25. ELIMINASI
"Pertandingan kedua akan dimulai sepuluh menit lagi. Untuk kedua tim, diminta agar segera menempati tenda masing-masing. Spensaka tenda selatan dan Spencakra tenda utara. Terima kasih."
Bersama dengan merebaknya pemberitahuan tersebut ke telinga, Abu datang dan menggiring seluruh anak ke tenda yang telah disiapkan. Lalu lalang anak Spenkastra yang mulanya menjadi penghuni tenda merah itu masih tertangkap oleh mata dan sorak sorai atas kemenangan mereka belum juga mereda dari pendengaran.
"Kak, tasnya siniin semua. Biar aku yang jaga. Daripada menuh-menuhin tempat."
Dari belakang tenda, Malik dan Rafael mengulurkan tangan. Keduanya meminta delapan anak perempuan yang berada di depan tenda untuk lekas menyerahkan ransel. Haura yang baru selesai melepas hoodie serta mengencangkan tali sepatu pun tergerak untuk memenuhi permintaan mereka.
"Bola, bolanya mana? Tadi siapa yang bawa?" Kini ganti Luna yang bersuara.
Detik berikutnya, speaker yang tadinya hening pun kembali mengeluarkan suara. Bukan pemberitahuan berupa arahan lomba dari wasit ataupun panitia O2SN, melainkan musik yang sengaja diputar 'tuk menetralkan suasana tegang di lapangan. Pun membuncah semangat dalam diri kedua tim yang akan bertanding.
Begitu Luna melisankan pertanyaan yang sama tuk yang kedua kalinya, Kemal datang seraya membawa dua bola basket di tangan. Demi memberikan ruang pada laki-laki berkulit sawo matang itu 'tuk menyerahkan bola basket pada Luna, Haura pun menyingkir. Begitu benda bulat tersebut berada dalam kendali kapten tim basket putri Spensaka, Haura kembali menempati posisinya semula dan memasang telinga pada intruksi yang diberikan Abu.
"Nyoba ring, ya. Ring di sini masih sama kayak tahun kemarin. Cincinnya lebih kecil dari punya kita. Enggak masalah. Asalkan waktu shooting ... kalian betul-betul fokus ke papan. Saya yakin delapan puluh lima persen bakal masuk."
Kemudian, Abu mengarahkan tangan kanannya ke atas, menunjuk ke arah ring basket selatan.
"Kita udah enggak punya banyak waktu lagi," kata Abu. "Sekarang, cepat latihan! Kayak biasa, ya. Lay up, under ring, kalau waktunya pas, ya ... free throw."
Haura pun mengangguk, meski wajahnya menampilkan raut yang bertentangan-sarat akan keraguan, pun rasa takut dan ketidakpercayaan. Di bawah sana, tangannya mulai bergerak gelisah. Jari-jemarinya pun mulai saling memilin selagi netranya mencuri pandang ke arah lain, memindai wajah setiap anak yang berdiri melingkar di sekitar sana hingga tatapannya pun jatuh pada Tsania.
Kernyit serta tautan alis yang Haura lihat pada wajah anak perempuan berambut coklat nan bergelombang itu 'tuk yang terakhir kali-sebelum sosoknya bergerak ke arah lain, mempertegas hasrat kemenangan yang ia yakini telah membenam sejak lama di dalam diri Tsania.
Mimik jenaka yang biasanya tersemat pada wajah Tsania pun kini sepenuhnya terkikis oleh raut serius yang kelewat jarang ia tampilkan. Lain halnya Haura. Jangankan serius, sejak kali pertama ia menginjakkan kaki ke lapangan, fokus sama sekali tidak bisa ia dapat. Dia terus mengerjap sembari membasahi bibirnya yang mengering-berulang kali. Barangkali dengan demikian, pikirannya bisa kembali terarah pada pertandingan, tapi ternyata tidak.
Lengkingan panjang peluit merebak ke udara, beradu dengan partikel-partikel debu yang menyebar dari arah jalan raya. Lalu, dentum speaker yang berasal dari tenda panitia lesap dari pendengaran. Digantikan oleh intruksi tegas dari panitia agar kedua tim lekas lekas kembali ke tenda masing-masing, pun meninggalkan lima pemain pertama di lapangan-apabila telah menuntaskan sesi foto bersama.
"Karena mas Abraham belum datang, saya yang akan jadi pengarah kalian. Anak yang pertama main itu .... " Abu mulai memindai tiap wajah yang tertangkap oleh retina matanya, dengan jari-jemari tangan menunjuk satu per satu dari mereka.
"Luna, Amanda, Tsania, Zora, sama ..., " ucap Abu menggantung. Lalu, pria berusia empat puluh satu tahun itu mengernyit seraya mengerling ke arah Bata.
"Biasanya siapa, ya, Ta?"
"Kalau enggak Haura, ya, Vanda, Pak."
"Ah ... oke. Kalau gitu ... Haura aja. Siap, kan, ya?"
Haura terpaku merasakan kejut yang tiba-tiba saja menyeruak dalam dada. Bahkan tanpa mengangkat pandangan, ia bisa merasakan tatapan demi tatapan mulai tertuju ke arahnya.
"Siap enggak siap. Namanya lomba juga harus siap."
Untuk yang pertama kalinya sejak tim Spensaka tiba di lapangan alun-alun kota, Amanda bersuara. Walau dengan mimik wajah ketus yang entah kapan pudarnya. Haura sendiri, meski ragu dia tetap mengangguk. Sedikit pun tak merasa telah dirampas haknya oleh Amanda tuk bicara. Toh, perkataan anak itu memang benar. Lagipula menentukan siapa yang akan bermain pertama itu juga wewenang Abu sebagai pelatih. Ya ... meski posisi lelaki berusia empat puluh satu tahun itu hanya sementara. Sekadar pengganti Abraham selagi pelatih muda itu belum menunjukkan batang hidungnya di lapangan.
Pertandingan antara Spensaka melawan Spencakra dimulai saat gema peluit wasit melengking bersamaan dengan melambungnya bola basket di tengah lapangan.
Kedua tim-baik Spensaka ataupun Spencakra, berusaha sebaik mungkin dalam menyerang dan mempertahankan base masing-masing agar tidak kebobolan point.
Amanda, sebagai pemain kecil yang biasa diposisikan di depan, dia bergerak cepat tuk menghentikan pergerakan lawan. Tidak hanya Amanda, Tsania dan Luna juga siaga dalam menjaga serta membantu anggota yang lain jika ada di antara mereka yang kewalahan.
Begitu pun Zora, walau tak semendominasi mereka. Perempuan pemilik tubuh kurus dengan tinggi sedang itu paling banyak mendapatkan rebound. Selain karena kelincahan dan kecekatannya, tapi juga karena sikap tak mau kalah yang dia miliki. Tidak dengan Haura. Lagi-lagi, entah untuk yang ke sekian kalinya, ia kembali menyulut emosi dalam diri Amanda.
"Haura, fokus!"
Amanda melantangkan bentakan tepat di muka sang empu nama. Deru tidak teratur berulang kali terdengar saat ia mencoba mengatur napas. Sayang, hal tersebut tak juga membuat pikirannya yang melanglang buana sejak pertandingan bermula ... kembali terarah. Fokus Haura bahkan semakin buyar saja. Ketika quarter tiga selesai, tak hanya Amanda yang meloloskan teriakan penuh amarah padanya, tetapi juga Abraham serta beberapa anak laki-laki lain di pinggir lapangan.
"Jangan diem aja kayak orang dungu. Gerak, dong, Ra. Gerak! Nyari tempat! Kalau di-passing ... jangan nunggu bola dateng, Ra, tapi samperin." Kini intonasi suara yang didengungkan oleh pita suara Amanda sedikit lebih keras dari sebelumnya, sampai-sampai dua orang pemain dari pihak lawan yang kebetulan tengah melintas di depan Amanda turut terbeliak karena kaget.
Seperti hari yang sudah-sudah, respons yang diberikan oleh Haura hanya anggukan singkat. Lalu, ia mengerjap lagi, menggigit bibir sembari kembali menciptakan jejak dengan melangkah cepat menuju tempat yang ia yakini merupakan daerah kuasanya saat menyerang. Namun, belum juga kakinya menapak ke sana, lengking peluit tanda pergantian pemain mengudara. Setelahnya, ia mendapat panggilan dari Winola tuk keluar lapangan.
Segenggam botol air mineral menyapa Haura begitu tiba di tenda. Ya, memang benar tangan anak perempuan itu tergerak untuk menerima. Namun, ketiadaan hasrat 'tuk melepas dahaga-bahkan saat kerongongannya sedang kering-keringnya-membuat Haura berakhir termenung di kursi plastik tempat ia mendudukkan diri.
Bak seonggok tubuh yang kehilangan asa, tapi di lain sisi juga disergap gelisah yang masih belum jelas kapan akan sirna. Entahlah, mungkin nanti ketika pertandingan pada babak penyisihan berakhir.
---
June 20, 2022.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro