28. DETIK TERAKHIR
Tiga babak terlalui. Kini masa istirahat akan usai.
Bertepatan dengan Abraham yang kembali memberi pengarahan pada kelima pemain yang akan bertanding di lapangan, Haura mencuri-curi pandang ke arah papan score yang ada di seberang. Tertera angka sembilan dan enam, dengan Spendanta yang memimpin tiga point.
"Nomor punggung tiga belas bahaya. Saya bakal percayain dia ke Winola. Lari ke mana pun, kejar, ya. Jangan sampai ada peluang buat pegang bola. Buat yang lain ... defend yang bagus. Satu lengan, jangan lupa. Pemain kita udah ilang satu soalnya. Terakhir, offense .... "
Pandangan Haura terputus. Ia menoleh lalu melekatkan atensi pada Abraham.
"Udah saya bilang, jangan bergerombol. Buka. Lima di luar. Masa terus-terusan lupa, sih?" ujar Abraham emosi. "Apa perlu wajah kalian saya guyur air minum dulu, hah? Biar sadar dan enggak ngantuk di lapangan." Ia berkacak pinggang, menelisik wajah kedelapan anak yang berdiri mengelilinginya dengan mata memicing tajam.
Bisikan demi bisikan mulai mengudara setelahnya. Berkelindan bersama gentar yang lebih dulu merasuk ke kepala. Oleh karena senyap yang tercipta, Abraham memilih menarik napas dalam.
"Inget kata-kata saya barusan. Kalau sampai ada yang lupa, saya enggak akan segan buat siram wajah kalian. Ngerti?" tekan Abraham.
Detik berikutnya, tangan Abraham terulur ke depan. Tanpa menunggu perintah, delapan anak yang berdiri mengelilinginya pun turut melakukan hal yang serupa.
"Spensaka, bisa!" Sorakan itu mengudara bersama kesembilan tangan yang menghempas ke atas secara serentak.
Saat lengkingan panjang peluit kembali terdengar, kerumunan itu pun merenggang. Satu per satu tubuh menjauh, lima masuk lapangan dan tiga mendudukkan tubuh di kursi cadangan selagi tubuh Abraham bergerak menjauh. Mencari posisi strategis bagi dirinya 'tuk dapat mengamati pergerakan di lapangan.
Pertandingan diawali dengan serangan ke arah kanan oleh Spendanta. Detik demi detik pun terlewati dengan decak sebal dari anak nomor punggung tiga belas oleh sebab dirinya yang tak bisa mendekati sang pemegang bola barang sedikit pun, saking ketatnya Winola dalam menjaga. Serupa lalat yang keras hati hinggap di atas makanan, walau sudah diusir berulang kali.
"Fokus, Win. Jangan sampai lengah."
Bertepatan dengan Luna yang membisikkan kalimat itu pada Winola, salah seorang dari tim mereka berlari kencang ke arah depan.
Dia ... Tsania, dengan bola yang entah sejak kapan berada dalam kendalinya. Kecepatannya rupanya tak mampu disamai oleh lawan. Membuat mereka berada dalam ambang panik sekaligus kejut selama beberapa saat.
Senyapnya suasana diriuhkan oleh tepukan saat bola berhasil masuk ring. Setidaknya, meski belum melampaui Spendanta, mereka sanggup mengejar ketertinggalan point.
Tos lekaslekas dilayangkan Luna sekembalinya Tsania ke tempat dia berjaga semula. Di posisinya, anak nomor punggung tiga belas tampak semakin kesal. Entah pada Winola yang meski tidak seunggul pemain-pemain lain, tapi dia tak bisa dianggap remeh soal defend, atau Tsania yang berhasil mencuri peluang.
Lengking peluit kembali terdengar. Sekian detik kemudian, bola masuk lapangan. Dan sama seperti sebelumnya, Spendanta kembali mengkombinasikan berbagai teknik dalam satu gerakan. Lebih ke tarik ulur sebenarnya. Sebab, tidak ada tanda-tanda drive ke key hole setelah sekian detik serangan tersebut dilakukan.
Sampai tiba di mana satu gertakan membuat Zora termundur. Belum sempat ia kembali, sosok yang dia jaga lebih dulu menarik diri. Satu lemparan dari garis three point pun dilakukan. Sial, tepat sasaran.
Tim Spensaka panik karenanya. Bagimana tidak? Tembakan bola yang menurut komentator sempurna, membuat kemenangan semakin jauh dari mata. Sedang waktu telah berjalan satu setengah menit sebelum babak terakhir pertandingan berakhir.
Delapan dan dua belas. Tidak lama setelah angka pada papan skor itu berubah, darah mengalir dari luka Tsania bekas kemarin lusa yang belum mengering sepenuhnya. Ya. Anak itu jatuh di lapangan. Setelahnya, sensasi perih pun menjalar di lututnya oleh karena rusaknya jaringan kulit akibat robekan pada area yang sama.
Tsania meringis, tapi tak sampai menangis. Bahkan tanpa bantuan siapa pun, anak berambut cokelat itu sanggup menggerakkan kakinya ke pinggir lapangan-mengikuti arahan tim medis. Ya. Walau harus sedikit terpincang. Detik berikutnya, Abraham menyeru Haura untuk lekas masuk lapangan.
Posisi offense Spensaka berubah total. Zora yang mulanya menempati posisi belakang, kini bergeser ke depan, menggantikan Tsania. Karenanya ... pergerakan mereka menjadi terhambat. Pun tak berjalan baik.
Amanda, dia ... kembali dalam sikap egoisme karena menganggap sudah tidak ada lagi anak yang dapat ia percaya, selain Luna. Haura pun dibuat merasa bodoh karena dirinya seakan tak dianggap ada. Bata beserta tujuh anak laki-laki lain pun turut dibuat geram.
"Jangan maksa, Am. Tenang," tutur Luna di satu kesempatan tatkala lay up Amanda gagal karena mendapatkan block lawan.
Mungkin karena Amanda yang mulai stres karena ledakan ambisinya yang lahir karena tekanan untuk menjadi pemenang makin tak terkendalikan, Amanda memutus pandang. Tampak tak begitu acuh.
Setelahnya, dalam setiap serangan yang dilakukan oleh Spensaka, didominasi oleh Amanda. Amuk tak tertahan pun diledakkan oleh Abraham akibat perilaku impulsif Amanda. Namun, lolong demi lolong yang diberikan-baik secara baik-baik ataupun membentak, tidak diindahkan. Amanda masih saja tebal telinga.
Amarah Abraham memuncak. Ia hendak menitah Radista untuk duduk di kursi tunggu demi melakukan pergantian pemain. Namun, belum juga suaranya keluar, ricuh telah mengudara bersama pekik sakit dari Amanda.
Haura dibuat terpaku. Perbendaharaan kata dalam lidahnya lesap bersama terburainya fokus yang ia miliki. Begitu tubuh Amanda dibawa menjauhi lapangan, sesak mengisi ruang dalam dadanya. Di sana, rasa cemas turut berebut tempat.
Haura meneguk ludah. Sekarang ... bagaimana mereka bisa mengejar ketertinggalan point, jika pemain unggul Spensaka ... hilang?
Di lain sisi, Tsania yang telanjur sebal karena kapas dan hansaplas yang sukar menempel, membuang dua benda itu cuma-cuma ke tanah, lalu menerobos masuk ke lapangan. Kemudian, ia menetralkan napasnya yang berderu hebat sebelum memberikan tepukan lembut di pundak Haura ketika mendapati raut cemas di sana.
"Tenang. Selama quarter empat belum berakhir, kita belum kalah. Siapkan dirimu. Delapan menit terakhir, kita bakal habis-habisan."
Riuh dalam pikiran Haura terurai. Awan kelabu yang sempat menyelimuti hatinya pun lesap, terganti oleh pendaran sinar yang membuat asa kembali terukir di sana.
Tak lama setelah Tsania menjauh. Haura mengangkat pandangan. Tatapan anak itu menajam bersama tekad yang mulai membenam dalam hatinya. Menggelorakan semangat yang mulanya sempat padam dilahap cemas akan suatu hal yang belum tentu terjadi pada mereka.
Kalah.
"Kalau mereka bisa three point, kita juga harus bisa. Percaya sama aku. Ini bukan akhir dari kita." Itu kata Tsania dan ia bersungguh-sungguh pada ucapannya.
Bola itu melambung setelah sekian detik lamanya berpindah kuasa dari tangan ke tangan. Haura sendiri terkejut. Pasalnya, titik sang empu bola berdiri ... berada di garis three point. Dari apa yang dia tahu, satu-satunya anak yang dapat melakukan tembakan jarak jauh itu di Spensaka, ya, hanya Amanda. Namun, ini ... Tsania?
Haura lekas mendesak anak yang menjaganya agar ia bisa bergerak mendekati ring, berjaga-jaga apabila bola tersebut gagal masuk. Namun, dia justru berakhir tercengang karena tembakan Tsania tepat sasaran.
Tepukan mengudara. Dia mendengkuskan napas lega, lalu menatap Luna yang tadinya juga bergerak mendekat. Anak itu juga sama leganya dengan dirinya.
Haura akui. Tsania cukup berani dalam mengambil konsekuensi kehilangan kesempatan menguasai bola dengan tak menghiraukan perintah Abraham di pinggir lapangan untuk tidak melakukan three point.
Entahlah, Haura sendiri tidak tahu itu benar-benar kemampuan Tsania atau sekadar keberuntungan. Yang jelas, jika saja tembakan Tsania gagal masuk dan jatuh ke tangan lawan, Abraham pasti akan marah besar.
"Enggak apa, kita menang setengah bola. Tinggal dua puluh lima detik. Ulur waktu kalau bisa."
Perkataan pelatih tim lawan membuat resah kembali timbul di hati Haura, setibanya ia di lapangan seberang.
Benar juga, batin Haura.
Mereka telah tiba di penghujung pertandingan, dan tim Spendanta masih memimpin point. Lantas yang menjadi pertanyaan ialah apa mereka bisa mengejar ketertinggalan angka, sedangkan bola kini berada di bawah kendali Spendanta. Mereka sudah pasti akan mengulur waktu yang ada, 'kan?
"Tetep fokus. Jangan sampai ada yang foul. Kalau bisa rebut bola. Itu satu-satunya peluang buat kita."
Lagi, ucapan itu datang dan membantu Haura lepas dari ketakutan yang dia ciptakan. Bedanya bukan dari Tsania, tapi Luna.
Helaan napas pelan Haura loloskan sekadar untuk menenangkan diri. Lalu fokusnya pun kembali tertuju pada pertandingan.
Baginya, detik terakhir menjadi penentu. Kerja keras tidak selalu menjanjikan kemenangan kepada mereka yang menginginkan. Hasilnya kadang berkhianat, sebab keberuntungan ikut mengambil peran. Entah kali ini akan berpihak pada siapa. Spendanta atau Spensaka? Tak ada yang tahu.
Jika belum menjumpai akhir, maka belum berakhir.
Semua orang berhak mengusahakan yang terbaik demi mencapai hasil yang terbaik pula. Baik Spendanta yang sengaja mengulur waktu atau Spensaka yang mencoba 'tuk optimis di tengah bayang-bayang akan kekalahan mereka. Kemenangan akan berpihak pada pihak yang tidak menyerah, katanya, dan mereka-terutama Luna, ingin membuktikan bahwa itu benar adanya.
Saat waktu tersisa lima belas detik, bola yang menjadi fokus seluruh anak berhasil dikuasai Luna. Perempuan itu berlari ke depan dan entah karena apa ... kaki Haura tergerak 'tuk mengikutinya. Bahkan, tubuhnya mampu melampaui posisi Luna. Lalu, lewat sudut mata, Haura melihat lawan mulai berlari mengikuti mereka.
Bola berpindah, terlempar ke arahnya. Haura membolakan mata kemudian menangkap benda tersebut dalam genggam erat kedua tangan, meski sempat gemetar selama beberapa saat.
Tatap demi tatap pun tertuju ke arahnya. Haura mengatupkan bibir. Dia memusatkan pandangan ke papan dan menghentikan langkah sebelum melempar tembakan ke sana.
Tiga detik.
Dua detik.
Satu detik.
Senyap yang tercipta ... pecah oleh lengkingan panjang peluit di udara.
---
July 04, 2022.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro