Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

26. PERCAYA DIRI

Kemenangan Spensaka pada babak penyisihan, menghantarkan kedelapan anak di sebuah situasi di mana mereka harus berhadapan dengan Spenkastra-tim yang tiga tahun terakhir selalu menempati urutan ketiga dan kedua.

Dari apa yang pernah Salma ceritakan sebelumnya, Spenkastra mempunyai pemain legenda dengan nomor punggung tujuh. Nurma, namanya. Dia masuk ke dalam jajaran pemain terbaik yang memiliki skill setara dengan Salma sendiri. Bedanya, perempuan itu pernah menjadi delegasi kota untuk tim basket provinsi.

Ya. Dilihat dari segi manapun, Nurma jelas lebih unggul daripada Amanda. Haura ingat dengan jelas meski ia tak berhadapan dengan mereka saat Kejurkab. Keberadaan Nurma betul-betul dianggap sebagai ancaman oleh tim lain. Dia diincar, dijaga ketat. Beruntungnya, tahun ini Spensaka tak perlu memusingkan soal Nurma, sebab sebagai siswa yang duduk di bangku kelas sembilan, perempuan itu sendiri telah purna tugas.

Beda halnya dengan babak penyisihan kemarin, hari ini Spensaka mendapat giliran untuk bertanding paling awal sekitar pukul setengah delapan pagi. Meskipun tim putri Spensaka tiba empat menit sebelum pertandingan dimulai, mereka tetap sanggup mengejar ketertinggalan dalam streching dan latihan uji coba lapangan. Ya. Meski beberapa anak ada yang tak bersungguh-sungguh oleh sebab tergesa dan diburu waktu saat melakukannya.

"Salah sendiri berangkat siang." Embun pagi belum sepenuhnya memudar dari pandangan dan gerutuan sebal Amanda sudah mengudara bersama sejuk yang menyelimuti alun-alun kota.

"Harusnya kita sampai di sini jam tujuh pagi, tahu? Buang waktu aja. Kalau kayak gini, kan ... enggak bisa maksimal streching-nya. Kalau nanti cidera ... gimana? Jangan nyusahin orang yang udah on time, dong, aih! Aku juga yang susah kalau ada apa-apanya. Kesannya kayak nyepelein banget. Untung, ya ... telatnya enggak sampai setengah delapan. Bisa kena diskualifikasi kita!" tambah Amanda seraya membenarkan ikat rambutnya di tenda depan. Manik hitamnya sesekali melirik ke arah tenda panitia.

Pelatih serta beberapa orang penting lain kini tengah sibuk bercengkrama di sana. Tak lama, kerumunan itu pun merenggang begitu wasit telah turun ke lapangan sambil melengkingkan peluit tanda pertandingan akan segera dimulai.

"Bukannya nyepelein," balas Luna. "Namanya juga musibah. Gak ada yang tahu pasti kapan datangnya. Kamu tahu sendiri, 'kan? Tadi sepeda punya Radista tiba-tiba bocor di tengah jalan. Jadi, harus nunggu tebengan atau jemputan dari orang lain."

"Terus kamu pengen aku gimana?" Seraya bergerak menuju tengah lapangan, Amanda mendecak sebal dan memandang Luna sengit.

"Nih, ya, Lun, dengerin aku. Kalau aja tadi sebelum berangkat, Radista cek kondisi sepedanya-masih baik atau enggak, dan bela-belain buat berangkat lebih awal, dia gak bakal telat datang ke sekolah. Aku yakin banget, Lun. Udah tahu anak Spensaka di sana itu jarang, cuma dua atau tiga orang. Masih aja ambil konsekuensi telat dengan berangkat mepet jam yang udah kita sepakati bersama." Amanda mengomeli Luna habis-habisan.

"Udahlah," sahut Tsania, segera setelah ia mengembuskan napas kasar-berniat menengahi Amanda dan Luna. "Meski baru terjadi pagi ini, tapi itu udah jadi masa lalu, kali. Berantem enggak bakal bikin kita yang nyaris telat jadi datang tepat waktu, pas jam tujuh, Amanda. Sekarang kita fokus aja sama lomba."

Tak ada balasan dari keempat anak yang melangkah beriringan bersama Tsania. Agaknya, mereka sepakat untuk mendengarkan ucapan Tsania agar fokus pada perlombaan. Begitu salah seorang dari mereka yang memiliki postur tubuh tertinggi mengambil posisi di tengah lapangan sebagai jump ball, Tsania dan ketiga anak lain mulai bersiap di posisi mereka masing-masing.

Di lain sisi, Haura yang duduk di bangku cadangan bersama Winola dan Radista mulai mengembuskan napas kasar seraya memilin jemari tangan perlahan.

Lagi, cemas membaur bersama ragu yang kembali mengerat dirinya hingga menghambat langkah yang akan Haura ciptakan. Saat tiba gilirannya bertanding, satu menit, dua menit, tiga menit, empat menit, lima menit-bahkan sampai lima belas lamanya di mana satu quarter lebih dihabiskan tanpa adanya capaian point darinya yang berarti-fokus belum juga berhasil Haura dapatkan. Pikiran anak itu rupa-rupanya tengah berkelana tanpa akhir yang pasti sedangkan sangsi telah merajai emosi dalam dirinya.

Tak ada bedanya dengan hari kemarin. Semua yang tertangkap oleh mata Haura hanyalah wujud orang-orang yang melesat cepat bak bayangan yang tidak sanggup ia imbangi kecepatannya. Lalu, riuh yang mengisi ruang dalam kepalanya membuat teriakan yang dilontarkan oleh Amanda lenyap bagaikan lukisan pada pasir pantai yang dihapus oleh gelombang air.

Lengkingan panjang peluit memecah senyap sekaligus ketegangan yang menyelimuti lapangan sejak quarter empat dimulai. Setelahnya, ganti sorak sorai bahagia atas kemenangan tim basket putri Spensaka-oleh tim putra yang menjadi supporter mereka di pinggir lapangan-yang merebak ke telinga bersama jabatan demi jabatan tangan yang diberikan oleh satu per satu anak dari tim putri Spensaka kepada tim lawan.

Walau kemenangan berhasil diraih, tetap saja ada raut kesal yang tersemat di wajah salah satu dari mereka. Ya, Amanda. Sekembalinya anak itu di tenda, tatapan sengit terang-terangan ia tunjukkan pada Haura.

"Di sini jangan cuma numpang eksis aja, dong. Apalagi ikut lomba cuma buat dapat A mata pelajaran olahraga di rapot." Amanda menyindir sembari mengemas hoodie dan tas ransel miliknya. Lalu Amanda berlalu begitu saja dari hadapan Haura. Tidak begitu acuh dengan respons ataupun apa yang sekiranya akan dirasakan oleh Haura.

Luna yang kebetulan mendengarnya hanya mengembuskan napas pelan sebelum merangkul pundak Haura, tersenyum, dan membawanya menuju titik di mana Abraham telah duduk bersila, dengan Bata serta belasan anak lain yang mulai mendudukkan tubuh di sekitar sana.

***

"Aku lihat, dari babak penyisihan kemarin ... kamu kurang fokus, Ra."

Luna menyandarkan punggungnya ke bangku taman. Tanpa menoleh, dia membuka tutup botol air mineral dan meneguk isinya beberapa kali. "Kenapa? Apa ada sesuatu yang ganggu pikiran kamu?" tanya Luna lagi.

Begitu mendapat pertanyaan itu dari Luna, Haura terpaku di tempat. Dia yang hendak membuka bungkus permen karet seketika menghentikan gerakan jari-jemari tangannya dan justru meneguk saliva sekali. Cukup lama ia terdiam. Hingga helaan napas Luna merebak lembut di telinga.

"Tahu gak, Ra? Selama ini, bukannya aku pura-pura gak tahu atau sengaja biarin apa yang aku tahu biar enggak ngeribetin diri sendiri. Bodo amat, lah, kasarannya. Tapi, aku merasa kalau main kamu nggak maksimal. Rasanya kayak ada sesuatu yang nahan diri kamu buat berusaha lebih ... dari dalam," ucap Luna, dengan sebisa mungkin menjaga intonasinya agar tak menyinggung Haura.

"Jujur aja sama aku, Ra." Luna melekatkan pandang pada Haura yang belum juga membalas tatapannya. "Kenapa? Kamu ... takut, ya?"

Lagi, Haura meneguk saliva, kali ini diikuti oleh kerjapan cepat. Setelah helaan napas panjang terdengar darinya, suara Haura pun terdengar, "Dikit, Lun." Kemudian, dia menaruh atensi-sepenuhnya, pada Luna.

"Boleh tanya enggak, Lun?"

"Apa?"

"Apa aku bener-bener enggak berguna?"

Luna pun dibuat mematung oleh pertanyaan yang tak pernah ia sangka akan bertandang ke telinganya.

"B-bentar, Ra," sela Luna. "Maksud kamu apa nanya kayak gitu?"

Bukannya menjawab, Haura justru mengatakan, "Aku cuma ngerasa kalau di antara kalian ... cuma aku yang tertinggal, cuma aku yang lemah, dan cuma aku yang enggak bisa kasih apa pun. Bahkan ... Vanda, Winola, Radista, sama Zora, mereka lebih baik dari aku. Aku ngerasa gagal, Lun."

Dengkus napas berat lolos dari bibir Luna yang sedikit terbuka. Sejenak ia membuang pandangan ke arah lain sebelum mengusap kasar wajah, lalu kembali menelisik raut Haura yang entah sejak kapan berubah sendu.

"Ra, jangan bilang kalau ini juga berhubungan sama alasan kamu pengen keluar dari basket, selain karena perkataan Amanda waktu sparing?" Luna tidak butuh anggukan tuk dapat mengetahui benar atau tidaknya pertanyaan yang ia layangkan. Diamnya Haura sudah cukup memberinya jawaban yang jelas.

"Please, ya, Ra. Sedikit pun, kamu jangan mikir kalau kamu gak berguna di Spensaka. Kita ini tim. Tiap anak punya peran masing-masing. Bagiku, kita cuma harus bekerja sama dan saling menyesuaikan, serta mengisi kekurangan satu sama lain." Luna sedikit memberi tekanan di beberapa kata terakhir.

Dengan pandangan tertuju ke arah lapangan, Luna menarik napas dalam, kemudian berkata, "Satu lagi. Jangan pernah ngomong kalau kamu gagal, Ra, sebab bagiku ... gagal itu kalau kalau kamu berhenti mencoba, milih menyerah di tengah jalan, serta lari dari tanggung jawab. Ini cuma perkara waktu. Mungkin emang belum waktunya bagi kamu 'tuk bersinar. Di balik itu ... kamu masih harus sering latihan. Lalu, satu yang terpenting: memurnikan hati dari segala perasaan negatif yang ... jika dibiarkan membenam, bisa menimbulkan banyak masalah bagi diri sendiri ataupun orang lain."

Luna kembali menoleh. "Tau aku bicara soal apa?" tanyanya. "Sifat minder ataupun pesimis yang buat manusia merasa rendah atas apa yang mereka miliki, membandingkan diri sendiri dengan orang lain, serta menganggap bahwa orang lain itu jauh lebih baik. Ya ... sadar atau gak, kamu sebenernya lagi ada di fase itu, Ra.

Coba, deh, dengerin kata aku. Kamu ... gak seburuk apa yang kamu pikirkan. Di antara aku dan Tsania, kamu jadi satu-satunya orang yang cepet kuasain teknik, Ra. Kamu mungkin nggak sadar soal itu karena terlalu fokus sama pencapaian orang lain." Luna menjeda perkataannya dengan embusan napas pelan.

"Semua yang aku bilang barusan, aku harap kamu bisa ngerti. Aku yakin, kamu bisa lebih dari kemarin dan hari ini. Kamu hanya perlu fokus sama apa yang kamu lakuin dan percaya diri. Oke?"

---

June 23, 2022.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro