Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

27. BABAK FINAL

"Besok kita ketemu lagi sama Spendanta. Aku minta kerja samanya, ya. Terutama Amanda."

Riuh berupa sorak semangat dari supporter tim basket SMA-baik tengah atau yang akan bertanding, mengisi tiap sudut lapangan sehingga menjadi pengantar suara Luna saat berbicara. Gerakan tangan dan mulut ketujuh anak perempuan pun dibuat terhenti. Tatap demi tatap sejenak mereka tujukan pada Luna yang mengedarkan pandang.

"Jangan maksa main sendiri. Percaya sama temen. Kita ini tim. Kalau secara internal aja pecah, kerja sama bakal sulit buat berjalan. Kalau sampai kayak gitu ... kita bakal semakin jauh dari kata menang."

Luna menghela napas. Pandangannya jatuh pada Amanda. "Aku akui kamu unggul, Am. Tapi, tanpa tim-Haura, Zora, dan yang lainnya, kamu bukan apa-apa. Jangan sampai sikap otorisasi serta ingin mendominasi yang kamu miliki karena gak percaya sama kemampuan anak-anak lain menjadi boomerang bagi tim.

Aku ngomong gini bukan karena enggak suka atau kontra sama kamu, ya, Am. Sebagai kapten tim, aku pengen hubungan dalam tim berjalan baik. Inget, ini bukan sekadar latihan atau sparing lagu, tapi ... final. Selain itu, aku enggak mau kamu kehilangan kendali karena terlalu menuntut diri. Kalau sampai terjadi ... enam puluh persen bakal berantakan," tutur Luna dengan nada rendah dan menekan.

"Karena apa?" Luna menaikkan satu alis, belum sepenuhnya selesai dengan perkataannya. "Setiap manusia itu punya batas. Jangan karena kamu yang pengen melakukan semua sendirian, kamu jadi capek duluan. Kenyataannya, terlalu nge-push diri sendiri itu juga enggak baik, Am. Ya. Walau kamu merasa mampu.

Ingat kalau selalu ada hal yang terjadi di luar perkiraan dan kendali kita saat final. Terlalu maksa bisa hancurin kamu, Amanda, dan memberi penghakiman-alih-alih semangat dan dorongan untuk berusaha dengan cara baik-baik pada anak-anak lain, itu bakal mecah pelah kita. Aku enggak mau di hari di mana kita seharusnya bersatu, kita malah berselisih."

Lalu, Luna memindai sekilas wajah seluruh anak.

"Aku harap kalian bener-bener ngerti sama apa yang aku omongin tadi. Terakhir, soal ucapan Amanda yang isinya: diminta percaya, tapi mereka enggak ada usaha buat jadi sosok yang dipercaya, aku pikir kalian cukup pinter untuk memahami maksudnya apa ....

Jangan gampangin segala hal. Niat tanpa aksi itu ... percuma. Kalau kalian menginginkan sesuatu, harus ada usaha. Jangan cuma diam terus ... biarin orang lain yang raih itu buat kalian. Merugikan. Aku ingin kita bisa saling mengandalkan. Pun bisa diandalkan. Lebih dari itu, aku ingin kita sama-sama mengusahakan yang terbaik demi mencapai kemenangan."

Sebelum benar-benar memungkasi ucapannya, Luna tersenyum, kemudian berkata, "Sekali lagi, aku minta kerja sama, ya. Ini enggak hanya buat aku, tetapi, kita, Spensaka. Kejurkab tahun kemarin kita memang kalah dari mereka. Tapi, untuk O2SN tahun ini, aku harap gak. Anak laki-laki boleh kalah. Kita jangan sampai. Oke?"

***

Babak final O2SN bola basket putri jenjang SMP tahun 2019 dimulai tepat pukul setengah delapan. Pertandingan diawali dengan perebutan juara tiga antara Spenkastra dan Spenduta. Empat kali sepuluh menit-waktu bersih, di mana waktu akan dimatikan pada saat bola mati, time out, dan free throw.

Stamina betul-betul diperlukan di sini. Dalam final kejuaraan, tidak jarang ada pemain utama yang terus dipertahankan-tak diganti, selama beberapa quarter. Ya ... asal masih terlihat cukup kuat dan tak mengalami cidera. Beda halnya jika telah mencetak foul empat kali. Meski murni kesalahan pribadi, jika nama mereka telah masuk dalam jajaran pemain unggul ... sebisa mungkin akan dipertahankan. Entah sebatas kalimat peringatan ataupun skorsing dengan tak lagi melibatkannya dalam pertandingan selama beberapa saat. Mungkin ... mereka baru muncul lagi menjelang detik-detik akhir.

Lengkingan peluit mengudara bersama gelora kemenangan Spenkastra. Tubuh demi tubuh tampak saling mendekap sebelum memberikan jabat tangan tanda pertandingan betul-betul diakhiri dengan cara yang baik-baik tanpa adanya percikan api atas emosi antar pemain yang mungkin-tanpa sadar, terbentuk sepanjang pertandingan berlangsung.

Tak lama sejak Spenkastra berselebrasi di bawah tenda, mereka pun menjauh meninggalkan jejak-jejak bahagia di udara yang lantas menjadi tempat bagi tim Spensaka bernapas. Begitu riuh bahagia lesap dari pendengaran, desir gugup pun menyelinap di hati setiap anak. Deru napas yang dipaksa teratur dan gemetar yang lamat merambat di tungkai sekaligus telapak tangan cukup menggoyahkan keberanian mereka selama beberapa saat.

"Hari ini rame banget, ya," tukas Zora di sela-sela kesibukannya menata kardus air mineral sebelum mengoper tas miliknya pada Malik dan Rafael yang duduk di belakang tenda.

"Iya, lah. Spendanta kan bawa supporter empat mobil travel. Kepala sekolah dan beberapa guru juga datang. Belum lagi, alun-alun, kan, sarangnya anak Spenduta." Luna membalas selepas menghela napas panjang dan memegang dada tempat jantungnya berada.

"Kenapa, Kak? Deg-degan?" timpal Vanda.

"Dikit."

"Terus ... kenapa enggak balik aja, coba? Kalau diliatin orang banyak, aku, kan, jadi nervous. Lagian, ini lomba basket atau adu supporter? Niat banget bawa supporter satu sekolah." Zora menggerutu sebal seraya bersidekap dada.

"Ya ... tadi pasti sengaja dibolosin buat jadi supporter. Udah kelar trabas ae, lah! Mereka bolosnya nanggung banget cuma satu jam." Kemal berjalan mendekat lalu memberikan bola basket dalam genggamannya pada Luna dengan lemparan dada.

"Kalau aku, sih, sampe pulang sekolah," tambahnya.

"Duh ... jangan dengerin Kemal. Apalagi mencontoh. Sesat dia."

"Udahlah, namanya juga final. Udah biasa kalau ramai kayak gini. Kalau enggak gitu, enggak seru," balas Tsania. "Iya, kan, Ra?" Dia menyenggol lengan kiri Haura dengan siku kanan kemudian mulai menggerakkan kedua alisnya serupa ulat bulu di permukaan daun. "Kenapa diem aja? Sariawan, ya?" kelakarnya.

Haura tersenyum tipis. Dia memutus pandang lalu memejam dan menghela napas pelan. Mencoba untuk sedikit menguraikan ragu sekaligus cemas yang kembali bersambang di hatinya sejak kali pertama dia menjejaki area dekat lapangan. Lalu saat tenang berhasil ia dapat, Haura kembali menggumamkan ucapan yang diberikan Luna padanya kemarin siang.

Kamu enggak seburuk apa yang kamu pikirin. Yakin kalau kamu bisa lebih dari kemarin dan hari ini. Hanya perlu fokus dan percaya diri, batin Haura. Kedua telapak tangannya yang merenggang kemudian menggenggam erat menunjukkan bulatan tekad yang perlahan mengisi ruang dalam dadanya.

Bersamaan dengan mengalirnya tegukan ludah di kerongkongan, Haura mendapati tubuh ketujuh anak mulai bergerak menjauhi tenda-menuju ke lapangan. Bukan untuk memulai pertandingan melainkan untuk berlatih. Pertandingan sendiri baru dimulai tiga menit setelahnya.

Luna berdiri di titik tengah, menghadap pemain nomor empat belas yang posturnya sedikit lebih tinggi darinya. Saat wasit meletakkan bola di antara badan keduanya, tim lawan, Luna, beserta keempat teman satu timnya-tak termasuk Haura, mulai melakukan kuda-kuda.

Tak lama, lengkingan peluit menggema di udara. Bola melambung, dan tangan tim lawan lebih dulu menggapainya. Kuasa yang diberikan oleh sang empu tangan membuat benda bulat tersebut melesat cepat ke arah selatan-tepat jatuh ke genggaman pemain nomor dua puluh delapan. Lincah gerakannya pun tak mampu ditandingi oleh Zora. Detik berikutnya, saat masa belum menginjak detik kelima, Spensaka sudah kebobolan dua point.

Haura meneguk saliva, susah payah. Dirasakannya kedua lutut yang mulai melemas. Tekad yang semula tergenggam erat, kini berhamburan bagaikan serbuk bunga dandelion yang tertiup angin kencang.

"Belum apa-apa, tapi udah kebobolan? Spendanta ... enggak laki-laki, enggak perempuan, makin ngeri aja."

Perkataan tersebut mengalir dari mulut Chan di sela riuh tepukan tangan dari supporter Spendanta yang agaknya memadati hampir setiap sudut lapangan.

Manik Haura lekaslekas tertuju pada Amanda. Ia menghela napas sembari mencoba untuk menyelami ekspresi perempuan itu. Meskipun bibir merah mudanya mengatup rapat, Haura bisa merasakan adanya percikan amarah lewat tautan alisnya yang semakin menukik.

Wasit menunjuk ke arah utara. Tiga anak dari tim Spensaka-yang lantas diikuti Luna pun mulai mencari tempat selagi Amanda memantulkan bola ke lapangan. Netra anak itu awas memindai cepat beberapa titik dan lantas memberikan lemparan dada ke arah Luna.

Aksi dribble, passing, pivot, serta screen guna menghalangi gerakan lawan berulang kali dilakukan demi mencari celah untuk melakukan shooting. Sayang, saat kesempatan tersebut datang, tembakan Luna justru meleset.

Beruntung Zora berhasil mengambil rebound. Tanpa menunggu perintah ia mengoper bola tersebut pada Amanda yang telah berada di titik tengah pada garis three point. Embus napas pelan mengalir selagi bola di tangan Amanda berdentum menyapa bumi. Lalu, bersama dengan Tsania dan Luna, ia pun melakukan serangkaian gerakan tipuan dengan menerapkan pola yang telah diajarkan Abraham.

Saat kesempatan untuk mencetak point datang, Luna mulai memantapkan langkah. Dia bergerak mendekat, lalu bersiap tuk menembakkan bola ke papan. Sayang, secepat-cepatnya Luna bergerak ... lawan rupanya lebih cekatan dalam melakukan block. Bola berpindah kuasa, tanpa jeda digiring oleh sang empu bole ke ring selatan.

Vanda mengejar, ia berlari tak kalah cepat. Namun, karena posisi tubuhnya yang tak menguntungkan-belum lagi kelalaian yang dipicu oleh buncahan rasa panik, Vanda justru berakhir mendapatkan foul.

Foul pertama di menit ketiga. Empat lagi. Jika Vanda kembali melakukan kesalahan, ia akan dikeluarkan dari arena pertandingan.

Sedangkan di bangku cadangan, Haura menahan napas sejenak dan mendesah penuh gusar. Lalu, dia mulai memilin jemari tangan saat mendapati Amanda mendecak rendah dan semakin tajam saja memandang sekitar. Baik lawan maupun kawan agaknya sama saja di mata perempuan itu.

---

June 27, 2022.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro