Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

24. KERJA SAMA

Masa bergulir sedemikian cepat hingga tidak terasa puncak dari segala rasa lelah anak-anak ekskul basket Spensaka atas usaha mereka selama tiga bulan terakhir telah berada di depan mata. Menyapa keenam belasnya dengan tangan sepenuhnya terbuka meski belum dapat dipastikan dekap erat macam apa yang akan diberikan. Entah duka atau justru tangis bahagia.

"Baiklah, ini surat dispensasi kalian. Silakan antar ke kelas masing-masing. Kalau udah selesai, cepat kembali ke sini."

Intruksi Pak Abu menyapa lembut daun telinga. Hening yang disebabkan oleh jam masuk sekolah meminimalisir bising yang selalunya memadati sekolah. Embun-embun pagi pun mulai menipis dari penglihatan, digantikan oleh bagaskara yang lamat menyorotkan kehangatannya dari ufuk timur.

Setumpuk kertas bertuliskan daftar anak yang akan mengikuti perlombaan di alun-alun kota itu pun telah berpindah ke tangan Luna. Setelah memastikan bahwa tiada anak yang belum tertulis di dalam surat dispensasi tersebut, anak bersurai hitam legam dengan ikatan ekor kuda itu mengangguk kemudian memohon pamit untuk pergi bersama kelima belas anak lain.

Di persimpangan jalan, kerumunan tersebut mengurai, berpecah menuju kelas masing-masing-dengan atau tanpa adanya teman yang menemani.

Decit alas sepatu yang bergesekan dengan permukaan lantai menjadi satu-satunya penghantar langkah Haura saat menuju kelas. Begitu sampai di sana, ketukan pelan pada daun pintu diikuti dengan kalimat salam pun Haura berikan. Lalu, dia dibiarkan masuk bersama Tsania untuk menyerahkan surat dispensasi kepada guru matpel yang mengajar--Firdha.

"Semoga hari ini kalian diberi kemudahan dalam bertanding sehingga dapat meraih kemenangan dan sanggup mengharumkan nama baik sekolah."

Begitulah untaian doa yang dipanjatkan Bu Firdha 'tuk mereka--tim basket Spensaka, baik tim laki-laki maupun perempuan-yang lantas diaminkan oleh para penghuni kelas. Haura dan Tsania serempak menipiskan senyuman kemudian mengucapkan terima kasih, sebelum akhirnya pergi ke halaman depan sekolah. Bergabung bersama belasan anak lain yang juga baru kembali dari kelas.

Tak lama deru mesin kendaraan terdengar dari arah gerbang depan. Di detik yang sama, mobil travel warna silver melaju perlahan dan berhenti tepat di muka ruang serba guna.

Kemudian, Abu menyeru Bata dan Chan untuk memasukkan beberapa perlengkapan serta barang kebutuhan tim, misalnya bola basket dan air mineral. Setelahnya, pria berusia empat puluh satu tahun itu meminta seluruh anak untuk merapat ke arahnya.

"Mas Abraham baru aja kirim pesan ke saya kalau dia bakal terlambat. Jadi, kalau kalian udah sampai sana, langsung pemanasan terus lari. Atau kalau enggak, ya, sepuluh items dua sampai tiga kali pengulangan. Buat anak perempuan, meski musuh kalian tergolong baru, tapi jangan nyepelein.

Buat anak laki-laki .... " Jeda tercipta selagi Abu melekatkan pandang pada Bata dan beralih ke Kemal. "Jangan mudah kepancing emosi. Mainnya santai aja."

"Iya, Pak. Siap!" balas mereka serempak.

"Oke, sebelum berangkat ... kita doa dulu."

Abu mendekat, tangannya yang menyilang mulai menggapai telapak tangan dua anak yang berdiri di samping kiri dan kanannya. Tanpa menunggu adanya perintah, belasan anak lain turut melakukan hal serupa.

"Marilah kita berdoa menurut agama dan Kepercayaan masing-masing agar diberi kelancaran serta keselamatan saat di perjalanan ataupun perlombaan. Berdoa mulai."

Hening menyapa. Kini mereka memejam dan menunduk dalam. Larut akan doa yang tengah mereka dengungkan dalam dada.

Sekian detik kemudian, ketika interupsi 'selesai' terdengar dan gumaman pelan di bibir Abu mereda, kelopak mata mereka pun kembali terbuka. Bersama dengan melonggarnya tautan tangan masing-masing anak, tepat sebelum mereka memasuki mobil travel.

***

Dentum musik dari speaker yang memutar lagu Symphony terdengar menggema di seluruh penjuru lapangan dan lantas menyapa pendengaran Haura saat melangkah keluar dari mobil. Perlahan dia mengeratkan pegangan tangannya pada tali tas ransel yang tersampir di pundak seraya mengedarkan pandangan ke lapangan.

Lewat manik mata gelapnya, Haura mampu melihat belasan manusia yang mengenakan jersey kebanggaan sekolah masing-masing tengah berlarian di lapangan-baik melakukan defense ataupun offense. Riuh sorakan dari penonton yang berkumpul di sekitar lapangan pun agaknya tidak kalah meriah dari musik yang diputar.

Sayang, bukannya terpacu, Haura malah menciut. Gerakan mata yang tak terarah dan jari-jemari tangan yang meremas udara kosong adalah representasi dari rasa cemas yang ia rasakan sekarang.

"Kamu kenapa, Ra?"

Pertanyaan tersebut mengalir begitu saja dari mulut Tsania yang baru turun dari mobil. Kemudian, Tsania mengambil alih bola basket yang disodorkan Radista sebelum membawanya pergi mengikuti rombongan. Haura yang semula mematung mau tidak mau ikut mengekor di belakang.

"Deg-degan, ya? Atau ... takut?" Tsania bertanya lagi, dengan sesekali mengerling ke arah Haura yang telah berpindah ke sisi kirinya. "Santai aja kali. Sama-sama manusia, sama-sama makan nasi sama tempe. Jadi ... enggak usah takut, Ra. Beda cerita kalau mereka suka nyamil busi kendaraan, kamu baru boleh ngerasa ciut. Aku, sih, juga takut kalau gitu."

Lalu, Tsania meloloskan dengkus tawa yang lantas dibalas Haura dengan senyum simpul dan anggukan pelan. Ya, meski sebenarnya, Haura sendiri tidak yakin bahwa ucapan Tsania benar bekerja padanya.

Selepas menyusuri jalan setapak yang kanan-kirinya dipenuhi oleh tanaman hijau, Haura akhirnya sampai di sebuah tanah lapang berselimut rumput, serta dinaungi oleh pepohonan rindang yang menghadap langsung ke lapangan basket. Haura menghentikan langkah di sana. Dia berdiri di samping Luna, lalu kembali memusatkan fokus pada pertandingan antara Spenkastra melawan Spengatra yang rupanya baru berjalan tujuh menit.

"Gimana, nih, Lun?"

Suara Bata menginterupsi perhatian Haura. Ia menoleh dan mengernyit mendapati Bata yang berkata, "Kalian mau langsung pemanasan atau nunggu quarter tiga aja?"

"Nunggu aja."

Bukan Luna yang membalas, melainkan Zora. Anak itu meletakkan kardus berisi botol air mineral ke atas tanah, menegakkan punggung, lalu menepuk lembut perutnya yang sedikit menggembung.

"Aku sarapan belum ada tiga puluh menit. Nunggu perut aku nyerna makanannya dulu, lah."

"Ah, ya ... udah," putus Luna. "Kita nunggu. Lagi pula, aku mau lihat mainnya anak Spenkastra. Kalau ada di antara kalian yang pengen pergi ke kamar mandi buat buang air kecil atau apapun itu, silakan. Mumpung ada waktu. Sekalian nunggu pak Abu datang."

Tak lama setelah Luna menuntaskan ucapannya, jarak di antara keenam belas anak basket Spensaka pun merenggang. Tubuh mereka menjauh dan mulai membentuk kelompok sendiri. Meski tak sepenuhnya hilang dari pandangan kedua kapten tim, kecuali tiga sekawan yang memang telah izin ke kamar mandi.

Langkah kembali Haura jejakkan ke tanah. Masih dengan tangan memegang tali ransel, dia bergerak menghampiri Luna yang duduk di bangku dekat lapangan.

Anak perempuan bernetra hitam itu tak sendirian. Ada Chan, Kemal, dan Tsania-yang entah karena apa justru memilih duduk lesehan di atas rumput daripada mengisi kekosongan di bangku kayu yang diduduki Luna. Hingga ruang itu pun akhirnya Haura isi. Bersama keempat anak lain, dia kembali menaruh atensi pada laju pertandingan yang kini telah berada dalam kuasa tim Spengatra.

"Anak-anak Spengatra bocil semua, ya. Kalau nanti ketemu mereka, hajar langsung aja, Lun. Ratain. Kecil gitu, kalah power." Kemal mulai membuka pembicaraan, dengan arah pandang yang sama dengan Haura-masih tertuju ke lapangan. Tak beralih sedikit pun.

"Jangan ngeremehin, Kawan," ujar Chan, lebih ke memperingatkan. "Kecil-kecil gitu mereka cabe rawit, loh."

"Emang iya? Kasian, dong. Kepedesan."

Lewat sudut mata, Haura mampu melihat Chan merotasikan bola mata.

"Bukan gitu, Tsan. Maksudnya ... meski kecil, mereka mainnya bagus. Ya, emang, sih. Mereka gak ada pemain besar. Rata-rata setinggi Vanda. Tapi, kerja sama mereka bagus. Sekarang, eh, bahkan dari dulu juga aku perhatiin kalau mereka mainnya kebanyakan pakai passing. Cepet dan tetep bisa point," jelas Chan.

"Ya ... itulah pentingnya kerja sama dalam tim." Tak butuh waktu lama bagi Bata yang baru datang 'tuk menyelami pembicaraan mereka. Lalu, dia menghela napas, "Lengah dikit langsung kebobolan. Musuh pasti capek dibawa ke sana ke mari. Sekarang lihat aja .... "

Tangan kanan Bata perlahan bergerak menunjuk salah seorang anak perempuan yang mengenakan jersey biru tua. "Napasnya enggak teratur. Padahal ... baru quarter pertama. Keren, sih, anak Spengatra. Bisa dicontoh."

"Apanya? Teknik?"

"Kerja sama. Kataku, punya pemain unggul itu emang penting, tetapi kalau kerja samanya nol besar, ya, percuma. Itu nggak menguntungkan. Setidaknya seimbang lah. Namanya juga basket. Permainan tim. Kerja sama antarpemain harus bagus. Saling percaya itu penting, tapi .... "

"Kenapa?"

"Tim perempuan Saka ..., " Bata memberi jeda pada perkataannya. "Amanda, dia nggak akan semudah itu buat diajak kerja sama."

---

June 16, 2022.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro