN SUGEEE YO!!"

Dia menjabat tanganku berkali-kali, sudah seperti fans yang bertemu dengan penyanyi idamannya.

"Kau dan Muzan-sama tampak begitu bersinar tadi. Yokatta... yokatta yo..."

Tiba-tiba dia menitikkan air mata. Tepat saat itu Akaza buru-buru mengambil tisu untuknya.

"A-apa sampai segitunya?"

Tanyaku ragu pada mereka.

Kokushibo mengangguk.

"Tanjiro-kun dan Muzan-sama, kalian tampak begitu cocok dan menikmati waktu kalian tadi."

"Sudah seperti pasangan yang ditakdirkan saja." tambah Akaza setelah memberikan beberapa carik tisu untuk Douma.

Degub jantungku mengencang, tanganku bergetar.
Tidak, bukannya takut, mungkin ini yang disebut terlalu senang mendengarnya.

Douma membersihkan wajahnya dari airmatanya, lantas kembali menatapku.

"Kau merasakannya, kan, Tanjiro-kun?"

"Eh? merasakan apa?"

Dia tersenyum, seperti berkata kau jangan pura-pura bodoh didepanku.

Wajah sedikit kutundukkan, perlahan merangkai kata-kata untuk menjawabnya.

"Mu... mungkin?"

Seketika aku membuang wajah kesamping, dengan menutup bibirku dengan punggung tanga.

Douma kembali menjerit heboh, dia sampai menggebrak mejanya, hampir melayangkan piring shortcakenya, kalau saja Akaza tidak langsung menangkapnya sebelum terjatuh.

"Kita harus membagikannya secara official! harus pokoknya, titik gapake koma!"

Dia menekan layar handphonenya.
Seketika menarik rasa ingin tahuku.

"Official?"

Akaza menoleh padaku.

"Jangan bilang kau tak tau Muzan-sama punya channel youtubenya sendiri."

Aku berdecak kaget. Bukan maksudnya aku tak mengetahui. Hanya saja aku terkejut kalau videoku dengannya akan tersebar luas pada semua fansnya nanti.

"Jangan!"

Aku meloncat ke arah Douma, salah satu tanganku menutupi layar handphone milik Douma.

"Lho? bukannya enak? kau bisa jadi terkenal Tanjiro-kun. Bakery mu bisa saja laris karena itu. Oh, atau perlu kumasukkan logo bakerymu di credits video?"

Douma mengatakannya begitu enteng.

Bukan, bukan itu yang kumaksud.

Douma menatapku dengan tatapan penuh tanya.

"Apa sesuatu mengganggumu Tanjiro-kun?"

Bibir bagian bawah kugigit, aku ingin menyebut namanya, tapi aku takut orang itu mengetahuinya.

"Hey."

Akaza menepuk pundakku lembut. Dia seperti tau aku sedang ketakutan akan satu hal.

"Kami ada disini, aku berjanji akan melindungimu dari entah apapun yang kau takutkan."

Douma seketika tertawa kecil melihat Akaza.

"Waduh, apa nih? ingin melamar majikan baru, Akaza?"

Kening Akaza berdenyut, tangannya menarik kerah Douma.

"KAU BILANG APA, HAH?!"

"Ahahaha, bercanda, bercanda!"

Mereka berdua tampak begitu mendukungku. Sebentar tak sengaja aku melirik Kokushibo. Dia mengangguk dan berbisik "Katakan saja."

Perlahan aku menarik nafas, menenangkan diri sejenak.

"Sebenarnya.. ada yang kutakutkan kalau video itu tersebar."

Akaza dan Douma berhenti bertengkar, mereka kembali fokus padaku.

"Kalian... k-kalian tau Kagaya, bukan?"

Lensa Douma yang tampak tenang seketika berubah menjadi serius.
Fokusnya benar-benar dikerahkan padaku.

"Orang itu, beberapa hari yang lalu datang padaku. Dia sempat mengatakan kalau aku harus menjauhi Muzan-san, tidak mengganggu urusan mereka berdua."

Tubuhku bergetar, hawanya yang sedingin musim dingin seperti menggentayangi setiap namanya terucap.

"Tanjiro-kun."

Tangan Douma menyentuh tanganku, menggenggamnya.
Senyum tulusnya terpapar di wajah, menenangkanku.

"Kau tak perlu takut."

"Seperti kata Akaza sebelumnya."

"Kami ada disini untukmu."

"Kami akan melindungimu."

Akaza dan Kokushibo mengangguk bersamaan.

Mereka bertiga...

Air mata tak lama menggenang di lensaku, menimbulkan efek berkaca-kaca di mataku.

"Terimakasih.."

Douma mengayunkan tanganku pelan.

"Aku akan melindungi kalian. Kalian semua. Segenap jiwa dan raga."

Pandangannya diedarkan, pada Muzan, Akaza, Kokushibo, berakhir padaku.

Aku senang mendengarnya, begitu juga Kokushobo tampak setuju.
Namun berbeda dengan Akaza yang justru membuang wajahnya yang tampak... tidak senang?

"Oi.."

Suara berat terdengar dari balik tubuhku. Orang itu menepuk pundakku.

"M-muzan-san?!"

Sejak kapan dia disini?

Muzan melihat ke sekitar, terutama pada Douma.

"Siapa yang berani membuatnya menangis? kau, Douma?"

Douma berdecak kaget, dia mengangkat dua tangannya.

"B-bukan begitu Muzan-sama. Kau salah paham! aku bisa jelaskan."

Muzan menatap Douma tajam.

"S-silahkan duduk tuan."

Kokushibo rela menyerahkan kursinya agar Muzan bisa duduk dengan tenang–agak marah lebih tepatnya.

Keringat mengalir di kening Douma. Setenang mungkin dia menjelaskan apa yang terjadi tadi dengan suara yang terkesan serius.

Muzan hanya manggut-manggut, hingga akhirnya dua lensa merahnya melebar mendengar semuanya.

"Benar begitu, Tanjiro?"

Aku mengangguk ragu.
Sontak dia menghela nafas lelah, jarinya memijat ujung keningnya.

"Orang itu..." bisiknya.

"Aku mewakili permintaanmaafnya padamu, Tanjiro. Aku minta maaf."

Tubuhnya sedikit dibungkukkan padaku.

"Tidak, maksudku, uhh... Muzan-san tidak salah. Dia juga mungkin..."

Kalimatku berhenti di tengah jalan.
Ingin melanjutkannya, hanya saja takut apakah itu memang kebenaran yang harus kukatakan walau menyakitkan sekalipun?

"Mungkin... Kagaya-san menyukaimu. Makanya–"

"Tapi dia tetap saja lancang dan menekanmu, Tanjiro!"

Tangannya menggebrak meja.

"Dia sudah kelewatan kali ini. Aku sudah bilang akan melakukan konser ini denganmu dan berjanji akan konser dengannya di lain waktu."

"Walau begitu, dia tetap menginginkan lebih, bahkan melakukan cara apapun untuk mendapatkannya."

"Seperti dia tak ingin aku bersama orang lain.." suaranya mengecil, hampir tak terdengar.

Douma berusaha mendekati Muzan, tapi tangannya berhenti di tengah-tengah.

"Kami akan melakukan yang terbaik untuk melindunginya, Muzan-sama."

Wajah Muzan terangkat, menatap ke arah Douma.

"Biarkan kami melindungi, Tanjiro-kun!"

Akaza berjalan maju.

"Ore mo."

Kokushibo ikut serta.

Muzan melihat keseriusan mereka bertiga, secarik senyuman terangkat di wajahnya.

"Aku serahkan pada kalian."

Wajah tiga bodyguard itu berubah menjadi senang setelah mendapat persetujuan secara langsung dari majikannya.

Muzan kembali menatapku.

"Aku akan menyelesaikan sisanya. Kau tak perlu khawatir."

Aku nyaris menangis mendengarnya.
Aku tak lagi sendiri, orang-orang membantuku.
Aku pasti, pasti bisa melewatinya, aku harus percaya!

Wajah kuangkat, dengan mantap mengangguk padanya.

"Hai'! Arigato, minna."

Mereka semua tersenyum padaku.

Tepat saat itu Nezuko membawa senampan roti hangat langsung dari panggangan.
Douma berusaha mengambilnya lebih dulu, kala Akaza berusaha menghentikannya bertingkah kekanakan.
Kokushibo menikmati roti yang diberikan Nezuko, sementara Muzan meneguk kopi hangat pesanannya.

Lensaku bertemu dengannya, dia mengangkat cangkirnya padaku, seperti ingin bersulang.
Entah kapan, di depanku sudah ada teh hangat, dibawahnya secarik kertas diselipkan.

Oniichan sugoi!
Aku tak tau oniichan punya suara yang merdu.

Jangan lupa diminum tehnya.
Aku membuatnya untukmu :)

Nezuko...
Dia senang melihatku tadi.

Lensaku melihat ke arah meja kasir dimana dia melambaikan tangan padaku, bersama yang lainnya, membantu mengeluarkan roti dari panggangan.

Aku membalas lambaian mereka, sebelum akhirnya ikut bersulang dengan Muzan.

Kehangatan dalam musim dingin.
Ditemani secangkir teh hangat dengan roti yang baru keluar dari pemanggangan.

Orang-orang tersenyum, tertawa, membingkan banyak hal.
Sambil menyantap roti dan minuman hangat mereka.
Menyaksikan jatuhnya serpihan salju indah memenuhi setiap sudut kota.

================

Satu serpihan salju jatuh di telapak tangan.
Meleleh dan memudar karena kehangatan manusia.
Walau begitu wajah penerimanya tak menunjukkan rasa senang sama sekali.

Berbeda dengan anak-anak kecil yang tersenyum riang melihat salju putih.
Tatapnya hampa, senyumnya hanyut bersama hembusan angin.

Sedari tadi matanya menatap dua insan yang kini sedang bersama menikmati musim dingin.
Namun tak lama, keputusasaan mendekapnya, menariknya menjauh.

Tubuhnya berjalan memutar, meninggalkan tempat ramai,
tempat dimana orang-orang menyantap roti hangat.

Dalam hati dia menjerit, bersumpah beulang kali.
Ujung bibir digigitnya, tak terima dengan apa yang terjadi.

Langkahnya semakin cepat menjauh.
Semakin cepat pula salju putih menghilangkannya, menghapus keberadaannya.

==================
To be continued..

°

°

°

°

=================

Hai hai hai, para readers UWMA! ≧∇≦)/

Hayoo, siapa yang dah kangen? ;3

Hehehe, terimakasih untuk semua yang sudah mendukung thor di kolom komentar ataupun di papan notif Baakaneko >_<)

Neko udah agak baikan kok, tinggal dikiitt lagi sembuh total.

Terimakasih juga untuk semua yang sudah bersabar menunggu kelanjutan UWMA.
Kesabaran kalian terbalas sekarang, seneng nggak? OwO)/

Oke kalau gitu, thor udahin aja nih pesen singkat.

Stay healthy and stay tune, semuanya ^o^)9

================

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro