Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

23. FOKUS

Haura mengangkat pandangan. Lalu, manik gelapnya mengedar menatap punggung satu per satu anak yang duduk membelakanginya, sebelum akhirnya memejam sejenak dan kembali tertuju ke bawah.

Setelah mengubur kerisauan dalam dada, serta memupuk asa yang sempat pudar, Haura kembali memijakkan kaki ke lapangan. Mengisi kekosongan, kembali memikul beban yang sama dengan apa yang ingin dia tinggalkan. Meski jauh di dalam sana, secercah luka masih membenam begitu dalam. Tak mengapa. Toh, ia hanya perlu bertahan di sana sampai O2SN berakhir.

"Jadi, ini hasil technical meeting tadi pagi."

Di bawah naungan pohon mangga berdaun rindang, Haura-bersama kelima belas anak lain, melekatkan pandang pada Abraham. Benda pipih hitam tampak menjadi fokus utama dari pria berkaus biru itu selagi jemarinya bergerak cepat menggulir layar ponsel.

"Buat anak perempuan, kita dapet giliran tanding jam kedua setelah Spenkastra dan Spengatra-lawan Spencakra, jam setengah sembilan. Jadi, jam delapan paling tidak kita udah harus pemanasan, dan ready di lapangan. Kalau laki-laki ... siang, habis dzuhur, lawan Spendanta. Oh ... iya. File-nya nanti saya kirim ke grup WhatsApp. Kalau ada yang belum ngerti tanyain aja di grup. Jangan japri."

Haura menautkan alis dan mulai menggemakan nama Spencakra dalam pikirannya. Awal yang bagus, menurutnya. Di babak penyisihan nanti, tim sekolahnya dipertemukan dengan tim basket dari sekolah lain yang baru pertama kali mengikuti O2SN. Bukankah ... kondisi tersebut menguntungkan bagi mereka?

Barangkali, akan lebih mudah bagi Spensaka untuk keluar sebagai pemenang dan masuk ke babak semi final. Meski demikian, Haura tidak dapat sepenuhnya meremehkan. Toh, ia tidak tahu manusia macam apa yang ada di sana. Bisa saja mereka lebih bagus dalam segi fisik, kemampuan, koordinasi antar pemain, serta strategi daripada Spensaka, bukan?

Kalaupun nantinya segala hal tidak berjalan sesuai apa yang Haura bayangkan, apa kata orang tentang mereka-tim bola basket Spensaka? Runner up dalam Kejurkab tahun 2018 yang berhasil dikalahkan oleh tim yang baru unjuk gigi dalam perlombaan? Ah, yang benar saja!

Haura menarik napas . Lewat sudut matanya, Haura mendapati raut muka kesal pada Kemal. Agaknya, bukan hanya dirinya yang merasa terancam, tapi Kemal juga.

"Kita udah pasti bakal dibantai." Gerutuan disertai decak sebal di awal kalimat itu memaksa beberapa kepala turut menoleh ke sumber suara, Kemal.

"Jangan pesimis dulu, Kawan," timpal Chan sembari menepuk pelan pundak kiri Kemal yang lantas ditepis kasar oleh sang empu badan.

"Emang kenyataannya bener, kan, Chan? Dulu ... kita, kan, dibantai mereka waktu final. Eh ... sekarang belum apa-apa udah ketemu lagi. Ada Kak Bagas sama Kak Leo aja kita keteteran, apalagi enggak?"

"Nah, iya. Itu!" Chan menepuk tangannya sekali, lalu berujar, "Kita keteteran karena di Spendanta ada Kak Wildhan, 'kan? Sekarang dia udah kelas sembilan. Jadi, gak ikut lomba. Seimbang, bukan? Toh, setahu aku, anak kelas delapan yang lumayan, ya, cuma si kembar."

"Johan sama Rohan, maksudnya?" Damar menaikkan satu alis.

Chan mengangguk. "Iya, mereka."

"Tapi, anak nomor punggung tujuh yang dulu dikejar-kejar sama Tsania buat foto bareng itu juga lumayan. Three point-nya tujuh puluh persen akurat. Hampir menyamai Kak Leo, lah." Bata ikut menyelami percakapan ketiganya.

Begitu anak berkulit sawo matang itu mengatupkan bibir, senyap mengisi ruang di antara mereka selama beberapa saat. Lalu suara milik Abraham pun kembali terdengar dan berhasil memecah tegang yang ada.

"Kalvin, 'kan? Saya denger, dia mundur dari O2SN besok karena cidera." Begitu kata Abraham. Kabar simpang siur yang sebetulnya belum jelas kebenarannya itu mendapat anggukan dari Amanda.

"Cidera waktu latihan klub. Dia kena benturan keras di area lutut, mungkin retak. Coach Mega minta dia buat istirahat selama satu bulan. Daripada makin parah."

"Ah .... " Malik turut menanggapi, dengan anggukan pelan. "Padahal, bagian tubuh yang paling dominan, selain tangan, dalam basket itu kaki. Tapi, dia malah cidera. Aku enggak tahu itu termasuk musibah atau berkah buat kita."

"Itulah pentingnya melakukan pemanasan dengan sungguh-sungguh," sahut Tsania dari barisan belakang, tepatnya samping kiri Haura. Pandangan belasan orang yang terikat dalam diskusi ringan sebelum memulai latihan itu pun langsung tertuju pada Tsania.

"Tapi, yang namanya kecelakaan, apalagi dalam pertandingan itu juga enggak tahu kapan bakal terjadi, sih. Pun akan menimpa siapa. Kadang udah pemanasan pun kita masih bisa cidera. Dulu, aku pernah sekali jatuh karena kena sandung kaki orang. Rasanya cepet banget. Gak ada persiapan. Tiba-tiba ... aku udah tengkurap saja di tanah dengan kaki yang susah banget buat digerakin," pungkas Tsania.

"Itu waktu Kejurkab kemarin enggak, sih?" Kemal menanggapi ucapan Tsania dengan pertanyaan dan anak bernetra kecokelatan itu memberikan anggukan sebagai balasan.

"Udah gak heran lagi. Numbalin pemain yang enggak terlalu pinter buat ngelukain orang lain, itu strategi licik lawan supaya pemain yang sekiranya unggul ... enggak bisa ikut tanding lagi. Sama kayak Bata, dia berkali-kali kena tabrak, sandung, sikut. Untung ... free throw-nya bagus. Jadi, point kita terselamatkan," tutur Kemal.

"Enggak cuma itu, Mal." Chan kembali bersuara. "Bata juga berkali-kali diprovokasi biar kepancing ngelakuin foul dan akhirnya ... yah, foul out. Harusnya, sih, kalau dulu Bata enggak foul out, kita bisa menang."

Lalu, pembahasan mereka pun terhenti. Bukan karena adanya niat untuk mengakhiri, melainkan karena suara rendah Abraham yang menginterupsi perhatian seluruh anak.

"Kalau gitu, belajar dari kesalahan. Jangan mudah terbawa suasana. Main tenang, tetep fokus. Tanding basket itu butuh mental yang kuat. Kalau kalian emosi duluan, lawan bisa manfaatin itu buat cari foul dari kalian. Saya harap untuk pertandingan selanjutnya, enggak ada yang kayak gitu, ya?" tutur Abraham, lebih ke arah memberikan wejangan-tuk yang terakhir kali, sebelum mengembuskan napas perlahan dan berkata, "Itu aja informasi dari saya. Untuk selebihnya, masalah jersey, transportasi, serta yang lain, kita diskusikan nanti. Sekarang, semuanya berdiri. Kita tes kuda-kuda lagi."

***

Hening. Tak ada suara lain yang terdengar, selain desau angin siang di udara serta deru napas pendek, pun tidak teratur dari masing-masing hidung. Rongga pernapasan setiap anak agaknya tengah kepayahan 'tuk memasok oksigen jauh lebih banyak ke dalam tubuh dan mengalirkan gas sisa metabolismenya kembali ke udara.

Sesak benar rasanya. Namun, hal itu belum seberapa dibandingkan sensasi panas yang membakar seluruh jaringan otot kaki. Gemetar tak sanggup mereka cegah, terus mengalir bersama hujaman rasa ngilu pada tulang. Entah kapan berakhir. Yang jelas ... beberapa dari mereka-termasuk Haura, sudah setengah tumbang dan tidak sanggup lagi mempertahankan posisi badan.

"Panas!"

Haura meringis. Selepas mengembuskan napas pelan, ia menoleh ke arah kanan.

Dari tempatnya berada, Haura mendapati Kemal sedikit membungkukkan badan dan sesekali mencuri pandang ke arah Abraham. Mungkin tengah mencari kesempatan untuk memberikan pijatan kilat pada lutut belakangnya yang telanjur tegang.

Haura tidak munafik. Jujur, jika memiliki peluang, dia juga akan melakukannya. Berada dalam posisi kuda-kuda, dengan punggung dan tangan merapat tembok memang sangat menyiksa. Melebihi sensasi panas akibat terlalu banyak mengoles balsem geliga.

"Diamlah, Kawan. Jangan mengeluh. Rasakan saja rasa sakitnya."

Saat suara Chan mengudara, Haura kembali memandang ke depan. Monolog panjang nan penuh makna yang diutarakan Chan-setelahnya-bagaikan angin lalu saat dorongan 'tuk menjatuhkan diri mulai berkumandang dan hilang timbul dalam dada. Haura terengah. Dia sedikit kepayahan membenarkan posisi tubuh untuk kembali tegak di tengah minimnya kadar tenaga yang ia punya.

"Kurang tiga menit. Tahan, kalau jatuh lari lima putaran lapangan."

Decit sepatu dengan permukaan lantai serempak terdengar-bersamaan dengan tegaknya punggung masing-masing anak. Tidak dengan Haura. Tubuhnya tidak bergerak satu senti pun. Di tengah riuhnya ringis serta keluh yang ada, Haura memejam dan menunduk dalam-mencoba merasakan rasa panas yang semakin ganas membakar lututnya. Sampai segenggam tangan milik salah seorang perempuan yang berdiri di sebelah kiri mendesak Haura untuk menoleh.

Jelas tertangkap oleh retina mata, Tsania tengah memejam dan menggumamkan sesuatu di bibirnya. Entah apa yang perempuan itu ucapkan, Haura tidak mampu mendengarnya dengan jelas. Namun, satu hal yang pasti, gumamam itu berhenti tatkala peluit tanda masa telah usai melengking dari arah tempat Abraham berdiri.

Detik berikutnya, tubuh satu per satu anak pun ambruk, menyentuh lantai. Disusul oleh dengkus napas lega dari masing-masing mulut yang menyuarakan kegembiraan karena telah berhasil melewati masa sulit. Ya, meskipun masa yang dimaksud hanya sebatas belasan menit yang belum bisa dianggap seberapa jika dibandingkan dengan latihan-latihan lain yang jauh lebih berat.

"Semangat!" Tsania bersorak selepas meloloskan kekehan pelan. Letih kentara tercetak di wajahnya. Namun, ia tetap memaksakan diri untuk tersenyum.

"Lakuin yang terbaik buat lomba minggu depan, ya, Ra. Itu puncak dari rasa lelah kita hari ini."

---

June 13, 2022.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro